
Perdagangan yang Pasti Mendatangkan Keuntungan
Di dunia ini, manusia sangat mencintai hartanya. Oleh karena itu, jika manusia bermimpi memberikan hatinya kepada seseorang, maka ta’bir mimpi itu ialah dia memberikan hartanya.
Jika hari ini kita mengulas situasi di dunia, maka akan tersingkaplah bahwa sebab adanya kepanikan, kekacauan dan gangguan yang ada di dunia ini ialah cinta dan keserakahan terhadap harta kekayaan. Berapa banyak manusia yang tidak pernah merasa cukup dengan pemberian Allah, bahkan sibuk membandingkan dengan orang lain?
Parahnya lagi, patokan mereka adalah medsos yang justru menambah sakit hati. Padahal medsos sebagai tempat pamer dan pamor. Boleh jadi apa yang ditampakkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Allah Ta’ala telah menunjukkan untuk mencari ketakwaan dan iman serta ketenangan hati. Allah Swt. berfirman, “Kamu tidak akan pernah mencapai kebaikan sempurna, hingga kamu menginfakkan sebagian dari apa yang paling kamu cintai, dan apa pun yang kamu infakkan di jalan Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang itu.” (QS. Ali Imran 3: 93)
Harta juga perlu kita bersihkan agar lebih berkah manfaatnya. Sifat menimbun harta akan melahirkan jenis manusia kikir, sombong tidak merasa puas bahkan sampai kufur nikmat.
Tak sedikit dari mereka apabila hartanya berkurang sedikit saja, mereka merasa bahwa dunia runtuh dan mereka akan menyalahkan Tuhan. Mereka tidak berpikir bahwa segala harta yang dimiliki adalah pemberian Sang Maha Segalanya.
Sebuah kisah yang dapat kita renungkan berasal dari almarhum Mbah Tinah. Nama ini seolah tidak terlalu asing di telinga, bagi mereka yang pernah membaca tulisan saya sebelumnya.
Mbah Tinah adalah sosok yang sangat menginspirasi. Beliau sudah renta. Hidup sebatang kara, keluar masuk hutan untuk mengais sedikit rezeki. Hatinya sungguh mulia. Di usianya yang sudah renta namun tidak pernah sedikitpun beliau meminta belas kasihan orang lain.
Bahkan saat memiliki kelonggaran rezeki, ia selalu berdiri di garda terdepan untuk membantu sesama. Banyak anak anak dan orang tua datang untuk sekedar minum kopi bahkan makan.
Hal yang paling istimewa dari Mbah Tinah adalah, dalam kondisi kekurangan dan serba minimnya ekonomi, beliau selalu dapat menyisihkan uangnya untuk membayar candah (iuran wajib yang digunakan untuk membersihkan harta).
Kebiasaan lain yang Mbah Tinah lakukan, beliau akan mencari-cari orang-orang yang tua renta bahkan orang-orang cacat yang mengalami kesulitan ekonomi. Dulu semasa beliau masih di Jawa, ada orang jalan ngesot-ngesot jualan. Mbah Tinah sering memberi uang, makanan, dan barang dagangan orang tersebut suka beliau borong.
Balasan dari Allah untuk Mbah Tinah luar biasa. Setelah saya memuat tulisan beliau, banyak orang di luar Papua menitipkan rezeki untuk si Mbah. Bahkan hal ini terus berlangsung sampai Mbah Tinah tutup usia.
Segala keperluan saat meninggal pun sudah si Mbah siapkan. Jadi sampai tutup usia tidak ada seorang warga pun yang merasa direpotkan. Biaya pemakaman sudah si Mbah siapkan sebelumnya, bahkan jumlahnya sedikit berlebih.
Mbah Tinah adalah sosok sebatang kara dalam hidupnya yang mampu memberikan contoh pengorbanan yang demikian dahsyatnya.
Lantas bagaimana dengan kita yang memiliki banyak anak yang selalu dikatakan sebagai harta yang tidak ternilai harganya, harta yang berlimpah, karir dan kehormatan yang mentereng?
Sudah sejauh mana pengorbanan yang kita hadirkan di hadapan Sang Pemberi semua yang kita miliki? Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi! Hidup berusaha menimbun harta, berlomba lomba memberikan warisan harta terbanyak untuk anak keturunan, sedangkan kita mengabaikan bekal hidup di masa yang akan datang.
Ada sebuah nasehat yang bisa menjadi renungan. Suatu saat, aku pernah bermimpi bertemu dengan sang nenek yang sudah menghadap Allah Swt. Dalam mimpi Nenek menyampaikan, “Nduk, mau ikut aku ke tempat yang paling indah?”
Aku pun menjawab, “Mau, Nek.” Nenek menyampaikan, “Dari sekarang kumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk nanti bekal di sana. Karena nanti di sana tidak ada orang jualan.”
Saat aku menyiapkan bekal, ada sedikit protes, “Kenapa bekalnya banyak banget, Nek? Apa ndak sebaiknya kita nanti minta dikirim saja kalau sudah sampai di sana?”
Nenek menyampaikan, “Bekalmu yang sedang disiapkan adalah makanan yang akan dinikmati di sana. Jangan bergantung pada siapapun. Siapkan bekal sendiri karena itu nanti yang akan dinikmati.”
Tidakkah itu menjadi sebuah renungan? Bahwa apapun yang akan kita lakukan selama di dunia adalah gambaran bekal makanan yang akan kita nikmati di alam keabadian.
Oleh karena itu Allah berfirman, “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir terdapat seratus biji, Allah melipatgandakan ganjaran-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas karunia-Nya, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2: 262)
Tertera dalam sebuah hadis yang bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Pada setiap pagi dua orang malaikat turun ke bumi, dari antara mereka seorang berkata, ‘Hai Allah! Tambahkanlah anugerah-Mu pada orang yang dermawan dan ciptakanlah lagi orang-orang yang mengikuti jejak-jejaknya.’ Yang kedua berkata, ‘Hai Allah! Timpakanlah kehancuran pada orang-orang kikir yang senantiasa menahan tangannya dari memberi dan ciptakanlah kehancuran pada harta benda mereka.’ (Bukhari)
Seandainya setiap manusia menyadari bahwa saat ini adalah waktu yang penuh berkat. Tidak seorang pun sekarang ini diminta untuk mengorbankan hidupnya. Sekarang ini bukan lagi waktu untuk pengorbanan nyawa, namun sekarang diminta untuk mengorbankan harta yang dimilikinya.
Semoga kita senantiasa menjadi manusia bersyukur dengan cara
menafkahkan harta kita di jalan-Nya. Karena sejatinya, kekayaan hati bukan terletak dari banyaknya harta, namun dari keberkahan harta yang kita miliki. Semoga Allah memberikan karunia keberkatan dan memampukan kita untuk senantiasa mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat yang lebih panjang. Aamiin YRA.
Visits: 124