PUJI SANJUNG BAGI ALLAH SWT. PENGAKUAN MANUSIA AKAN KELEMAHAN DIRI
Allah Ta’ala telah memberikan nikmat iman dan petunjuk ke jalan sunnah kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya. Sungguh tak ada ucapan yang paling indah selain memuji-Nya dan bersyukur atas segala limpahan kebaikan yang beberkat ini. Allah senantiasa memuliakan kaum mukmin yang selalu mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya, dan banyak menyebut asma-Nya yang husna.
Oleh karena besarnya kedudukan pujian ini, Allah menjadikannya sebagai penutup ucapan di surga. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Fatihah ayat 2 yang artinya:
“Segala puji hanya bagi Allah,Tuhan seluruh alam.”
Memuji Allah Ta’ala adalah amalan besar yang menunjukkan bahwa seorang mukmin sangat berbahagia atas kenikmatan dari-Nya yang tak seorang pun mampu menghitungnya. Demikian pula, saat terlepas dari musibah, disyariatkan untuk mengingat-Nya, bahkan diperintahkan untuk melakukan sujud syukur. Ini bukti bahwa Allah Ta’ala sayang dan amat penyantun pada hamba-Nya yang selalu butuh akan Rabb-nya. Tak hanya ketika bahagia, namun dalam situasi dan kondisi sulit pun kita harus memuji-Nya, beristigfar, bertaubat, dan memuliakan Allah Ta’ala sebagaimana perintah-Nya dan petunjuk Rasul-Nya.
Tiada seorang pun yang dapat berbuat sesuatu tanpa karunia dan bantuan Tuhan, tetapi ketika seseorang ditarik ke arah Tuhan dan menyatu dengan Wujud-Nya, dia melakukan tindakan yang dapat disebut sebagai perbuatan Tuhan dan kemudian cahaya kesempurnaan mulai menyinarinya. Berkaitan dengan kelemahan manusia, hal itu tidak terbatas. Dia bahkan tak dapat bergerak satu langkah pun tanpa karunia dan pertolongan Tuhan. Aku betul-betul yakin bahwa jika seseorang tidak ditolong oleh Tuhan, dia bahkan tidak dapat mengancingkan celananya setelah ke belakang.
Dokter berkata bahwa ada suatu penyakit yang dapat membunuh manusia melalui bersin (jika seseorang bersin, maka dia meninggal dunia).
Sesungguhnya manusia itu adalah kumpulan dari kelemahan-kelemahan dan itu sebabnya Tuhan befirman:
khuliqal insaanu dhaifa
“Manusia diciptakan lemah.” [1]
Pada pandangan Allah Ta’ala, yang dapat menjadi waliullah dan penerima berkat-berkat adalah orang yang memperoleh gejolak semangat ini. Allah Ta’ala menginginkan agar keperkasaan-Nya menjadi zahir. ‘Subhaana rabbial ‘azhiim’ dan ‘Subhaana rabbial a’laa’ yang diucapkan dalam salat, itu juga merupakan keinginan untuk menzahirkan keperkasaan Allah Ta’ala. Yakni, bahwa keagungan-Nya itu sedmikian rupa tidak ada tandingannya.
Dari tasbih dan taqdis yang dilakukan itu, kondisi ini tampil bahwa Allah Ta’ala telah memberikan penekanan. Yakni [seorang manusia], secara fitrati dengan gejolak semangat melalui pekerjaan-pekerjaan dan upaya-upayanya memperlihatkan bahwa, tidak ada suatu benda pun yang bertentangan dengan keagungan Ilahi, dapat menguasai dirinya. Ini adalah suatu ibadah yang sangat besar.
Setiap orang memiliki suatu keinginan. Namun, seseorang tidak dapat menjadi Mukmin selama belum mendahulukan keagungan Allah Ta’ala dari pada segenap keinginannya. Wali artinya yang dekat dengan sahabat. Apa yang diinginkan oleh sahabatnya, lalu itu menjadi keiginannya, barulah ia dikatakan wali. Allah Ta’ala berfirman:
Maa khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun
Artinya: “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku.” [2]
Manusia hendaknya memiliki gejolak semangat untuk Allah Ta’ala, maka barulah dia akan lebih dari sesama manusia. Dan dia akan masuk diantara hamba-hamba-Nya yang memperoleh qurub/kedekatan. Ingatlah, tidak ada suatu ibadah dan sedekah yang dikabulkan selama belum ada gejolak semangat pribadi bagi Allah Ta’ala. Yaitu gejolak semangat yang di dalamnya tidak ada campur tangan manfaat dan keuntungan-keuntungan pribadi. Dan suatu semangat sedemikian rupa dimana orang itu sendiri tidak dapat mengetahui mengapa gejolak semangat itu sampai timbul di dalam dirinya. Sangat diperlukan lahirnya orang-orang seperti ini dalam jumlah besar. Namun, selain iradah Allah Ta’ala, tidak ada suatu apa pun yang terjadi. [3]
Untuk menjadi Muslim sejati adalah mutlak agar meraih fitrat semacam ini. Yakni, kecintaan dan keitaatan terhadap Allah Ta’ala jangan dilandaskan pada rasa takut dan harapan terhadap suatu ganjaran pahala dan hukuman. Melainkan, jadikan [kecintaan dan keitaatan] itu sebagai bagian dari fitrat. Barulah kecintaan itu dengan sendirinya akan menciptakan suatu surga baginya. Dan itulah yang merupakan surga hakiki. Tidak ada orang yang dapat masuk ke dalam surga selama dia belum menempuh jalan ini.
Demikianlah, tuntunan indah Islam yang perlu diamalkan agar kita tergolong muttaqin yang selalu mengagungkan syariat-Nya. Ketika nikmat disyukuri, Allah akan menebar berkah dalam dirinya dan orang lain. Sebaliknya, tatkala nikmat dikufuri maka bisa jadi berakibat azab baginya. Jangan biarkan ujub dan sombong singgah di hati sehingga menjadi orang yang tidak pandai berterima kasih kepada Allah Ta’ala. Bahkan, kita disunnahkan untuk mengucapkan selamat kepada orang lain yang tengah memperoleh nikmat.
Hadhrat Umar bin Khattab ra. bersabda:
“Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.”
Referensi:
[1] QS. An-Nisa 4:29
[2] QS. Adz-Dzariyyat 51: 57
[3] Malfuzat, Add. Nazir Isha’at, London, 1984, jld. 1, h. 396/MI 24.11.2000
Views: 45
