RELA KORBANKAN HARTA, JIWA, DAN KEHORMATAN DEMI IMAN SEBAGAI AHMADI

Ujian atas iman bisa dalam berbagai cara. Kadang diuji dari sisi harta. Kadang juga jiwa sebagai taruhannya. Kehormatan jelas, harus siap menghadapi cemooh dan olok-olok. Berat bukan? Dan Abah Ento punya semua kisah tentangnya.

Sebuah kisah dari salah sudut Kota Intan. Adalah Abah Ento, begitu para cucu memanggilnya. Usianya memasuki dasawarsa terakhir dalam hitungan abad. Jangan harap dapat menemukan 1 helai rambut hitam di kepalanya.

Hari ini Abah sedang bercerita dengan para cucunya. Satu cerita yang membuat pandang matanya tiba-tiba nanar. Saat jiwanya kembali ke 40 tahun silam, waktu dimana nyawanya berada di ujung amuk massa, yang mengepung tempat tinggalnya.

Apa salah Abah? hingga di serang sejumlah orang yang masih bertetangga dekat dengannya, dengan rupa-rupa senjata di tangan, dari batu, kayu, hingga golok tajam . Adakah Abah berbuat jahat di kampungnya? atau mencelakakan tetangganya? mendholimi keluarganya?

Tidak sama sekali. Semua itu karena Abah adalah pengikut Ahmadiyah. Dan peristiwa penyerangan ke rumah Abah, dipicu oleh kejadian di tanah Arab sana, ketika seseorang yang mengaku Imam Mahdi menyandera Jamaah Haji di Baitullah hampir 2 pekan lamanya.

Kebetulan, beberapa orang tetangga Abah juga tengah melaksanakan Ibadah Haji tahun itu. Sontak berita yang sampai ke kampung, memicu kemarahan masyarakat, dan Abah lah yang menjadi bulan-bulanan karena Abah adalah pengikut Imam Mahdi.

Namun masyarakat tentu tidak paham, Imam Mahdi yang Abah imani, bukanlah dia yang hanya mengaku-ngaku Imam Mahdi dan malah berbuat anarki, mendholimi mereka yang tengah melaksanakan ibadah di Tanah Suci.

Beruntung, pertolongan Ilahi hadir menaungi. Lewat perantaraan seorang yang hatinya bersih, seorang tokoh masyarakat datang membela dan melindungi, Abah dan keluarganya dapat selamat dari amuk massa itu.

Sambil sesekali mengusap airmata yang lajunya tertahan diantara lekuk-lekuk keriput di wajahnya, cerita Abah kembali berlanjut.

Kala itu, di sebuah pengajian Mesjid. Tiba-tiba Abah dicaci-maki dan disebut sebagai orang kafir, sesat dan bernabi palsu. Abah jelas terheran-heran karena saat itu Abah belum menjadi Ahmadi, hanya kenal dengan satu keluarga Ahmadi di kampung lain, untuk sebuah urusan bisnis namun serta merta dituduh sebagai orang Ahmadi. Sakit hati dengan hinaan itu, Abah pulang dan berdoa.

Malam pun tiba, gelisah terus menghantui pikiran Abah. Hingga hadir dalam mimpi, Abah berada di sebuah Mesjid yang sangat besar dan megah, namun seluruh ruangan mesjid itu gelap gulita, tak dapat ditemukan dimana pintu Mesjid itu.

Hingga sekian lama mencari dan berputar-putar tak kunjung di temukan. Putus asa, itu yang Abah rasa dalam mimpinya. Duduk terpekur dalam kebingungannya, tiba-tiba di depan Abah, hadir seseorang dengan berpakaian serba putih, kemudian menuntun dan menunjukkan Abah ke sebuah pintu, yang begitu di buka pintu itu, terlihatlah jalan yang begitu lebar, lurus dan terang benderang. Tak terkira bahagianya Abah dalam mimpi itu.

Berhari-hari, mimpi itu terus membayangi. Abah berusaha mencari apa gerangan arti mimpinya. Rasa penasaran yang begitu besar, mendorong Abah menemui kolega bisnisnya yang seorang Ahmadi.

