
Mengikuti Kata Hati, Bukan Kata Orang
Ada sebuah kisah yang mungkin pembaca pernah mendengarnya. Kisah ini tentang seorang bapak dan anak laki-lakinya yang mengadakan perjalanan ke suatu tempat dengan ditemani seekor keledai sebagai tunggangan mereka dalam perjalanannya.
Berangkatlah bapak dan anak tersebut menempuh perjalanan. Sang bapak menaiki keledai dengan diiringi anak laki-lakinya sambil menuntun keledai yang ditunggangi bapaknya. Sampailah mereka ke suatu perkampungan.
Di kampung itu warga yang melihat meneriaki bapak yang menaiki keledai tersebut, “Hai bapak tidak tahu diri, apakah kamu tidak kasihan dengan anakmu yang kamu biarkan berjalan sedangkan kamu dengan santainya di atas punggung keledai?”
Mendengar ucapan warga, turunlah si bapak tersebut dari keledai tunggangannya. Dan dia pun meminta anak laki-lakinya menaiki keledai tersebut dan mereka pun melanjutkan kembali perjalanannya.
Setelah berapa lama berjalan, sampailah mereka di kampung berikutnya dan kembali mereka bertemu warga di kampung tersebut. Dan warga pun menegur mereka, “Hai anak durhaka, betapa tidak ada rasa hormatmu kepada bapakmu yang renta itu. Seharusnya bapakmu yang ada di punggung keledai itu.”
Mendengar ucapan warga, anak tersebut pun turun dari punggung keledai. Demi menjaga supaya tidak ada lagi yang menegur mereka dengan kata-kata yang kasar, mereka memutuskan untuk menaiki keledai itu berdua.
Dan ternyata tidak selesai juga ucapan orang-orang kepada mereka. “Hai manusia, betapa kalian tidak punya rasa kasihan pada binatang kecil itu! Lihatlah dia begitu kelelahan menahan beban berat badan kalian.” Bapak dan anak tersebut akhirnya memutuskan berjalan beriringan sembari menuntun keledai tunggangannya.
Ternyata keputusan tidak menaiki keledai tersebut pun masih saja menjadi cibiran warga. “Hai mengapa kalian begitu bodoh kalian punya seekor keledai untuk kalian tunggangi, namun kalian malah berjalan kaki dan menuntun keledai itu.” Begitu seterusnya yang akan terjadi pada perjalanan bapak dan anak tersebut sampai ke tempat tujuannya.
Kisah di atas bisa saja terjadi pada kita. Orang lain seringkali hanya bisa menilai dari kacamata mereka. Hal itu sama saja dengan mencari-cari kesalahan orang lain dan menjadikannya bahan kritikan sampai menjurus ke gunjingan (ghibah).
Al-Qur’an memberikan tuntunannya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Memberikan penilaian kepada orang lain itu lebih mudah daripada menilai diri sendiri. Segala hal dinilai baik secara fisik, penampilan, karakter, sikap, dan lain sebagainya. Bahkan dengan orang yang baru saja bertemu, sudah berani menilai orang tersebut.
Padahal ia belum tahu sepenuhnya terkait sifat, karakter, dan kedalaman hatinya. Hal ini seperti peribahasa semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak nampak adalah benar adanya.
Menilai seseorang berdasarkan kacamata si penilai sejujurnya tidaklah adil, karena apa yang dinilai belum tentu benar adanya. Kita pun jangan mudah terpengaruh dengan penilaian orang lain. Tidak ada salahnya bila kita mengikuti hati nurani selama apa yang kita lakukan sesuai dengan nilai-nilai agama dan tidak mendatangkan kerugian bagi siapa pun disekitar kita.
Steve Jobs mengatakan, “Jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam diri Anda.” Ucapan Steve Jobs ini mungkin bisa menjadi cermin supaya kita bisa menyeimbangkan pendapat orang lain tentang kita dengan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Namun tidak juga menjadikan kita menjadi orang yang tidak peduli dengan omongan orang lain sehingga menjadikan kita acuh dan egois.
Introspeksi terhadap diri sendiri adalah cara terbaik agar tidak mudah menilai orang lain. Kalaupun harus menilai orang lain, jauh lebih elok jika menilai kebaikannya karena sesungguhnya tidaklah mudah untuk mengerti dan memahami dengan benar tentang sifat, karakter, dan watak seseorang.
Jangan terlalu memperhatikan kesalahan-kesalahan orang lain, atau hal yang sudah atau belum dikerjakan oleh orang lain; Sebaiknya seseorang memperhatikan hal-hal yang sudah dikerjakan atau belum dikerjakan oleh dirinya sendiri.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasr: 19)
Visits: 356
Semoga bisa mengamalkan..