
SAAT ANAK TERLUKA DALAM DIAM: REFLEKSI ATAS EGOISME ORANG TUA DALAM DALAM BINGKAI AGAMA
Dalam realitas kehidupan, tidak semua luka datang dari luar rumah. Ada luka yang mengendap dalam diam, tumbuh perlahan di balik dinding tempat yang disebut ‘rumah’ sebuah tempat yang seharusnya menjadi pelindung, namun justru menjadi sumber sepi dan ketakutan. Anak-anak yang bertumbuh dalam tekanan, tuntutan, dan suara-suara keras yang tidak memahami isi hati mereka. Mereka bukan tidak mau bicara, hanya tidak tahu kepada siapa harus mengadu ketika justru orang tuanya sendiri yang menjadi penyebab luka itu.
Banyak orang tua mengira mereka sedang mendidik, padahal yang mereka lakukan adalah mematahkan. Dengan dalih cinta dan tanggung jawab, mereka menanamkan ambisi yang tidak sesuai dengan kodrat anak. Mereka lupa bahwa zaman telah berubah, cara mendidik pun harus berubah. Tapi justru di situlah ego orang tua seringkali menghalangi cahaya kasih yang seharusnya menghidupkan anak, bukan menakut-nakutinya.
Anak-anak yang dipaksa menurut tanpa diberi ruang berdialog, lama-lama akan tumbuh menjadi pribadi yang takut akan dirinya sendiri. Mereka terbiasa memendam, menelan semua tangis, dan perlahan kehilangan semangat hidup. Bukan karena mereka lemah, tapi karena cinta yang mereka terima tidak pernah membuat mereka merasa cukup. Cinta yang seharusnya menumbuhkan malah membungkam, cinta yang seharusnya memakmurkan dan membahagiakan malah menjadi luka yang abadi dan tersimpan. Dan di dalam diam itu, anak-anak tumbuh, namun dengan jiwanya yang tergores dan tidak utuh.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, walaupun terhadap seorang kerabat.” [1]
Ayat ini sederhana, tapi tajam, berlaku adil adalah perintah, bahkan terhadap keluarga terdekat. Maka anak pun layak mendapatkan keadilan, hak untuk dipahami, hak untuk ditanya “Apa yang kamu rasakan, Nak?” Hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa selalu dibandingkan, tanpa harus menjadi versi dari mimpi orang tua yang tak sempat terwujud.
Hadhrat Rasulullah Saw. adalah teladan penuh kasih dalam memperlakukan anak-anak. Beliau tidak pernah memukul, tidak pernah mencela, tidak meninggikan suara lalu berkata kasar, bahkan tidak menegur tanpa alasan yang penuh cinta. Beliau memuliakan anak-anak dengan menggendong mereka, menyuapi mereka, dan membiarkan mereka bermain, tak merenggut masa kanak-kanaknya bahkan saat beliau sujud dalam shalat. Inilah cinta yang tak menyakiti, cinta yang tidak menjadikan anak sebagai objek perintah semata, tapi sebagai manusia utuh yang dihargai, titipan Tuhan yang harus dirawat dan dicintai.
Hadhrat Masih Mau’ud as. pernah bersabda,
“Janganlah kalian berlaku kasar terhadap anak, karena kekasaran itu akan mematikan bakatnya.” [2]
Betapa banyak potensi besar yang mati muda bukan karena dunia tidak adil, tapi karena sejak kecil jiwa mereka dipenuhi ketakutan. Takut salah, takut gagal, takut akan diskriminasi dan bullying, takut tidak diterima oleh orang tuanya sendiri. Takut itu terus tertanam hingga mereka dewasa, bahkan bisa menjadi sebuah lingkaran setan yang tak pernah patah, dan akhirnya mereka belajar untuk tidak mencoba apa-apa, karena merasa tidak pernah merasa cukup, bahkan untuk sekedar dicintai.
Hadhrat Khalifatul Masih V atba pun bersabda,
“Jika anak-anak merasa dicintai, mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang kuat dan saleh. Tapi jika mereka hanya dipaksa, maka mereka akan patah.” [3]
Patah yang tidak terlihat, tapi terasa dalam hidup mereka yang hampa. Mereka tetap sekolah, tetap bekerja, tetap tersenyum di luar. Tapi di dalam, jiwa mereka mengendap dalam sunyi yang nyaring, menanti pelukan yang tidak pernah datang, dan memahami bahwa orang tua mereka mungkin tak pernah benar-benar mengenal siapa mereka.
Maka betapa menyedihkan ketika orang tua hanya ingin dipahami, tapi tidak pernah belajar untuk memahami. Ketika anak diminta terus bersabar, tapi orang tua tak pernah bersedia membuka ruang dialog. Ketika orang tua merasa telah berkorban segalanya, tapi lupa bahwa cinta bukan soal pengorbanan saja, melainkan bagaimana kehadiran itu membuat jiwa anak merasa berarti dan layak untuk disayangi tanpa syarat.
Kita tidak sedang menuntut orang tua menjadi sempurna, tapi setidaknya cukup terbuka untuk belajar memahami akan zaman dan anaknya sendiri. Bukan hanya anak yang belajar jadi anak. Tapi orang tua juga belajar jadi orangtua untuk anak di zaman sang anak. Karena tidak semua anak bisa menjadi seperti harapan, tapi semua anak berhak untuk tumbuh dengan jiwanya yang utuh.
Jika dulu kita sering mendengar bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu, maka kini kita perlu bertanya ‘masihkah ada surga dalam rumah yang kehilangan kasih? Bukankah rumah seharusnya menjadi tempat anak bisa menangis tanpa takut disalahkan, tempat ia berlindung dari segala kesakitan dan ketakutan? tertawa tanpa takut dikritik, dan bercerita tanpa takut dibantah?’
Semoga Allah Ta’ala menjadikan setiap rumah sebagai tempat rahmat, dan menjadikan setiap orang tua mampu melihat anaknya dengan mata kasih, bukan hanya dengan mata ego.
“Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan anak-anak keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [4]
Aamiin Allahumma Aamiinn.
Referensi :
[1] Q.S. Al-An’ām 6:153
[2] Malfuzat, Jilid 5
[3] Khutbah Jumat Hadhrat Khalifatul Masih V atba, 6 Februari 2015, Baitul Futuh, Inggris
[4] Q.S. Al-Furqan 25:75
Views: 52