Rasa Malu: Benteng Diri di Tengah Dunia yang Terbuka

Di tengah arus zaman yang semakin terbuka dan bebas berekspresi, ada satu nilai luhur yang mulai terkikis dari kehidupan sebagian manusia: hilangnya rasa malu dan gemar mengumbar aib. Padahal, dua hal ini adalah pilar penting dalam menjaga kehormatan diri dan orang lain. Saat ini, tantangan untuk menjaga rasa malu semakin besar.

Pamer gaya hidup, mengumbar privasi, hingga mengabaikan batasan pergaulan menjadi hal yang biasa. Membuka aib sering kali dianggap hiburan, kekhilafan orang lain dijadikan konten, dan kesalahan kecil bisa dibesar-besarkan.

Namun, kita sebagai seorang Muslim harus tetap kokoh memegang nilai rasa malu sebagai bentuk penjagaan diri. Dalam Islam, rasa malu justru merupakan bagian dari keimanan dan menjadi penjaga utama akhlak.

Seorang Muslim yang benar imannya akan memiliki rasa malu dengan menjaga dirinya dari perbuatan buruk, dari perkataan yang menyakiti orang lain, dan dari sikap yang mencederai dirinya sendiri. Rasa malu yang kuat kepada Allah SWT akan melahirkan akhlak yang lembut, sikap yang santun, dan lisan yang terjaga. Ia menjadikan seseorang lebih bijak dalam bertindak, tidak gemar membuka aib orang lain, dan tidak mudah menilai buruk.

Allah SWT berfirman,

“Dan (juga) orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosa mereka — dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? — dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui.” [1] 

Sebagai manusia biasa yang penuh kelemahan, setan akan menggoda kita untuk terus berbuat dosa dan kemaksiatan, salah satunya dengan mengumbar diri serta membuka aib sendiri maupun orang lain. Namun saat kita ingat bahwa apa yang kita perbuat bisa menjerumuskan pada panas api neraka, maka segeralah kita mengingat Allah, bertaubat, memohon ampunan, dan memohon kesadaran serta kekuatan hati agar tidak terus-menerus tergoda bujuk rayu setan.

Dalam kehidupan sosial pun, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Namun, sebagai sesama manusia, kita diajarkan untuk menyikapi kesalahan itu sebagai ukuran kedewasaan dan kemuliaan akhlak. Menutupi aib orang lain adalah bentuk kasih sayang dan upaya menjaga kehormatan sesama.

Bahkan, Allah SWT senang menutupi aib dan dosa hamba-Nya. Allah SWT tidak langsung membuka aib seseorang walaupun ia berdosa, melainkan memberikan waktu untuk bertaubat. Bukti cinta Allah SWT kepada kita adalah ditutupinya aib kita dari pandangan manusia, meskipun kita sering berbuat kesalahan.

Hadhrat Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Penutup aib, dan mencintai rasa malu serta sikap suka menutup aib.” [2]

Sifat malu di sini bukan berarti Allah malu seperti makhluk yang lemah dan takut. Namun, Allah SWT memiliki rasa malu yang agung dan sempurna, yang muncul karena kebijaksanaan dan kasih sayang kepada hamba-Nya. Hadis ini juga menegaskan bahwa Allah mencintai sifat malu dan menutup aib di antara manusia. Seorang Muslim yang beriman seharusnya memiliki rasa malu karena segala perbuatan kita akan diawasi oleh Allah SWT.

Hadhrat Khalifatul Masih II ra. menjelaskan:

“Allah telah menanamkan dalam fitrah manusia suatu naluri (untuk membedakan) apa yang baik dan apa yang buruk, dan telah difirmankan bahwa ia dapat mencapai kesempurnaan rohani dengan menghindarkan diri dari hal-hal buruk dan salah serta memilih sesuatu yang baik dan benar.”

Oleh karena itu, rasa malu adalah benteng diri, dan menutup aib adalah bentuk cinta hakiki kepada sesama. Mari kita jaga dua adab ini agar hidup kita penuh kebaikan dan mendapat rida Allah SWT. Karena pada akhirnya, orang yang menjaga kehormatan saudaranya, sejatinya sedang menjaga kehormatan dirinya sendiri.

Referensi:

[1] QS. Ali-Imran : 135

[2] HR. Abu Dawud

Views: 81

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *