
MENJAGA SIKAP TERHADAP PEMIMPIN
Islam bukanlah agama yang memerintahkan ketaatan membabi buta kepada pemimpin. Ketaatan terhadap pemimpin bersyarat pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya, bila seorang pemimpin menyuruh kepada kemungkaran atau melakukan kezaliman, maka umat Islam wajib menolaknya dengan hati, lisan, bahkan tindakan, sesuai kemampuan. Namun, penolakan ini harus dilakukan dengan bijak, tanpa memicu fitnah atau kekacauan yang lebih besar.
Hadhrat Rasulullah saw. bersabda,
“Akan ada pemimpin yang kalian lihat kebaikan dan keburukannya. Siapa yang mengenali keburukannya dan membencinya, maka ia selamat…” [1]
Hadis ini merupakan peringatan Rasulullah saw. kepada umatnya bahwa akan datang suatu masa di mana para pemimpin tidak sepenuhnya adil atau saleh. Akan ada dari mereka yang memiliki sisi kebaikan, namun juga terjerumus dalam keburukan. Dalam situasi seperti itu, umat Islam dituntut memiliki kepekaan hati dan keberanian sikap.
Hadhrat Rasulullah saw. menekankan bahwa mengenali keburukan pemimpin lalu membencinya, dalam arti tidak meridhoinya dan menjauhinya, adalah bentuk keselamatan. Namun, bukan berarti membenci secara pribadi atau menyebarkan keburukan mereka di mana-mana. Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar dengan hikmah dan kelembutan, bukan dengan caci maki atau pemberontakan liar.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…” [2]
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan dalam Islam tidak boleh ditinggalkan, bahkan ketika berhadapan dengan pemimpin, keluarga, atau diri sendiri. Menyuarakan kebenaran adalah bagian dari keimanan, dan diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah. Dalam sejarah Islam, kita mengenal tokoh seperti Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. yang, saat diangkat sebagai khalifah pertama, berkata dalam pidato pertamanya,
“Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berlaku baik, maka bantulah aku. Namun jika aku menyimpang, maka luruskan aku…” [3]
Ucapan ini menunjukkan bahwa bahkan seorang khalifah pun membuka ruang untuk dikritik dan diluruskan oleh rakyatnya. Sikap para sahabat menunjukkan bahwa dalam Islam, pemimpin bukan figur suci yang tidak boleh dikritik, melainkan manusia yang harus diawasi dan dinasihati demi menjaga amanah kepemimpinan.
Dalam era modern ini, kita pun tak luput dari pemimpin yang terkadang berlaku zalim, korup, atau tidak adil. Kita sebagai umat Islam harus bersikap kritis, namun tetap dalam batas adab dan syariat. Kita mencintai kebaikan mereka, namun tidak menutup mata terhadap keburukannya. Kita tetap mendoakan mereka agar mendapat hidayah, tetapi tidak pernah rela jika mereka menyimpang dari jalan Allah.
Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” [4]
Semoga Allah menjadikan kita umat yang tegas dalam kebenaran, lembut dalam menyampaikan, dan selamat dari kebinasaan karena ridha terhadap keburukan pemimpin. Aamiin.
Referensi:
[1] HR. Muslim No. 1854
[2] QS. An-Nisa : 136
[3]https://khazanah.republika.co.id/berita/q4vsxw430/ini-isi-pidato-abu-bakar-saat-diangkatmenjadi-khalifah
[4] HR. Muslim
Views: 32