COVID-19: UJIAN KEPATUHAN PADA PEMIMPIN

Ujian terbesar umat beragama di masa pandemi covid-19 adalah kepatuhan terhadap Pemimpin. Itulah mengapa, banyak fihak yang gagal melewati ujian ini. Acuh terhadap aturan. Masa bodoh dengan akibat di kemudian hari.

Alasan mereka sederhana. Mereka merasa kegiatan paling esensial dalam hidupnya seperti direnggut, yakni tidak bisa lagi mengadakan ibadah berjamaah.

Padahal dengan berjamaah itulah umat beragama merasa lebih bergairah dan nikmat karena saling menguatkan satu sama lain.

Tidak semua orang sanggup seketika itu meninggalkan ibadah berjamaah di tempat ibadahnya masing-masing. Contoh saja yang dialami sebagian umat muslim.

Shalat lima waktu berjamaah di masjid telah menjadi nafas kehidupannya, melebihi kebutuhan akan makan yang hanya tiga kali sehari.

Bahkan lebih jauh, sebagian muslim bersikeras menuntut haknya untuk beribadah yang telah diatur UUD secara berlebihan.

Terdapat sebuah kaedah ushul fikih yang berbunyi:

Dar’u al-mafaasidi muqaddamu ‘ala halbi al-mashaalih”, artinya menghindari “mafsadat” (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik “maslahat” (manfaat).

Kaedah ini menjelaskan bahwa suatu amalan (yang disunahkan oleh Rasul) yang mengandung “maslahat” lebih baik ditinggalkan, sebab di dalam amalan tersebut juga terdapat “mafsadat”. Jadi, menurut kaedah ini, saat suatu amalan dinilai akan membawa kemudharatan yang besar ketimbang manfaatnya, maka sebaiknya kita meninggalkan amalan tersebut, meski itu adalah amalan sunah.

Pertanyaannya sekarang adalah: Ketika 13 ribu orang telah terjangkit dan 900 orang lebih dinyatakan meninggal, apakah bijaksana dan membawa kepada maslahat dengan memaksakan ibadah-ibadah secara berjamaah di masjid yang berpotensi menjadi sarana penyebaran virus?

Pada hakikatnya, peran agama adalah membuat segala hal yang tidak teratur menjadi lebih rapi dan membuat kondisi tidak baik menjadi lebih baik.

Salah satu contoh peran agama dalam menciptakan keteraturan adalah larangan untuk berbuat keji, munkar dan pemberontakan. Termaktub dalam ayat.

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ

Dan Dia melarang kamu berbuat keji dan munkar, serta pemberontakan.” (QS. An-Nahl: 89).

Baghyun atau berlebihan dalam menuntut hak bisa mengakibatkan kehancuran yang lebih luas. Itulah mengapa Al-Quran menaruh perhatian yang besar agar umat Islam menjauhi sifat memberontak. Sifat ini sejajar dengan perbuatan keji dan kemunkaran.

Allah telah memperlihatkan bagaimana sikap keras hati yang berujung pada penolakan atas aturan telah menjadi sebuah klaster penyebaran virus corona. Itu terjadi saat pelaksanaan Ijtima Jamaah Tabligh di Gowa, Sulawesi Selatan.

Bukannya mendatangkan maslahat kepada umat, kegiatan yang sebelumnya telah mendapat larangan ini justru mendatangkan mafsadat yang menyebar ke berbagai daerah di negeri ini.

Orang-orang yang tidak tahu apa-apa soal Ijtima tersebut pun jadi terjangkit. Para petugas medis yang berada di garda terdepan pun satu persatu berguguran.

Cobalah resapi sabda Rasulullah saw berikut ini:

Orang yang tidak menyukai suatu hal dari pemimpinnya maka hendaknya ia bersabar. Karena orang yang keluar dari ketaatan kepada amir (pemimpin) meskipun hanya sejengkal, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (Shahih al-Bukhari Kitaabul Fitan, Bab Qaulun Nabi saw. satarouna ba’di umuron tunkiruunaha, hadits No. 7057)

Melawan pemerintah, bahkan mengadakan pemberontakan kepada pemerintah, sangat dekat kepada kejahiliyahan. Apakah kejahiliyahan yang kita inginkan menghiasi kehidupan beragama kita?

Sebaris tulisan Imam An-Nawawi sepertinya bisa menjadi penutup yang indah.

Ahli sunah berijma’ (sepakat) bahwa tidaklah jaiz (tidak dibenarkan) melengserkan pemimpin meskipun ia fasiq….para ulama mengatakan, bahwa janganlah memakzulkan (memecat atau menggulingkan) pemimpin yang fasiq dan zalim. Alasan untuk tidak menggulingkan dan memerangi pemerintahan yang fasiq dan zalim itu karena hal demikian akan menimbulkan lebih banyak fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan satu sama lain. Jadi, dengan tetap memegang kekuasaannya, pemimpin yang fasiq dan zalim akan menimbulkan lebih sedikit kerusakan dibandingkan dengan akibat yang timbul karena usaha untuk memakzulkannya.(Kitab Al-Minhaaj bi syarhi Shahih Muslim)

Mari kita jaga negeri ini. Jangan kita buat keburukan yang lebih besar lagi dengan sikap kita yang menentang anjuran pemerintah dalam menangani covid-19.

Bukankah salah satu definisi muslim adalah yang memastikan teman muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya?

Visits: 85

1 thought on “COVID-19: UJIAN KEPATUHAN PADA PEMIMPIN

  1. Yess ! Very good n nice.
    Indah nian ajaran lslam ini. Terima kasih tuan2, penyuluh keruhanian haqiqi dari lslam lewat Jemaat-Nya Ahmadiyah, para Mubaligh, Mu’alim, penerus perjuangan Nabi Suci Muhammad SAW.
    Mubarak Tusn-tuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *