
Awal Mula Ahmadiyah di Makassar, Dari Sebuah Khutbah Jumat
Tidak pernah terpikir oleh Bapak Kudikal Muhiddin (almarhum) bahwa Shalat Jumat kala itu menjadi babak baru dalam hidupnya. Padahal, Shalat Jumat biasa menjadi tempat tidur kedua paling nikmat bagi banyak orang di masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Saat orang-orang tengah tertidur nyenyak sambil bersila. Saat itu azan belum berkumandang. Seseorang naik ke atas mimbar. Orang tersebut terlihat asing bagi jamaah di masjid tersebut.
Saat sang Khatib naik. Tiba-tiba ia langsung mengucapkan:
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..”
“Asyhadu alla ilaha illallah, wahdahu laa syarikalah, waasyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluh…”
Orang-orang yang tengah tertidur pulas, seolah disiram air seember, tiba-tiba mereka bangun dan mulai menyimak Khutbah Jumat yang disampaikan oleh seseorang yang menjadi jembatan bagi sebagian Jamaah untuk menjemput takdir baru dalam kehidupan kerohanian mereka.
Sang Khatib memulai khutbahnya dengan:
“Kamu semua tidak usah khawatir karena tidak ada azan. Dosa kamu semua karena shalat tidak diawali dengan azan saya yang akan tanggung.”
Tambah terperanjatlah orang-orang yang hadir saat itu. Mata mereka terbelalak dengan kehadiran Khatib baru yang baru saja mereka lihat itu.
Tapi. Khutbah yang disampaikan oleh sang Khatib begitu mengesankan. Tak terkecuali Bapak Muhiddin beserta tiga puluh-an orang jamaah masjid tersebut.
Ketiga puluh orang tersebut penasaran dengan sang Khatib. Mereka ingin mengetahui lebih lanjut tentang khutbahnya yang menyinggung masalah Imam Mahdi.
Sang Khatib menyuruh agar orang-orang yang tengah mencari kebenaran ini datang ke sebuah “shalat center” sebelum azan subuh berkumandang untuk mendirikan shalat tahajjud berjamaah. Tiap hari mereka datang untuk shalat tahajjud juga subuh berjamaah.
Setelahnya, sang Khatib menyampaikan banyak wejangan dan pesan-pesan agama yang sangat menyentuh hati ketiga puluh orang itu, timbul rasa nyaman dan haus akan ilmu-ilmu agama. Mereka pun jadi terus ingin belajar, sambil memperbaiki kualitas ibadahnya yang dulunya pasang surut.
Hingga akhirnya, Bapak Muhiddin dan ketiga puluh orang semuanya memutuskan untuk bai’at di tangan sang Khatib, yang rupanya merupakan utusan Imam Mahdi yang pertama kali datang di tanah Makassar. Sang utusan merupakan mubaligh Ahmadiyah yang bernama Mln. Saleh A. Nahdi.
Peristiwa bersejarah bagi pergerakan Ahmadiyah di Sulawesi Selatan tersebut terjadi sekitar tahun 1974. Jalan cerita bagaimana hidayah itu bisa sampai kepada tiga puluh orang itu sungguh menakjubkan, seolah Allah Ta’ala sendiri lah perancang utama, hingga semua terjadi seperti kebetulan.
Ditunjuknya Mln. Saleh A. Nahdi sebagai khatib di masjid tersebut tidak ada yang pernah menyangka. Karena pada saat itu tidak ada khatib untuk mengisi Jumatan. Salah seorang saudara Bapak Muhiddin mengusulkan seorang ustadz yang ia sendiri tidak tahu kalau itu adalah mubaligh Ahmadiyah.
Lihatlah, bagaimana Tuhan telah menciptakan sebuah pertemuan yang membukakan pintu tabligh bagi tersebarnya pesan Imam Mahdi di bumi Makassar. Semua seolah kebetulan. Tapi semua ini adalah rencana Allah Ta’ala.
Bai’atnya Bapak Muhiddin ke dalam Jemaat Ahmadiyah menjadi titik balik kehidupannya. Ia yang biasa mabuk-mabukan, shalat seminggu sekali saat shalat Jumat. Kini menjadi pribadi yang jauh berbeda.
