
Uang Candah Dalam Gulungan Karet Gelang
Pengorbanan harta itu bukan soal besar atau kecilnya jumlah yang dibayarkan. Pengorbanan hakiki adalah soal tetap berusaha memberikan yang kita cintai di jalan Allah meski kita tengah dilanda kesulitan.
Itulah kata-katanya yang mungkin bisa mewakili peristiwa meneguhkan iman yang baru kami saksikan. Tentang seorang anggota Jamaah Islam Ahmadiyah yang bernama Bapak Nasrul.
Bapak Nasrul tinggal di daerah bernama Muara Bodi, Kabupaten Sijunjung, yang jaraknya 55 km dari Cabang Talang. Beliau mempunyai tiga anak. Untuk menghidupi keluarganya, beliau bekerja sebagai petani, kadang juga sebagai tukang.
Disebabkan pandemi, beliau menahan diri untuk datang ke masjid. Hingga datang suatu hari, aku dan suami mengadakan kunjungan ke rumah beliau. Untuk melihat bagaimana keadaan keluarganya. Dan tidak lupa aku juga membawa majalah Asy-Syifa untuk istrinya.
Sesampainya disana. Kami disambut dengan ramah oleh Pak Nasrul dan istrinya, Bu Elly. Ada segudang rindu yang seketika tumpah dikarenakan lama tak berjumpa. Dengan cekatan, sang istri langsung ke dapur dan membuatkan kami minum.
Perbincangan pun dimulai. Banyak topik yang diobrolkan. Mulai dari covid sampai pada kegiatan Jemaat atau Cabang. Beliau mengatakan bahwa mereka sangat ketinggalan informasi karena handphone yang digunakan jadul jadi tidak bisa whatsapp-an apalagi youtube-an juga zoom-an. Sementara banyak kegiatan Jemaat yang disampaikan lewat platform-platform tersebut.
Tak terasa, waktu zuhur tiba. Obrolan pun terhenti. Kami mulai bersiap untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Usai shalat, obrolan pun berlanjut. Masih membahas seputar Jemaat.
Tak terasa waktu pun sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Kami pun pamit pulang. Tiba-tiba, Pak Nasrul masuk kembali ke kamarnya, dan keluar lagi membawa sesuatu.
Sebuah kantong kresek hitam ditentengnya. Beliau lalu mengambil sesuatu dari dalam kresek tersebut. Kulihat uang kertas pecahan sepuluh ribuan dan lima ribuan tergulung dalam balutan karet gelang.
Gulungan uang itu lumayan tebal. Kemudian beliau berkata, “Pak Mubaligh mohon maaf, saya minta tolong menitipkan uang pengorbanan kami ini untuk diberikan kepada sekretaris maal Talang ya pak.”
Kemudian suamiku menjawab, “Baik Pak InsyaAllah saya sampaikan.” Lalu suamiku bertanya, “Tapi Pak, ngomong-ngomong ini jumlahnya berapa?”
Pak Nasrul tampak seperti bingung. Sambil tersenyum beliau menjawab, “Itulah pak saya tidak tau berapa jumlahnya, setiap saya ada rezeki langsung saya sisihkan seper enam belasnya dan saya gabungkan dalam ikatan ini pak.”
Beliau melanjutkan, “Alhamdulillah saya tidak mengambil uang itu lagi walaupun kami kadang membutuhkannya, karena saya fikir uang itu sudah menjadi hak Allah Ta’ala.”
“MashaAllah bapak,” gumamku dalam hati. Selanjutnya beliau minta tolong agar kami saja yang menghitung uang itu saat tiba di rumah. Kamipun menyetujuinya.
Pak Nasrul melepas kami di halaman rumahnya. Setelah itu kami pamit pulang diiringi senyuman bahagia dari keluarga pak Nasrul.
Sepanjang jalan aku dan suami terus mengagumi apa yang telah diperlihatkan oleh Pak Nasrul. Ditengah Pandemi seperti ini, saat peluang kerja sedikit, pendapatan menurun, dan kebutuhan tetap harus dipenuhi. Tapi bagaimana Allah Ta’ala tetap meneguhkan hati beliau dan keluarga untuk tetap mengeluarkan pengorbanan hartanya.
Semoga Allah Yang Maha Pemberi Rezeki senantiasa memberikan rezekinya kepada orang-orang yang tetap mendahulukan urusan agamanya disamping kebutuhan pribadinya. Aamiin Allahumma Aamiin.
.
.
.
Penulis: Nurunnisa Nuni
Editor: Muhammad Nurdin
Views: 620
MasyaAllah kisah yang menggugah dan,am mengorbankan harta. Mubarak Bu nuni
Barakallh Bu Lia