
PELIKNYA PERJALANAN SEORANG AHMADI MENUJU GERBANG PERNIKAHAN
Hari itu selepas acara Ta’lim, saya duduk lebih lama di masjid sambil berbincang dengan Sekretaris Tarbiyat mengenai pernikahan. Sebagai orang yang belum lama menikah, saya mendapat banyak insight baru. Beliau berpesan,
“Semakin lama kita menikah, penting untuk kita melihat kembali ke belakang; untuk bahan perbaikan diri dan pengingat bagaimana perjuangan kita hingga bisa berada di titik ini sekarang.”
Seakan mempunyai daya magis, pesan beliau terus terngiang dan mengembalikan sisa-sisa ingatan tentang peliklnya perjalanan saya untuk bisa menikah.
Sebelum menikah dan mutasi ke cabang Panunggangan Pusat, saya tumbuh di lingkungan yang intoleran terhadap Ahmadiyah. Semua sudah pernah dicicipi; mulai dari ujaran kebencian, perusakan masjid dan larangan beribadah, hingga sulitnya akses pencatatan pernikahan. Meskipun seiring berjalannya waktu kegiatan peribadahan mulai bisa dilakukan, namun akses pencatatan pernikahan tetap mengalami kendala. Para Ahmadi yang bersikeras ingin menikah di domisili, diharuskan menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah. Alhasil, selama belasan tahun, para anggota di sana lebih memilih melangsungkan pernikahan di tempat lain (andon nikah).
Kondisi tersebut membuat saya bertekad ingin menikah di domisili. Oleh karenanya, sejak jauh-jauh hari saya sudah menyampaikan keinginan tersebut kepada calon suami. Alhamdulillah dia mendukung keinginan saya, begitu pula dengan keluarga kami. Keinginan itu kemudian saya sampaikan kepada para pengurus dan mendapat sambutan yang serupa.
Enam bulan sebelum hari pernikahan, saya ditemani salah seorang pengurus berkunjung ke KUA. Mulanya, saya bertanya tentang persyaratan pernikahan dan disambut dengan sangat ramah oleh petugas di sana. Tapi ketika saya menjelaskan bahwa saya adalah seorang Ahmadi, air mukanya langsung berubah. Beliau enggan berkomentar dan menyarankan agar kami langsung menemui Amil Nikah di rumahnya. Untungnya kediaman beliau tidak jauh dari domisili kami, sehingga hari itu juga kami langsung bergegas ke sana. Tetapi sayang, saat itu beliau sedang tidak berada di tempat.
Kami kembali mencoba peruntungan di hari berikutnya. Syukurlah saat itu beliau ada dan rupanya sudah mengetahui kunjungan kami ke KUA kemarin. Kami berdiskusi cukup lama, namun hasilnya tetap sama meski bahasanya kini agak diperhalus. Dari yang semula ‘surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah’ menjadi ‘surat pernyataan bukan anggota Ahmadiyah’.
Hari itu, meski saya enggan menandatangani surat pernyataan, saya belum memberikan keputusan. Selain belum berdiskusi dengan keluarga, ada banyak pertimbangan yang sebaiknya dipikirkan masak-masak.
Saat itu sebenarnya ada beberapa pilihan bagi saya: andon nikah seperti yang biasa dilakukan, tetap melangsungkan pernikahan di domisili secara agama (tidak tercatat secara negara) lalu kemudian isbat nikah, atau menempuh jalur hukum. Namun untuk pilihan terakhir, banyak pihak yang kurang setuju mengingat akan berdampak besar bagi kegiatan peribadahan di domisili saya.
Karena tak kunjung menemukan jalan keluar, ‘pendekatan’ pun diambil alih oleh cabang dan bahkan pengurus daerah. Kali ini bukan hanya kepada Amil Nikah, tetapi juga kepada Kepala KUA. Pendekatan kian gencar dilakukan ketika ternyata ada anggota lain yang akan menikah, terpaut tiga bulan lebih dulu daripada saya.
Ibarat pepatah usaha tidak akan mengkhianati hasil, setelah beberapa kali melakukan ‘pendekatan’, alhamdulillah atas karunia Allah Kepala KUA berkenan menikahkan anggota tersebut tanpa harus menandatangani surat pernyataan—pun tidak melibatkan Amil Nikah. Beliau hanya memberi syarat bahwa acara pernikahan hanya boleh digelar secara sederhana untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan.
