
Mengatakan Kebenaran adalah Jihad Paling Utama
Alkisah suatu malam yang mencekam di istana Kufah, seorang lelaki tua yang penuh kebijaksanaan dan keteguhan iman, dibawa ke hadapan seorang penguasa kejam yang telah menumpahkan banyak darah orang tak bersalah. Lelaki itu adalah Said bin Jubair, seorang ulama besar dan ahli tafsir yang dikenal karena keberaniannya menentang ketidakadilan. Di hadapannya duduk Al-Hajjaj bin Yusuf, seorang gubernur kejam dari Dinasti Umayyah yang gemar membunuh lawannya tanpa ampun.
Said bin Jubair tidak datang sebagai seorang yang takut. la datang sebagai seorang yang teguh, yakin bahwa nyawanya berada di tangan Allah, bukan di tangan Al-Hajjaj. Saat Said bin Jubair berdiri di hadapan Al-Hajjaj, suasana ruangan itu penuh ketegangan. Para pengawal bersiap menghunus pedang, menunggu perintah tuan mereka. Namun, Said tetap berdiri tegak, tanpa sedikit pun gentar.
Hajjaj bertanya dengan nada merendahkan, “Siapa namamu?”
Dengan suara yang tenang dan penuh keyakinan, Said menjawab, “Aku Said bin Jubair (yang berarti orang yang bahagia, anak dari yang baik).”
Namun, Al-Hajjaj dengan angkuhnya berkata, “Tidak! Kamu adalah Syaqi bin Kusair (yang berarti ‘orang yang celaka, anak dari yang hancur’)!”
Said tersenyum tipis dan berkata dengan tegas, “Ibuku lebih tahu namaku daripada engkau.”
Hajjaj mulai marah, tetapi ia terus menginterogasi Said. Hajjaj bertanya, “Apa pendapatmu tentang aku?”
Said menjawab tanpa rasa takut, “Engkau adalah musuh Allah di bumi, engkau merusak dunia dengan kezalimanmu.”
Mata Al-Hajjaj membelalak. Tidak ada seorang pun yang berani berbicara seperti itu di hadapannya.
Marah dengan jawaban Said, Hajjaj mengancamnya dengan hukuman mati. “Aku akan membunuhmu dan mengirimmu ke neraka!” kata Hajjaj dengan suara penuh amarah.
Said tersenyum dan berkata, “Kalau aku tahu bahwa engkau memiliki kuasa atas itu, tentu aku akan menjadikan engkau sebagai Tuhan.”
Kata-kata ini menusuk jantung Al-Hajjaj. la tidak bisa membiarkan Said hidup lebih lama. Saat algojo bersiap mengeksekusi Said, ia mengucapkan doa terakhir, “Ya Allah, jangan beri Hajjaj kesempatan untuk menzalimi orang lain setelahku!”
Tidak lama setelah membunuh Said bin Jubair, Al-Hajjaj mulai mengalami penyakit aneh. la sering berteriak-teriak ketakutan di malam hari, seakan melihat bayangan Said yang datang menuntut balas. la menderita kesakitan luar biasa, tubuhnya melemah, dan akhirnya meninggal dalam kondisi mengenaskan.[1]
Kisah ini menjadi contoh nyata dari sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw. dan ia telah meletakkan kakinya di tempat berpijak pada unta. Dia berkata, ‘Jihad manakah yang paling utama?’ Beliau saw. menjawab, ‘Mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.'”[2]
Said bin Jubair telah menunjukkan bagaimana seorang Muslim sejati harus berani menegakkan kebenaran, bahkan jika itu berarti menghadapi kematian.
Kita dapat mengambil pelajaran bahwa:
1. Kita harus berani dalam menegakkan kebenaran
2. Kita harus memiliki kesabaran dan keteguhan iman meskipun menghadapi kematian, kita tidak boleh mundur sedikit pun.
3. Balasan bagi penguasa zalim yang begitu kejam akhirnya akan mati dengan cara yang mengenaskan, membuktikan bahwa kezaliman tidak akan bertahan selamanya.
Salah satu bentuk jihad yang paling utama adalah berbicara dengan jujur dan berani menegakkan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim.
Berani berbicara jujur dalam menghadapi ketidakadilan, seperti korupsi, penindasan, atau diskriminasi, adalah bagian dari jihad. Banyak orang yang memilih diam karena takut akan konsekuensinya, tetapi Islam mengajarkan bahwa menyuarakan kebenaran adalah bentuk ibadah yang sangat mulia.
Referensi:
[1] https://www.atsar.id/2023/09/kisah-said-bin-jubair-ditangkap-dibunuh-al-hajjaj-bin-yusuf.html?
[2] HR. An Nasaa’i
Views: 58