Bapak Muhiddin rajin berkunjung ke rumah Mln. Saleh A. Nahdi. Banyak bertukar pikiran dan mendapat nasehat-nasehat penuh hikmah dari mubaligh pertama yang diutus untuk daerah Sulawesi Selatan itu.
Ia benar-benar mantap meninggalkan kebiasaan minum minuman keras. Shalat yang tadinya seminggu sekali, setelah bai’at, shalat 5 waktu tak pernah ditinggalkan. Bahkan, ia kini tak pernah ketinggalan shalat tahajjud.
Saat sang istri mengetahui suaminya telah masuk Ahmadiyah, ia tak setuju dengan keputusan sang suami. Karena yang ia tahu, Ahmadiyah itu sesat dan bukan bagian dari Islam.
Tapi yang membuat ia bertanya-tanya adalah mengapa suaminya bisa demikian berubah? Apa sebenarnya yang telah diajarkan mubaligh Ahmadiyah kepada suaminya?
Itulah membuatnya, pada akhirnya menerimana kebenaran Jemaat Ahmadiyah. Bahkan di situasi sulit sekalipun.
Pernah sang kakak yang merupakan orang terpandang dan kaya saat itu menawarkan kepada sesuatu kepadanya. Saat itu memang kehidupan keluarga Bapak Muhidin diliputi kesusahan dari segi ekonomi. Sang kakak berkata, “Kalau kamu mau saya lihat (bantu segala macam), tinggalkan Ahmadiyah.”
Tapi kebenaran Jemaat telah merasuk ke dalam hatinya. Baginya, iman ini jauh lebih berharga dari apapun. Karena iman inilah suaminya mengalami perubahan rohani yang luar biasa.
Penentangan Hebat dari Anak Pertama
Saat Bapak Muhiddin bai’at ada satu anaknya yang belum diikutsertakan. Itu adalah anak pertamanya yang sudah dewasa. Namanya Mustariy, pada awalnya. Hingga di suatu masa, Khalifatul Masih yang Ketiga memberikannya nama baru yang begitu indah.
Anak pertama Bapak Muhiddin dikenal sebagai preman. Ia jarang berada di rumah. Hingga datanglah sebuah kabar ke telinganya bahwa orang tua serta adik-adiknya telah masuk “aliran sesat Ahmadiyah”.
Darahnya mendidih mendengar kabar yang lebih gawat dari musibah apapun di dunia ini. Ia pun langsung naik pitam dan ingin segera mencabut nyawa sang mubaligh yang telah “menyesatkan” keluarganya itu.
Jangankan soal akidah, soal zakat fitrah saja, jika ketahuan ada yang dalam istilah orang sana “tenana pitara” (tidak bayar fitrah), nyawa orang bisa melayang karena hal sepele itu. Apalagi ini soal akidah yang ia anggap jauh lebih besar perkaranya.
Mustariy akhirnya mengajak kawan-kawannya untuk menggeruduk rumah Mln. Saleh A. Nahdi. Ia memastikan hari itu adalah hari terakhir bagi mubaligh Ahmadiyah berada di dunia ini.
Setelah semua orang berkumpul di depan rumah Mubaligh Saleh A. Nahdi. Anak pertama Bapak Muhiddin masuk ke dalam. Dengan penuh emosi berteriak untuk menyuruh keluar sang mubaligh.
Mln. Saleh A. Nahdi menemuinya. Perawakannya tenang. Ia seperti tak melihat ada seorang pemuda yang tengah naik pitam berdiri di hadapannya sambil memegang sebuah badik yang terhunus.
Ada sebuah pepatah Bugis yang masyhur dan selalu dijadikan pegangan, “Ketika badik telah keluar dari sarungnya pantang diselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan.”
Bukannya menunjukkan rasa takut karena rumahnya telah dikepung oleh sekitar lima belas orang yang sedang gelap mata. Sang mubaligh memperlakukan Mustariy dengan penuh kehangatan dan persaudaraan.