Syarat tersebut tak ada apa-apanya dibanding harus menandatangani surat pernyataan. Kami tentu menangis penuh syukur. Setelah belasan tahun, untuk pertama kalinya anggota di cabang kami bisa melangsungkan pernikahan tanpa harus menyatakan diri keluar dari Ahmadiyah. Melihat lancarnya pernikahan itu membuat saya yakin bahwa urusan pernikahan saya pun akan berjalan lancar.
Namun, ketika saya datang ke KUA untuk menyerahkan berkas, saya cukup terkejut karena ternyata keyakinan saya tidaklah benar.
Saya diajak ke ruangan di pojok kanan. Ada tiga orang petugas di ruangan itu, tetapi tidak ada Kepala KUA atau Amil Nikah yang biasa saya kunjungi. Saya hanya mengenali petugas yang saya temui saat kunjungan pertama ke KUA dulu. Sisanya, saya tak tahu siapa dan apa jabatannya. Selama satu jam, berkas saya diperiksa satu persatu oleh mereka—mungkin mencari-cari surat pernyataan yang memang tidak saya sertakan. Selama satu jam pula saya ditanyai macam-macam, mulai dari yang masuk akal hingga di luar nalar.
“Nama lengkap calonnya siapa?”
“Calonnya beneran laki-laki, kan? Laki-laki tulen? Takutnya bukan laki-laki, kan sekarang banyak yang begitu.”
Beberapa kali pula saya melihat salah satu dari mereka menelepon, mengisyaratkan agar yang bersangkutan segera datang ke kantor. Saya menduga bahwa yang beliau telpon itu tak lain adalah Amil Nikah. Dan selama satu jam itu mereka hanya mengulur waktu untuk menunggu kedatangan Amil Nikah. Atas asumsi itu, saya memutuskan untuk pulang dan mengambil kembali berkas yang sudah saya serahkan.
Melihat reaksi saya, salah satu dari mereka berusaha memperjelas,
“Ini berkasnya diambil lagi, ya. Bukan kami tolak, lho.”
Kejadian itu membuat saya berdiskusi dengan beberapa keluarga. Saya mulai mempertanyakan, untuk beribadah saja mengapa harus sesulit ini? Mengingat waktu menuju tanggal pernikahan semakin dekat, apakah ini isyarat bahwa saya memang lebih baik menikah di tempat lain?
Namun seakan memberikan secercah harapan, tiba-tiba Amil Nikah menelepon dan menyuruh saya datang ke rumahnya. Saya pun memenuhi panggilan itu dengan didampingi Ketua Cabang.
Di pertemuan itu, Amil Nikah kembali mempertegas bahwa surat pernyataan itu adalah bagian dari administrasi. Beliau juga menuturkan kisah Ammar bin Yasir—sahabat nabi yang keluar dari Islam karena mendapat tekanan dari orang kafir, yang mana secara tersirat beliau menyarankan agar saya pun melakukan hal yang sama; keluar dari Ahmadiyah karena mendapat tekanan.
“Kalau memang dalam keadaan terpaksa, menurut saya tidak apa-apa. Toh, itu cuma tanda tangan aja. Hanya di atas kertas. Kalau dalam hati masih mengaku Ahmadi juga terserah, ini hanya untuk melengkapi persyaratan,” ujar beliau.
Entah mendapat keberanian dari mana, untuk pertama kalinya saya menjawab,
“Pak, walaupun menurut Bapak itu hanya di atas kertas atau hanya untuk persyaratan, tapi saya tidak bisa dan tidak mau melakukannya karena saya memang Ahmadiyah. Kalau Bapak bersikukuh harus ada surat pernyataan, saya juga akan bersikeras menolak dan lebih memilih menikah di tempat lain.”
Dengan wajah merah padam, beliau mendengus,
“Ini yang saya tidak suka dari Ahmadi, orangnya bebal dan gak bisa dikasih pemahaman.”
Merasa suasana menjadi tegang, Ketua Cabang pun mengusulkan agar kami sama-sama berdiskusi; saya dengan keluarga, dan Amil Nikah dengan Kepala KUA. Beliau pun setuju—walau tetap meyakini bahwa Kepala KUA pun akan meminta surat pernyataan sebagai syarat administrasi.
