Refleksi: Merajut Kedamaian yang Terkoyak
Di sebuah majelis taklim yang dihadiri sekitar tiga puluh ibu-ibu, suasana awalnya terasa hangat oleh salam-sapa, jabat tangan, dan pelukan yang mengalir, mencerminkan indahnya persaudaraan sesama muslim. Namun, nuansa damai itu terusik oleh satu sikap. Seorang jamaah tampak hanya menyapa dan bersalaman dengan orang-orang tertentu, seolah membentuk lingkaran eksklusif bagi sahabat dekatnya saja.
Yang membuatnya pilu, beberapa orang yang telah dikenalnya belasan tahun justru dilewati begitu saja, dengan raut wajah yang menganggap mereka asing. Tindakan ini tentu saja menimbulkan tanda tanya dan tatapan heran di antara jamaah yang tidak disapa.
Tak berhenti di situ, dalam obrolan, orang tersebut kerap menanggapi dengan nada sinis. Jika ada hal yang tidak berkenan di hatinya, dengan berani ia mengkritik di depan umum menggunakan kata-kata yang tidak sedap didengar.
Seorang jamaah bernama Fulana merasa sangat tidak nyaman. Harapannya untuk merasakan kenyamanan dan kedamaian dalam pertemuan itu pun pupus. Daripada terus dikecewakan, ia memilih untuk menjaga jarak. Rupanya, sikap seperti ini bukan hanya sekali atau dua kali terjadi, melainkan berulang dalam setiap pertemuan.
Majelis taklim yang seharusnya menjadi sumber pencerahan dan kedamaian, justru berubah menjadi ajang yang menegangkan bagi Fulana. Andai bukan untuk menambah ilmu agama serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan, ia enggan untuk hadir.
Di tengah gejolak perasaannya, Fulana berusaha keras untuk tetap tenang dan berdamai dengan keadaan. Ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa hanya kekuatan doalah yang sanggup melunakkan hati dan mengubah sikap seseorang.
Kisah di atas adalah cermin betapa kedamaian yang sering kita anggap remeh adalah sesuatu yang rapuh. Ia dapat retak oleh perilaku individu yang tidak menjaga etika sosial dan semangat persaudaraan.
Rasulullah saw. telah mencontohkan bahwa seorang Muslim harus memancarkan rasa kasih sayang dan menjadi sumber kedamaian bagi sesama. Oleh karena itu, jika kita mendambakan perdamaian sejati, baik dalam lingkup kecil maupun besar, kuncinya adalah dengan mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri sendiri.
Jalan untuk mewujudkannya adalah dengan mendekatkan diri kepada As-Salām (Sumber Kedamaian). Dari sanalah kita memancarkan sifat-sifat-Nya yang Maha Damai dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Damai (As-Salām), dan Dia mencintai kedamaian.” (HR. Muslim)
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan perdamaian, kita harus berani mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi. Hanya dengan niat yang tulus untuk berbagi kasih, kita dapat merajut kembali kedamaian yang terkoyak, menciptakan majelis taklim dan pada akhirnya, masyarakat yang menjadi naungan bagi setiap jiwa yang haus akan ketenteraman.
Referensi:
(1) HR. Muslim
(2) Pentingnya Kedamaian Lahir dan Batin https://ahmadiyah.id/pentingnya-kedamaian-lahir-dan-batin.html
(3) Nilai-Nilai Kemanusiaan – Pondasi Kedamaian Dunia https://ahmadiyah.id/nilai-nilai-kemanusiaan-pondasi-kedamaian-dunia.html
Views: 12
