Rahmat Tersembunyi di Balik Mendengarkan Al-Qur’an

Di sebuah masjid tua di pinggir kota, azan Magrib baru saja berkumandang. Udara sore bercampur aroma wangi karpet yang baru dibersihkan. Warga masyarakat mulai berdatangan, satu per satu mengisi shaf. Seorang qari muda duduk di depan mimbar, membuka mushaf, lalu mulai membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Suara merdu, tenang, seolah menyentuh lapisan hati yang paling dalam. Namun, di sudut masjid, beberapa orang masih bercakap-cakap, ada pula yang sibuk dengan ponsel.

Padahal Allah Ta‘ala telah berfirman:
“Dan apabila Al-Qur’an dibacakan, maka hendaklah kamu menyimaknya dan diamlah agar kamu diberi rahmat.” QS. Al-A’raf 205.

Ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan undangan dari Allah Swt. Undangan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan menundukkan hati agar bisa berdialog dengan-Nya.

Mengapa Kita Harus Diam?

Diam saat Al-Qur’an dibacakan bukan berarti pasif. Justru sebaliknya, kita sedang aktif menyerap pesan dari langit. Perintah ini mengandung adab mulia agar manusia tidak terganggu oleh kesibukan lain sehingga rahmat Allah dapat menyelimuti hati.

Hadhrat Rasulullah saw. sendiri memberi teladan. Dalam sebuah riwayat, beliau saw. pernah meminta Abdullah bin Mas‘ud r.a. untuk membacakan Al-Qur’an kepadanya.
“Aku suka mendengarnya dari orang lain,” kata beliau saw.

Dan ketika bacaan sampai pada ayat yang menggambarkan hari kiamat, mata beliau basah oleh air mata. [1]
Itulah diam yang tidak sekadar diam, melainkan diam yang penuh perenungan, yang menggerakkan air mata dan menggetarkan jiwa.

Sejarah mencatat, sebelum Umar bin Khattab r.a. memeluk Islam, ia adalah sosok yang keras terhadap dakwah Rasulullah saw. Namun, pada suatu hari, ia mendengar saudarinya membaca Surah Ṭāhā. Saat itu, ia tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata Al-Qur’an masuk begitu saja ke hatinya, membungkam lidahnya, dan akhirnya membalikkan jalan hidupnya. [2]
Kisah Umar adalah bukti bahwa saat kita benar-benar memberi kesempatan kepada Al-Qur’an untuk berbicara kepada kita, ia mampu mengubah manusia dari penentang menjadi pembela.

Di era ponsel dan notifikasi tanpa henti, tantangan terbesar bukan lagi mencari bacaan Al-Qur’an, melainkan menyisihkan waktu dan hati untuk mendengarkannya dengan tenang. Mungkin saat ini kita perlu bertanya pada diri sendiri: ketika tilawah diperdengarkan di masjid atau rumah, apakah kita betul-betul berhenti dan mendengarkan? Apakah hati kita hadir, atau hanya telinga yang bekerja?

Allah Swt telah menjanjikan rahmat bagi mereka yang mendengarkan dan diam. Dan rahmat itu adalah ketenangan jiwa, cahaya hati, dan pengampunan dosa. Semua itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh dunia.
Akhirnya, ketika Al-Qur’an berbicara, jangan biarkan hati kita sibuk dengan urusan lain. Biarkan setiap ayatnya mengetuk, masuk, dan menetap. Karena di situlah rahmat Allah turun, pelan-pelan, tetapi pasti mengubah kita dari dalam.

Referensi:
[1]https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/abdullah-bin-mas-ud-orang-pertama-terang-terangan-membaca-al-qur-an-ZLKjj?
[2]https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-7139308/minggu-05-00-kisah-umar-bin-khattab-dan-lembaran-surat-thaha-yang-membuat-hatinya-luluh?

Views: 24

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *