
Perjalanan Panjang Sekantong Kencur dan Mulaqat Penuh Haru di Jerman
Aku memasuki kawasan masjid, masih sepi, karena masih pagi. Matahari bersinar cerah tapi udara dingin menusuk tulang, jaket tebal yang tak biasa kupakai kalau berada di Indonesia, di sini sangat nyaman, serasa berada dalam pelukan hangat. Masjid Baitus Sabuh adalah pusat kegiatan jemaat di Jerman, areanya luas dan terdiri dari beberapa gedung untuk melakukan kegiatan. Bagian muka adalah semacam kantor atau Tabligh Center, yang berfungsi menerima tamu dan memberi informasi berbagai hal yang berhubungan dengan Jemaat.
Di seberang bangunan juga ada beberapa bangunan yang diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan khudam dan lain-lain. Properti di area ini kebanyakan adalah milik Jemaat, meskipun ada juga apartemen-apartemen umum dan sebuah supermarket di dekatnya. Hari ini adalah hari istimewa karena Huzur sedang berada di sini, menginap di sebuah bangunan yang berada di Baitus Sabuh. Kami akan bermulaqat.
Kulihat beberapa orang kulit putih sedang beres-beres. Acara Jalsah sudah berakhir hari itu, tenda-tenda yang berada di sekitar masjid sedang dibereskan. Orang-orang kulit putih itu adalah pekerja sebuah sewaan perlengkapan yang menyangkut acara-acara besar, semacam tenda pernikahan kalau di sini.
Aku menenteng sekantong kencur. Ia adalah sebuah titipan keponakan untuk ibunya yang berada di Jerman, anak yang terpisah dengan ibunya sejak kecil karena ibunya menikah lagi dengan orang Jerman. Sedangkan dia sendiri tinggal bersama bibinya di Indonesia.
Entah apa yang menyebabkan kencur ini harus sampai di Jerman, mungkin karena ada rasa rindu untuk sebuah sambal atau tutug oncom. Aku sendiri bingung kemana kencur ini akan kubawa, karena ini adalah negara asing. Kalau di Indonesia mungkin aku akan menitipkan ke JNE, kalau di sini? Sempat pagi tadi orangnya menelepon. “Teteh ke sini aja. Dari Frankfurt, Teteh tinggal naik kereta menuju Stuttgart, nanti saya jemput di stasiun!”
Lucu aku menanggapi omongannya. Aku baru pertama kali menginjakkan kaki di negara ini dan aku tak tahu di mana kereta apinya dan bagaimana cara membeli tiketnya. Konon katanya di sini harus punya kartu khusus untuk naik kereta atau bis, lagipula jadwal kegiatan jalsah padat. Jadinya, ya, sekantong kencur ini kutenteng ke sana ke mari dengan bingung.
Kami semua masuk ke area sebelah kanan untuk menuju ke belakang. Bangunan-bangunan di sini banyak dan terdiri dari beberapa lantai. Di bagian belakang ada masjid dan aula untuk kegiatan Jemaat Jerman. Masjid di sini tidak seperti umumnya masjid-masjid di Indonesia, tanpa menara tapi menyatu dengan bangunan lain. Kulihat tadi di depan ada beberapa mobil patroli polisi berjaga-jaga. Keamanan Huzur benar-benar dijaga dengan ketat di negara ini.
Mau memasuki pintu samping untuk memasuki ruangan khusus tempat mulaqat dengan Huzur, ternyata dijaga ketat. Aku sendiri agak bingung karena menenteng sekantong kencur yang masih segar. Satu kilo itu lumayan banyak, malah ada daun salamnya juga. Semua barang bawaan diperiksa. Untuk tas, aku merasa aman karena isinya hanya dompet, paspor, dan HP. Tapi bawaan yang lain, aku takut menjadi bahan pertanyaan yang aku sendiri akan bingung menjawabnya karena tak bisa bicara bahasa mereka.
Ketika hampir sampai pintu penjagaan, kulihat tong sampah di sebelah kanan, lalu kulempar itu kantong kencur ke dalam tong sampah. Aman aku melewati pemeriksaan. Bukannya aku takut sama petugas penjaga, tapi mungkin mereka akan merasa aneh kalau ke tempat mulakat membawa-bawa barang seperti itu. Bagaimana kalau menimbulkan penyakit di sana? Takutnya aku tak bisa menjawab pertanyaan dan akan menimbulkan salah paham. Mungkin aku sendiri berlebihan dengan rasa takutku. Mereka, kan, tidak tahu untuk apa itu kencur.
Sebelum Huzur keluar dari ruangannya, kami dipersilakan untuk menunggu di sebuah ruangan dan disediakan jamuan di meja-meja yang tersedia. Hati berdebar-debar membayangkan akan bertemu dengan Huzur dari dekat. Terkadang membayangkan saja, aku tak menyangka bakal bertemu dengan Huzur. Mungkin ini sebuah anugerah Ilahi, mungkin ini buah dari pengorbananku selama ini. Aku tak memiliki kekayaan yang cukup, tapi kekuasaan Ilahi telah membawaku ke hadapan Huzur.
Ada sesuatu yang membuatku terpukau ketika Huzur keluar dari ruangannya. Air mata tak bisa kubendung. Ingin rasanya mengungkapkan segala apa yang ada di hati, apa daya aku tak bisa bicara. Alhamdulillah mulaqat dengan Huzur lancar, ada keharuan yang mendalam dan aku sempat berfoto dengan Huzur. Aku juga sempat bertemu dengan Appa Jan, panggilan kesayangan untuk istri Huzur, di ruangan khusus yang lain.
Keluar dari ruangan mulaqat, aku kembali ke tempat sampah yang tadi. Kebetulan masih pagi, sampahnya belum banyak, dan kantong kencur itu masih tergeletak di sana, aku mengambilnya. Perjalanan panjang menenteng kencur ke sana ke mari sampai tibanya waktu pulang. Alhamdulillah aku bisa sempat menginap di Baitus Sabuh. Dan di kamar tempatku menginap entah kenapa aku melihat ada lakban dan spidol tergeletak. Aku mengemas sekantong kencur dengan rapi kemudian menulis alamat yang dituju.
Pagi-pagi kami menuju bandara Frankfurt diantar sopir staf Baitus Sabuh. Sekantong kencur masih juga kutenteng di tangan. Kubayangkan seseorang sedang menanti di sebuah rumah, menanti kencur titipan anaknya. Di bandara aku memberanikan diri menitipkan kantong kencur ke sopir yang mengantar kami ke bandara Frankfurt, berikut uang beberapa euro. Karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas membawaku pulang ke Indonesia. Alhamdulillah sesampai di rumah, kuterima WA dari seseorang di Jerman, kencurnya sudah diterima dalam keadaan masih segar.
Visits: 295