
Sabar Menjadi Jalan Ketakwaan
Sudah menjadi hal yang wajar bila kita merasa kecewa ketika apa yang sudah diusahakan mengalami kegagalan, apa yang sudah kita ekspektasikan tiba-tiba tidak sesuai dengan realita. Sehingga kadang kita lebih fokus menggeluti perasaan kecewa dibanding mencari pelajaran yang Allah swt. coba titipkan di dalam kegagalan tersebut. Sebenarnya ini semua terjadi karena kita terlalu melihat kehidupan menggunakan kacamata duniawi, dimana kepuasan indrawi adalah prioritas paling utama. Sehingga ketika dihadapkan dengan sesuatu yang tidak memuaskan indrawi kita, kita akan melihatnya sebagai kegagalan yang buntu.
Inilah yang akan kita alami bila terlalu melekatkan hati juga pikiran terhadap dunia. Semakin melekatnya hati pada dunia maka akan semakin sulit pula lepas darinya, sehingga ketika apa yang kita anggap dunia itu hancur, ikut hancurlah kita di dalamnya. Satu-satunya yang mampu membentengi diri kita dari perasaan terlalu mencintai perkara dunia adalah dengan ketakwaan. Mendahulukan keridhaan Allah di atas yang lain dan untuk menganggap Allah sebagai satu-satunya dan tidak ada bandingannya, juga sumber dari semua kekuatan. Taqwa adalah membayar hak-hak Allah dan untuk mencari keridhaan-Nya, juga membayar hak-hak makhluk-Nya.
Sebagaimana sabda Masih Mau’ud as, “Sudah jelas bahwa berhati-hati terhadap amanat Allah Ta’ala, dan memenuhi semua janji keimanan, dan menggunakan semua kemampuan dan anggota badan baik yang dzahir, seperti mata, telinga, tangan, kaki dan lain-lain yang sepertinya, dan yang batin, seperti pikiran serta kemampuan dan sifat lainnya, pada kesempatan yang tepat dan menahannya bertindak pada kesempatan yang tidak tepat, dan berhati-hati terhadap serangan halus syetan dan berhati-hati terhadap hak-hak sesama makhluk hidup, adalah cara menyempurnakan keindahan rohani seseorang.” (Barahin-e-Ahmadiyya, Bagian V, Ruhani Khaza’in, vol. 21, hlm 209. Essence of Islam Vol. II hal.348)
Untuk mencapai tingkat ketakwaan tersebut bukanlah perkara yang mudah. Dianugerahinya kita dengan hawa nafsu tentu menjadi kesulitan tersendiri menghadapi segala ujian. Namun di situlah letak pengorbanan yang harus kita lalui. Ketika ada sedikit pengharapan terhadap dunia namun hati dan pikir kita ikhtiarkan untuk mencari keridhaan Allah, di situlah ketakwaan kita dapatkan.
“Jalan ketakwaan sangat sulit dan hanya orang yang benar-benar mengikuti kehendak Allah Ta’ala dan melakukan apa yang Tuhan inginkan dan tidak mengutakamakan dirinya sendiri, yang dapat menempuhnya. Tidak ada yang dapat dicapai dari kepura-puraan; karena itu, yang dibutuhkan adalah karunia Allah. Hal ini dapat terjadi jika orang berdoa sambil berusaha. Allah Ta’ala telah memerintahkan keduanya, berdoa dan berupaya.” (Malfuzat, Vol. VI, hal. 227)
Para nabi dan rasul merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ketakwaan yang sempurna karena ketinggian derajat mereka berbanding lurus dengan ujian yang mereka hadapi. Ujian yang mereka hadapi pun tidak hanya berbentuk kesulitan namun dalam bentuk kenikmatan pula, sehingga keimanan mereka sangatlah konsisten dalam keadaan senang maupun susah. Mereka tidak pernah tergelincir pada nikmat-nikmat dunia yang Allah karuniakan kepada mereka, dan pula tidak terpuruk pada setiap kesulitan yang Allah hamparkan di depan mereka. Ini karena keyakinan mereka bahwa sebaiknya-baiknya nikmat dan sesulit-sulitnya ujian adalah yang membawa mereka meraih keridhaan Allah Ta’ala, atau dengan kata lain mereka mampu bersabar atas segala sesuatu yang terjadi kepada mereka.
Sejatinya bila ujian yang dihadapi manusia menjauhkannya dari Allah s.w.t., maka itu adalah sebuah musibah. Namun bila ujian yang ia hadapi mendekatkannya dengan Allah s.w.t., maka itu adalah karunia. Jadi ketakwaan seseorang bukan dilihat dari bagaimana bentuk juga ukuran dari ujian yang menerpanya, namun dari bagaimana sikap sabarnya mampu menahan dirinya dari kehancuran. Karena sebagaimana Hadhrat Umar bin Khattab r.a. bersabda, “Sabar adalah bahan ramuan paling menyehatkan dalam hidup kita.”
Visits: 231