
MEREKONSTRUKSI KONSEP HIJAB: UNTUK SIAPA?
Selama ini saya berpikir bahwa pardahnya perempuan (yang berupa hijab) memiliki fungsi utama untuk melindungi dirinya dari pandangan liar laki-laki. Secara tidak langsung saya [sebelumnya] mengakui bahwa hijab bagi perempuan itu untuk laki-laki. Tapi ternyata saya salah.
Pertama kali saya tahu kalau saya salah, setelah saya membaca kutipan berikut:
“Laki-laki harus ingat bahwa mereka tidak pernah diberikan kuasa untuk menghukum siapapun dan mereka harus mengendalikan dirinya sendiri. Bukanlah untuk mereka bila perempuan menutupi kepalanya dari luar. Laki-laki diperintahkan untuk menjaga pandangan mereka; mereka harus memenuhi kewajiban mereka sendiri. Bahkan tidak ada satu perintah pun yang memaksa untuk menutupi kepala perempuan Muslim, apalagi perempuan non-Muslim. Laki-laki seperti inilah yang memiliki gagasan sekeras itu.” [Hazrat Khalifatul Masih al-khamis Hazrat Mirza Masroor Ahmad aba.][1]
Ungkapan ini membuat saya senang, sekaligus merenung dan berusaha merekontruksi konsep hijab dalam benak saya.
Dalam QS. An-Nur 24: 32 berikut tafsirnya, saya memahami bahwa hijab memiliki fungsi internal dan eksternal. Fungsi internal yang juga merupakan fungsi paling utama adalah untuk menjaga hati, pikiran, dan perilaku si pemakainya agar senantiasa terfokus mencapai tujuan akhirat.
Hijab bagi perempuan berupa kain kerudung yang menutupi kepala dan menjuntai hingga dada dan baju yang longgar, sebenarnya bertujuan agar perempuan bisa terjaga, terutama dalam menjaga niatnya. Dengan menutup seluruh anggota tubuhnya dan seluruh kecantikannya, perempuan diberikan sarana untuk menjaga hati, pikiran, sekaligus fisiknya dari segala ketidaksucian.
Perempuan sangat memuja kecantikan. Setiap jengkal tubuh sangat diperhatikan kebersihan dan keindahannya. Prinsip dasar dalam mempercantik diri adalah untuk kesenangan diri sendiri. Tetapi selalu ada godaan untuk memamerkan kecantikan kepada orang lain.
Godaan-godaan semacam inilah yang ingin dieliminir oleh Islam melalui perintah berhijab bagi perempuan.
Hijab pada akhirnya hanya akan membatasi perilaku perempuan untuk melaksanakan hanya satu niatnya yaitu ‘mempercantik dirinya’ demi kesenangan pribadi. Sementara niat lainnya yaitu ‘menunjukkan atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain’ tidak akan bisa terwujud dengan bebas karena hijab menutupinya.
Dengan terbatasinya perilaku mereka untuk menunjukkan kecantikannya, pada akhirnya keinginan untuk hal tersebut akan terkikis. Ini akan menuntun perempuan untuk mengerucutkan niatnya dan memusatkan perhatiannya hanya pada tujuan-tujuan spiritual.
Hijab dimaksudkan agar perhatian perempuan hanya terfokus kepada amalan-amalan untuk meraih kedekatan dengan-Nya, beribadah kepada-Nya. Karena tujuan diciptakannya manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.[2]
Itulah mengapa bahkan ketika shalat, perempuan diperintahkan untuk menutup auratnya. Padahal ketika shalat, perempuan ditempatkan terpisah dari laki-laki yang otomatis tak membebaskan laki-laki untuk bisa memandang perempuan. Ini semua agar perempuan betul-betul bersih dari segala niat untuk menunjukkan kecantikannya pada orang lain dan memusatkan hati dan pikirannya kepada Allah Ta’ala.
Di sisi lain, hijab juga memiliki tujuan eksternal. Hijab membatasi pandangan laki-laki terhadap kecantikannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir QS. An-Nur 24: 32 yaitu,
“Memakai kain luar dimaksudkan menyelamatkan seorang wanita Muslim ketika ia keluar rumah untuk keperluannya dari siksaan batin, bila ia ditatap dengan tidak sopan atau diganggu atau diberi kesusahan dengan jalan lain apapun oleh orang-orang yang akhlaknya meragukan.” [3]
Hijab bagi perempuan juga akan membuat laki-laki merasa segan untuk bergaul dengan perempuan secara bebas. Sehingga kesucian masing-masing pihak bisa terjaga sebagaimana yang begitu ditekankan dalam ajaran Islam.
Setelah merenungkan ayat-ayat tersebut, saya menyimpulkan bahwa fungsi utama hijab adalah untuk melindungi perempuan dari niat-niat dan orang-orang yang akan menjauhkannya dari perilaku yang diridhoi Allah Ta’ala. Perempuan memakai hijab untuk Allah Ta’ala. Memakai hijab tidak saja membuktikan ketaatan pemakainya, tetapi juga membuktikan niatnya untuk melakukan amalan yang akan mendekatkan dirinya dengan Allah Ta’ala.
Lantas bagaimana bila ada kritik terhadap perempuan berhijab tapi perilakunya buruk? Ya jawabannya sama dengan orang-orang yang rajin shalat tapi perilakunya masih buruk.
Pertama, kemungkinan dia belum betul-betul memahami konsep hijab yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Dia hanya sekedar memakai hijab tetapi belum memahami tujuan hijab sesungguhnya. Dan bila dia belum memahami konsep hijab, maka dia pun belum memahami Al-Qur’an dengan baik sehingga dia juga salah sangka dalam bersikap.
Kedua, manusia berproses. Perilaku buruk akan menghilang seiring dengan semakin dekatnya seseorang kepada Tuhannya. Memakai hijab hanya salah satu sarana atau unsur pembantu dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Memakai hijab bukan jaminan atau jalan pintas untuk menjadikan seseorang otomatis berakhlak baik. Semua ada prosesnya.
Bila melihat perempuan berhijab berperilaku buruk, maka janganlah melihat hijabnya. Tapi fokus pada si pemakainya.
Seperti banyak kelakuan orang-orang beragama lainnya yang malah tak sesuai dengan ajaran agamanya sendiri. Agama sejati yang berasal dari Tuhan, tak bersalah. Tapi umatnya lah yang salah karena tidak betul-betul memahami ajaran agama seutuhnya atau bahkan salah dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sendiri.
*Referensi:
[1] Spiritual Benefits Jalsa Salana UK 2014 https://www.alislam.org/friday-sermon/printer-friendly-summary-2014-09-05.html
[2] “Dan, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” – QS. Adz-Dzariyat 51: 57
[3] Tafsir QS. An-Nur 24: 32 Halaman 1236, Diterbitkan Yayasan Wisma Damai tahun 2006
Views: 91