Tiba-tiba. Badik yang tengah dipegangnya dalam keadaan terhunus itu terjatuh. Ia tertegun sejenak melihat ke arah Mln. Saleh A. Nahdi.
Dan tak disangka, Mustariy memilih balik kanan menemui teman-temannya. Menyuruh mereka bubar kembali ke tempat masing-masing.
Tentu, teman-temannya bingung. Mereka yang tengah naik pitam akibat provokasi Mustariy, tiba-tiba keberaniannya ciut seketika. Dalam hati mereka bertanya, apa yang terjadi di dalam sana?
Mustariy pun bercerita. Bahwa ia melihat berkas sinar yang terang benderang di balik wujud Mln. Saleh A. Nahdi. Ia tidak tahu itu apa. Yang ada di pikirannya, orang ini bukan orang biasa. Makanya, ia langsung pulang.
Mustariy yang berlatar belakang preman. Dan pernah berencana membunuh mubaligh Ahmadiyah. Di kemudian hari dengan karunia Allah Ta’ala bai’at masuk Jemaat Ahmadiyah, lalu menjadi mubaligh Ahmadiyah.
Dan semata-mata karunia-Nya, Mustariy bisa menuntut ilmu ke Rabwah dimana Hadhrat Khalifatul Masih berada. Dan mendapat karunia nama baru dari Khalifah saat itu, Hazrat Mirza Nasir Ahmad rh, yaitu Abdus Sattar Rauf.
Lihatlah. Bagaimana cara Allah Ta’ala menarik hati mereka yang tengah jatuh dalam jurang dosa dan kemunkaran. Membersihkan diri mereka dari pekatnya lumpur dosa. Memakaian jubah takwa yang membuat mereka siap untuk menjalani sebuah kehidupan baru yang amat berbeda dari kehidupan sebelumnya.
Ketika karunia hidayah itu turun, tak ada satupun yang dapat menghentikannya.
Dan kisah tentang Mln. Abdus Sattar Rauf akan diceritakan di lain kesempatan.
Diceritakan langsung oleh: Paris Muhiddin (anak dari almarhum Bapak Muhiddin)
Visits: 590
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.
Kisah yg sangat indah dan menggugah keimanan. Semoga semakin byk jiwa2 baik dan haus akan kebenaran mendapat pelajaran dari kisah ini. Aamiin YRA
Subhanallah..Allahu Akbar…..kenal bpk Mln Abdus Sattar Rauf ketika saya masih kecil dan bliau bertugas di cbg saya. Tak terlihat sedikitpun bahwa beliau ini mantan preman..
Setiap membaca kisah yang menggugah dan mengharukan seperti ini, tanpa disengaja air mata menetes,
Subhanallah semoga Allah SWT membuka kan hati hati orang-orang di di Dunia ini untuk menerima kebenaran dari Allah SWT
Saya adalah Asli Bugis Makassar dan saya sudah beberapa kali ketemu dgn tuan Abdus sattar, beliau sangat lembut dan setiap beliau bercerita pasti mengeluarkan air mata bagaimana beliau berceramah. Sangat mengesankan dari seorang mantan pereman tersebut, namun jika orang TDK pernah tau soal latar belakang beliau TDK akan pernah tau bagaimana ganasnya beliau sebelum beriman kepada Imam Mahdi.
Subhanallah
Cukuplah Allah sebagai penolongku…
Allahu Akbar… Kisah yang sangat menginspirasi, menambah keimanan dan membuktikan Ahmadiyah adalah Jemaat Ilahi.
Subhanallah, kadang karunia itu datang dari mana saja,
Kisah nyata yang sangat luar biasa merinding saya setelah membacanya..Allahu akbar
Subhanallah, begitulah kalau Allah trlah memberikan karunia kpd seseorang. Maka tak ada yg bisa menghalanginya.
Penulisan kalimat Bahasa Makassar lbh tepatnya, “Tena nappittarak” (akhiran ‘k’ nya sama dengan bunyi hamzah sukun dlm bahasa Arab.
Subhanallah
Allah tahu apa yg ada dalam dada manusia
Beliau -beliau yg berhati bersih
Mendapat cahaya dari langit
Menjadi murid Imam Mahdi