
BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DALAM CAHAYA AL-QUR’AN DAN HADITS
Al-Qur’an adalah pedoman hidup seorang Muslim selama di dunia ini sebelum akhirnya kembali kepada Sang Pencipta. Kita berjalan, bertindak, dan berpikir harus diusahakan semaksimal mungkin agar sesuai dengan Al-Qur’an.
Jika kita ingin hidup berbahagia, maka harus sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, karena semua peraturan yang ditetapkan Allah adalah demi kebahagiaan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Jalan hidup seorang Muslim bukanlah bebas tanpa batas, tetapi justru diatur agar terarah menuju keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Memang tidaklah mudah, sesuai dengan hadits Rasulullah saw: “Dunia ibarat penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” [1]. Maksudnya, banyak hal yang harus kita perjuangkan demi meraih ridha-Nya. Dunia bagi seorang mukmin adalah tempat ujian, tempat menahan diri dari hal-hal yang dilarang, dan tempat untuk menanam amal yang hasilnya akan dipanen di akhirat.
Namun, jika kita terlena dan menganggap hidup ini hanya untuk bersenang-senang, tentu Allah akan murka. Walaupun demikian, orang beriman tetap bisa merasakan “surga dunia”, yaitu dengan hati yang damai dan tenang karena selalu yakin dan dekat dengan Allah Ta’ala. Rasa tenteram ini tidak bergantung pada keadaan lahiriah, tetapi pada kebersihan jiwa dan hubungan yang kokoh dengan Sang Khalik.
Kita terlahir ke dunia ini dari kedua orang tua kita, dan tentunya semua itu terjadi atas kehendak Allah Ta’ala. Ada beberapa firman-Nya dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana seharusnya kita bersikap kepada kedua orang tua. Salah satunya adalah: “Dan Kami telah menasihatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam kelemahan di atas kelemahan, lalu menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Kepada-Kulah tempat kembali.” (Surah Luqman, 31:14) [2].
Ayat ini dan ayat-ayat berikutnya mengisyaratkan bahwa kewajiban manusia yang kedua setelah kewajibannya kepada Allah Ta’ala adalah kewajiban kepada sesama manusia, dimulai dengan orang tua. Ibu-bapak merupakan penjelmaan sifat kasih sayang Tuhan. Anak-anak yang tidak berterima kasih kepada ibu-bapak, tidak berusaha mengkhidmati mereka, tidak menghormati mereka secara wajar, serta tidak membiasakan diri tunduk dan taat kepada mereka, maka mereka itu pun tidak dapat menjadi hamba-hamba yang bersyukur kepada Tuhan. Cobalah perhatikan sekeliling kita, niscaya kita akan melihat bahwa anak-anak yang durhaka terhadap orang tua, sepi dari kehidupan bahagia dan tenteram [3].
Terdapat sebuah riwayat pada zaman Rasulullah saw, di mana seorang laki-laki mengadu kepada beliau tentang ayahnya yang suka mengambil barang miliknya kapan saja. Rasulullah saw memanggil sang ayah yang sudah sangat tua dan menanyakan langsung persoalan tersebut. Sang ayah berkata, “Wahai Rasulullah, ketika anakku lemah, tidak berdaya, dan tidak memiliki apa-apa, sementara aku memiliki kekuatan dan kekayaan, aku tidak pernah ragu memberinya apa pun yang ia butuhkan. Sekarang, aku lemah dan tidak memiliki apa-apa, sementara ia kaya dan menyimpan barang-barangnya dariku.” Mendengar hal ini, air mata mengalir di wajah Rasulullah saw dan beliau bersabda, “Kamu dan barang-barangmu adalah milik ayahmu. Kamu dan barang-barangmu adalah milik ayahmu.” [4].
Diriwayatkan dari Hazrat Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Keridhaan Allah terletak pada keridhaan seorang ayah dan ketidaksenangan Allah terletak pada ketidaksenangan seorang ayah.” [5]. Betapa mulianya kedudukan seorang ayah dalam pandangan Islam, hingga ridha Allah pun bergantung pada ridha beliau. Maka dari itu, perlakuan terhadap ayah dan ibu haruslah disertai dengan kesungguhan dan cinta tulus. Menyakiti hati mereka, bahkan dengan sikap dingin atau acuh, adalah dosa besar yang bisa merusak keberkahan hidup.
Berkenaan dengan sikap kepada ibu, terdapat pula riwayat dari kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Suatu ketika, ibu mertua beliau, yang dikenal sebagai Hadhrat Nanni Amma, memarahi pelayannya karena suatu hal, dan turut marah kepada Hadhrat Amma Jan (istri beliau) karena dianggap tidak menghukum pelayan tersebut. Kejadian ini membuat Hadhrat Amma Jan sedih dan murung. Tatkala Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengetahui sebab kemurungan tersebut, beliau tanpa berkata apa-apa, memegang tangan Hadhrat Amma Jan dan membawanya masuk ke kamar Hadhrat Nanni Amma yang sedang berbaring di atas balai-balai. Beliau kemudian menundukkan kepala Hadhrat Amma Jan hingga menyentuh telapak kaki ibundanya, lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun [3]. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya penghormatan kepada ibu, bahkan dalam hal-hal yang tampaknya sepele.
Kita harus sangat berhati-hati dalam berperilaku kepada ibu. Bahkan jika hanya dalam hati, ekspresi itu bisa tampak dari raut wajah kita. Kita tidak boleh memperlihatkan kesedihan atau ketidaksukaan, melainkan harus tetap sabar, ikhlas, dan berupaya semaksimal mungkin dalam mengkhidmati ibu.
Malfuzat menasihatkan: “Hendaklah terus-menerus berdoa untuk mereka. Kita hendaknya berusaha semaksimal mungkin dan sejauh mungkin menyenangkan ibu-bapak. Dalam urusan dunia – selama urusan itu tidak menjadi penghalang terhadap urusan agama – hendaklah mengkhidmati orang tua sepenuh-penuhnya dengan segala cara dan dengan jiwa-raga” [6].
Daftar Referensi:
[1] Muslim, Imam. Sahih Muslim, Hadits No. 2956. Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi.
[2] Al-Qur’an. Surah Luqman, 31:15.
[3] Mirza Mubarak Ahmad. Mendidik Diri Sendiri Mendidik Anak-anak.
[4] https://www.alislam.org/articles/treatment-of-parents-islamic-teachings/
[5] Tirmidzi, Imam. Sunan At-Tirmidzi, Hadits No. 1899. Riyadh: Darussalam.
[6] Malfuzat, Jilid IV, hlm. 175.
Views: 47