PENDIDIKAN SEBAGAI HARTA YANG LEBIH BERHARGA

Sekitar tahun 2013, sebuah berita tidak biasa datang ke telinga saya dari seorang anak perempuan Pakistan yang dikeluarkan dari sekolah. Ia dianggap ‘mengganggu’ guru-guru di sekolahnya karena banyak sekali bertanya. Akhirnya, ibunya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan putrinya di rumah dengan metode home schooling. Dan kabar tentang anak perempuan tersebut tak lagi terdengar gemanya.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya di tahun 2017, saya kembali mendengar nama anak perempuan tersebut. Sitara Brooj Akbar berhasil menjadi ahli anti-pencucian uang tersertifikasi yang berusia paling muda.

Rasa ingin tahunya yang tinggi dipupuk dan dipelihara oleh orang tuanya sedemikian rupa. Penolakan dari sekolah tak meruntuhkan semangat orang tuanya, juga Sitara, untuk terus yakin bahwa setiap anak adalah cerdas dan punya potensi untuk berkembang sampai ke tahap yang lebih dari perkiraan manusia.

Hari ini, selain sebagai pemegang sertifikasi ahli pencucian uang termuda dunia, Sitara juga adalah peneliti kanker di Universitas Oxford dan NHS England. Dia juga banyak mencatat berbagai rekor dunia dan peraih medali emas dalam berbagai kompetisi keilmuan internasional.

Sebagai seorang Ahmadi, Sitara mengamalkan dengan sebaik-baiknya petuah Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra.,
“Kemampuan yang dianugerahkan Tuhan ribuan kali lebih berharga daripada kekayaan materi. Saya telah berkali-kali meminta perhatian anggota Jemaat untuk memanfaatkan kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka.” [1]

Melalui potensi diri yang ada dan dikembangkan olehnya, Sitara membuktikan bahwa kemampuannya jelas lebih bermanfaat dan berdampak luas. Ke mana pun dia pergi, dia bisa memberikan manfaat karena kekayaan pengetahuan yang dimilikinya selalu berguna.

Pendidikan, setidaknya mampu bermanfaat untuk diri sendiri dalam melalui hidup yang dianggap keras. Itulah yang tergambar dari kisah lain seorang perempuan bernama Tara Westover.

Tara Westover adalah seorang perempuan yang terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga Mormon yang fanatik. Ia tak pernah bersekolah formal karena ayahnya percaya bahwa sekolah formal adalah ‘cara setan’ menjauhkan manusia dari Tuhan. Maka Tara menjalani pendidikan non-formal hanya di rumah dengan ibunya.

Ketika ia beranjak remaja, ia mulai mengalami perlakuan abusive dari kakaknya, Shawn. Sayangnya, perlakuan abusive ini justru didiamkan, bahkan didukung oleh orang tuanya. Tara pun mulai berpikir untuk bisa melarikan diri dari rumah yang sesungguhnya sudah tidak sehat bagi jiwanya itu. Dia pun mulai melirik pendidikan.

Tara yang tak pernah mengecap pendidikan SD-SMA formal, tiba-tiba terjun ke perguruan tinggi. Dan, dengan usahanya yang luar biasa tekun, dia sangat gemilang dalam pendidikannya sehingga S2-S3 di Cambridge dia dapatkan dari beasiswa. Kini, Tara Westover dikenal dunia sebagai sejarawan, penulis essay dan memoar Amerika. Walaupun untuk semua itu, dia harus rela kehilangan banyak hal.

Namun bagi Tara, pendidikan perlahan menyediakan ‘penyembuhan’ bagi jiwanya. Menulis buku autobiografi berjudul ‘Educated’ juga menjadi jalan untuk Tara memulihkan luka batinnya, meluruskan segala kekaburan fakta yang beredar di keluarganya tentang dirinya, dan juga memotivasi orang lain bahwa siapapun bisa punya kesempatan untuk sukses. Tara membuktikannya, walau dia harus membayar harga yang sangat mahal untuk itu.

Kisah Sitara Brooj Akbar dan Tara Westover hanyalah dua dari sekian juta kisah kesuksesan anak-anak lain yang berpegang teguh pada pendidikan, terlepas bagaimanapun kondisi keuangan keluarga. Pendidikan menjadi salah satu faktor signifikan dalam menentukan kesuksesan masa depan seseorang. Potensi dalam diri manusia terbukti bisa menjadi kemampuan yang lebih berharga karena lebih berguna dibandingkan harta dunia.

Referensi :
[1] (Al Fazl , 6 Oktober 1954, hal. 4)

Views: 50

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *