
Menghargai Kemerdekaan Kunci Kedamaian Abadi
Bani Israil adalah bangsa yang lama sekali mengalami penjajahan. Fir’aun demi Fir’aun turun-temurun sampai akhirnya pada masa Ramses II atau Ramesses II yang merupakan Fir’aun ketiga dari Dinasti Mesir ke-19. Dia dikenal sebagai Fir’aun terbesar, terkuat dan terkenal pada periode zaman Mesir Kuno.
Saat itulah bayi Musa lahir. Kelahirannya disambut dengan ketakutan oleh Fir’aun yang menurut ramalan kekuasaannya akan disingkirkan oleh seorang anak lelaki keturunan Bani Israil. Maka tak heran bila Fir’aun memberikan perintah untuk membunuh semua bayi laki-laki yang lahir. Akan tetapi, karena kekejaman Fir’aun sudah melebihi batas perikemanusiaan, maka Tuhan menyelamatkan bayi mungil itu dengan penyelamatan yang istimewa. Bayi itu mendapatkan pemeliharaan dan pengasuhan langsung kerajaan Fir’aun.[1]
Sebenarnya, diutusnya Nabi Musa a.s. adalah untuk membebaskan Bani Israil dari penjajahan bangsa Mesir. Akan tetapi karena kaum Bani Israil berada di bawah kekuasaan Fir’aun maka secara otomatis tablighnya Nabi Musa a.s. meliputinya juga.
Kisah Nabi Musa a.s. mengisyaratkan tentang kemerdekaan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. bahwa, “Kemerdekaan merupakan hak prerogatif setiap makhluk, tidak terkecuali dengan manusia.” Maka diutusnya Nabi Musa a.s. merupakan bentuk karunia Allah untuk membebaskan manusia dari kekejian manusia lainnya.
Oleh karena itu penjajahan dalam bentuk apapun tidak mendapatkan tempat dalam Islam. Islam menjunjung tinggi kemerdekaan setiap makhluk tanpa kecuali. Tidak ada yang bisa mengambil kemerdekaan dari siapapun.
Negara Indonesia merupakan negara yang merdeka karena upayanya sendiri bukan pemberian bangsa yang menjajahnya. Sudah sewajarnya bila rasa kebangsaan ini selalu melekat di hati anak bangsa.
Selaras dengan hal ini Undang-Undang Dasar 1945 memuat, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak seauai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”[2]
Tidak heran bila negara Republik Indonesia selalu mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa. Tidak peduli ras atau pun agamanya, selama menyangkut kemerdekaan, maka bangsa ini akan siap mendukungnya.
Dunia yang damai adalah impian setiap insan penghuni semesta ini. Akan tetapi kedamaian tidak bisa tercapai apabila manusianya tidak memiliki kecintaan pada Tuhan. Hanyalah kecintaan pada Tuhan yang bisa menimbulkan respek terhadap ciptaan-Nya.
Manusia akan menghargai sesamanya karena mempunyai tujuan yang lebih luhur yaitu hormatnya pada Sang Pencipta. Kecintaannya kepada Tuhan telah terjelma dalam wujud cintanya kepada manusia. Bukan lagi egonya yang hadir tapi keberadaan Tuhanlah yang memenuhi dadanya.[3]
Kemerdekaan yang diraih akan sia-sia bila tidak kembali pada Tuhan. Seseorang tidak mungkin mendapatkan ketentraman dan tanpa ketentraman tidak mungkin akan tercipta kedamaian dalam masyarakat. Upaya manusia akan gagal bila didalamnya terselubung keinginan pribadinya.
Al-Qur’an menyatakan, “Kamu adalah umat terbaik, dibangkitan demi kebaikan umat manusia, kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat kedurhakaan, dan beriman kepada Allah.”[4]
Ayat ini mengindikasilan bahwa seoran Muslim tidak dilebihkan dari yang lainnya begitu saja. Tidak otomatis menjadi seseorang yang lebih baik bila tidak mengkhidmati sesamanya dan menjadi sumber keberkahan bagi yang lain.
Referensi:
[1] Wikipedia
[2] JDIH-Komisi Yudisial
[3] Islam & Isyu Kontemporer
[4] QS. Ali-Imran 3: 111
Visits: 35