Keesokan harinya, saya kembali ditelepon Amil Nikah. Suaranya lantang, keras, dan penuh penekanan.
“Pak Kepala bilang boleh nikah tanpa surat pernyataan. Tapi saya gak tanggung jawab kalau ada apa-apa. Kamu mau menanggung konsekuensinya?!”
Samar terdengar juga suara gaduh dari seberang, “Berani-beraninya. Emangnya kalau ada apa-apa mau terima resiko?!”
Beliau mengulangi ucapannya, “Kamu siap sama resikonya?”
Saya jawab, “Siap.” Meskipun di dalam hati terbesit rasa takut.
“Datang ke sini. Detik ini juga.”
Saya mengiyakan. Namun tak lantas segera berangkat. Orang tua saya kemudian menghubungi Ketua Cabang dan beberapa pengurus, meminta agar saya didampingi. Sayangnya tak ada satupun yang bisa mendampingi karena masih jam kerja. Akhirnya diputuskan saya hanya akan diantar oleh orang tua.
Sebelum berangkat, saya baru ingat ada berkas administrasi yang harus di-print. Namun mendadak mesin printernya mengalami kendala sehingga saya harus berkutat cukup lama.
Setelah semuanya siap, saya pun berangkat. Sepanjang jalan, jantung saya berdegup kencang. Jika dulu saya ‘hanya diinterogasi’ selama satu jam penuh, saya menduga kali ini akan lebih daripada itu. Saya merapal banyak doa, terutama saat kantor KUA sudah terlihat di depan mata.
Usai mengumpulkan sisa-sisa keberanian, saya pun masuk. Kantornya lengang saat saya mengucapkan salam, namun terdengar suara orang mengobrol di ruangan tempat saya ‘diinterogasi’ dahulu. Saya mendekat ke arah sana sambil kembali mengucapkan salam. Ada empat orang di sana, termasuk Amil Nikah.
Melihat kedatangan saya, semuanya langsung menyambut ramah dan berusaha merapikan ruangan. Saya cukup terkejut sebab tindakan mereka di luar dugaan. Lebih terkejut lagi saat Amil Nikah mendekat, “Ayo kita ngobrol di depan aja. Di sini banyak polusi.”
Suaranya jauh berbeda dari yang saya dengar lewat sambungan telepon. Kali ini terdengar mengayomi. Saya diajak duduk dan berkas saya pun diterima dengan baik. Beliau bilang saya hanya perlu menunggu hingga hari H. Meskipun merasa lega, namun dalam hati, saya tetap penasaran mengapa beliau sangat berbeda. Namun rasa penasaran itupun terjawab saat beliau memberitahu, “Itu Pak Kepala ada di ruangannya.”
Saya hendak bersilaturahmi kepada Kepala KUA. Oleh karenanya, saya jawab, “Oh ada, ya? Saya pingin ketemu sebentar, boleh?”
Beliau buru-buru menjawab, “Sebaiknya gak usah diganggu dulu, Pak Kepala baru banget pulang. Sekarang lagi istirahat.”
Saya pun memutuskan untuk pulang—membawa serta beragam pertanyaan yang berkelit-kelindan di kepala; ‘apa jangan-jangan saat beliau menelepon itu Kepala KUA sedang tidak ada di kantor?’, ‘apa yang akan terjadi jika tadi printer tidak mengalami kendala dan saya bisa segera datang ke KUA?’, dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain.
Terlepas dari itu semua, saya hanya perlu banyak-banyak mengucap syukur dan memetik hikmah. Sebab sesuai ucapan Amil Nikah, saya hanya perlu menunggu hari H tiba. Tak ada lagi intervensi ataupun tindakan intoleransi. Perjalanan yang semula terasa berat, nyatanya berhasil dilalui. Pada akhirnya saya bisa menikah di domisili, di hadapan orang yang [mulanya] amat-sangat menentang Ahmadiyah.
Pun siapa nyana, peliknya perjalanan saya untuk bisa menikah, justru membuka jalan untuk menjalin silaturahmi dengan Amil Nikah. Kami jadi berhubungan baik, bahkan sampai sekarang ketika saya sudah mempunyai keturunan.
Views: 21