Diceritakanlah kejadian penghinaan di pengajian dan mimpinya. Kolega Abah saat itu, berkali-kali mengucap syukur, yang tentu saja membuat Abah kembali diliputi kebingungan. Kejadian seperti ini malah disyukuri?

“Itulah petunjuk untukmu, segeralah baiat ke dalam Jemaat Ahmadiyah,” demikian nasihat yang disampaikan kolega Abah.

Puji syukur ke Hadirat Allah Ta’ala. Abah mengikuti nasihat itu. Dan kisah perjuangan Abah sebagai Ahmadi pun dimulai.

Bisnis jual beli bahan bangunan dan mebel yang saat itu sedang sangat bagus, serta merta di boikot oleh masyarakat, siapapun yang hendak berbelanja ke Toko Abah langsung dihalang-halangi.

Tetangga serta merta membenci. Keluarga pun turut antipati. Para tetua di keluarga Abah memberikan cap “anak murtad”.

Akses di lahan pertanian pun dipersulit. Abah tidak pernah diberikan giliran air untuk mengairi lahan pertaniannya.

Masa-masa sulit itu demikian terasa oleh Abah dan keluarga. Intimidasi secara fisik dan psikis. Kelaparan pun pernah dialami, karena bisnis yang semakin merugi dan hasil dari pertanian pun tak dapat lagi diharapkan.

Namun, dengan dukungan dari kolega Abah, Mubaligh, Pengurus dan anggota Jemaat, Abah tetap kuat bertahan.

Nafasnya tersengal berat, suaranya parau, namun Abah masih terus bercerita di hadapan cucu-cucunya.

Demi bisa ke Mesjid Jemaat, Abah rela menempuh perjalanan puluhan kilometer, berjalan kaki, menembus dinginnya dini hari, untuk dapat menunaikan shalat tahajud berjamaah di Mesjid.

Bukan hanya karena sulitnya angkutan saat itu, tapi karena ketiadaan uang untuk sekedar ongkos, tak menyulutkan semangat Abah untuk tetap datang ke Mesjid mengikuti berbagai kegiatan.

Dan pelan-pelan, Abah mengajak istri dan anak-anaknya untuk mengikuti jejak Abah. Namun, tak semua anaknya mau mengikuti langkah Abah, bahkan tak sedikit yang menentang, meminta Abah keluar dari Ahmadiyah, karena anak-anak Abah tidak tahan dengan cemooh dan perlakuan masyarakat.

Untuk kesekian kalinya, Abah tetap bertahan. Dan hanya anak-anak yang lahir setelah Abah menjadi Ahmadi lah yang dapat Abah bawa turut serta dalam Bahtera Imam Zaman.

“Abah sedih kalau kalian malas ke Mesjid, malas mengikuti kegiatan Jemaat, lambat-lambat mengerjakan Shalat”, demikian ucap Abah kepada cucu-cucunya.

“Jangan pernah menjauh dari Jemaat, taatlah pada Nizam, kalian teruskan perjuangan Abah, rajinlah bertabligh”, lanjutnya.

Suaranya kembali tercekat, air mata mengalir deras. “Jangan sia-siakan perjuangan Abah selama ini”, dalam terbata Abah melanjutkan nasihat demi nasihatnya. Cucu-cucunya hening mendengarkan, sesekali mengganggukkan kepala.

Sungguh, kisah dari sudut kota kecil ini takkan pernah sebanding dengan pengorbanan para Sahabat Mulia Rasulullah SAW, para Sahabat Mulia Masih Mauud AS. Tapi kisah ini adalah contoh hidup yang jelas nyata di hadapan kami.

Kecintaan, keimanan akan sebuah kebenaran, apapun dera derita yang harus dijalani, semua dapat dijalani dengan tetap berpegang teguh pada Ilahi. Abah dan jejak kisahnya telah menorehkan banyak hikmah. Semoga dapat menjadi teladan bagi anak keturunan yang akan terus melanjutkan perjuangannya. Insya Allah Ta’ala.

.

.

Penulis: Ai Yuliansah

Editor: Muhammad Nurdin

 

Visits: 80

Ai Yuliansah

2 thoughts on “RELA KORBANKAN HARTA, JIWA, DAN KEHORMATAN DEMI IMAN SEBAGAI AHMADI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *