Separuh Lentera Hidupku Adalah Buku Ajaranku

Buku Ajaranku merupakan sebuah buku yang menyajikan topik pembahasan ajaran Islam berbasis Al-Qur’an, hadits, dan ilmu pengetahuan. Buku ini tidak hanya menjawab keraguan orang lain mengenai ajaran Ahmadiyah, tapi juga merupakan tuntunan tentang bagaimana dan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai murid Imam Mahdi. 

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., pemimpin Jemaat Ahmadiyah, merupakan penulis buku Ajaranku ini. Beliau menjabarkan dengan begitu luar biasa sehingga bahasan yang berat menjadi terasa ringan dan lebih mudah dipahami. Selain menampik keraguan seseorang terhadap Ahmadiyah, buku ini menuntun pikiran untuk berjalan pada sumber ketaatan seorang hamba pada Rabb-nya. Sehingga mengantarkan keintiman jiwa kita pada-Nya.

Ketika duduk di bangku SMP, itulah pertama kali saya membaca buku ini. Namun, hingga sekarang sudah memiliki 2 anak, buku Ajaranku menjadi buku yang tidak pernah saya lewatkan untuk dibaca ulang. Karena, separuh dari pengalaman pahit hidup saya dapat sembuh selepas membaca buku ini. Singkatnya, buku ini merupakan obat untuk saya pribadi. 

Begitu penting dan begitu cintanya terhadap buku ini, hingga setiap kutipan yang menentramkan hati saya foto dan simpan di album galeri, padahal saya memiliki e-book nya. Lalu, pengalaman apa yang membuat saya membacanya berulang selama belasan tahun? 

    1. Pengalaman Diskriminasi

Sebagai seorang Ahmadi yang dibesarkan di lingkungan yang cenderung anarki, saya selalu mendapat tekanan dan cacian. Ketika SMP, saya sempat dijauhi semua murid. Tak ada satu pun yang berani menemani, bahkan mengajak ngobrol, karena katanya pasti akan ikut terseret ke dalam ajaran sesat.

Saya mengadu pada ibu, merajuk untuk pindah ke sekolah lain. Tapi ibu tak mengiyakan, ia malah berkata, “Masih Mau’ud as. bersabda, ‘Jangan takut akan kutuk laknat dunia, karena ia seperti asap yang lama-lama hilang di udara.'” kemudian Ibu memberikan sebuah buku kecil dan tipis bertuliskan Ajaranku

Ternyata sabda tersebut ada pada halaman 6 buku itu, bahkan Hadhrat Masih Mau’ud as. menambahkan, “Mereka (yang melaknat/mengutuk/mencaci) tidak dapat merubah siang menjadi malam. Apa yang seyogyanya kamu takuti ialah laknat Tuhan yang turun dari langit.” 

Meski perlu waktu lama untuk ikhlas dengan kesendirian, tapi dengan terus membacanya, saya memiliki keyakinan bahwa suatu saat ‘asap’ itu akan melebur diterpa angin. Ternyata benar! Kebencian mereka tak bertahan lama. Meskipun ada satu atau dua, tetapi mereka telqh jera untuk terus mencemooh dan mengucilkan karena katanya itu sia-sia. 

    2. Pengalaman Menyampaikan Kebenaran

Ketika saya masuk SMA, seorang teman terbelalak saat mengetahui bahwa saya Ahmadi. Dengan mata terbuka lebar ia berkata, “Aku yakin kalo Ahmadi itu Islam, karena aku sering liat kamu salat dan tau kamu bisa ngaji. Tapi kenapa Mirza Ghulam itu ngaku nabi? Nabi terakhir kan Rasulullah saw.” 

Saat itu saya hanya membalasnya dengan senyuman. Esoknya, saya beri dia buku Ajaranku dan menyuruhnya untuk langsung membuka halaman 14 dan 15. 

Ia membaca dengan nada sedikit nyaring, “Tuhan itu Esa dan Muhammad saw. adalah Nabi-Nya, beliau adalah Khatamul Anbiya dan beliau adalah Nabi yang termulia dari para nabi semuanya. Sesudah beliau sekarang tidak ada nabi lain kecuali seorang yang secara buruzi (cerminan) dikarenakan jubah Muhammadiyat. Sebab seorang hamba tidak bisa berpisah dari majikannya.”

Matanya memerah, saya yakin ia ingin menangis namun hatinya tentu masih terselimuti doktrin para pembenci. Ia meminta izin untuk membawa pulang bukunya. Setelah itu, ia sering meminta untuk dibawakan buku karya Masih Mau’ud as. yang lainnya, bahkan ia sering kali berselancar hingga larut di situs-situs resmi jema’at. Namun, Allah lebih dulu memanggilnya sebelum ia bisa menjadi bagian dari jemaat-Nya. 

    3. Sarana Evaluasi Diri

Ketika kecil, saya ingat sekali isi ceramah seorang mubaligh yang menyampaikan bahwa kita (para Ahmadi) akan masuk surga. Saat itu, pernyataan tersebut selalu mengganggu saya. Benarkah dijamin masuk surga tanpa adanya ‘usaha’?

Tapi, semenjak membaca dan belajar memahami makna buku Ajaranku, ternyata maksud Bapak mubaligh bukan seperti itu. Bukan hanya karena kita Ahmadi, lantas mendapatkan tiket surga secara cuma-cuma. 

Pada halaman 17 buku ini, Hadhrat Masih Mau’ud as. secara gamblang mengatakan siapa yang diakui sebagai jemaat dan siapa yang tidak. Bahkan, setelah membaca rentetan poin yang tertulis, saya ragu apakah saya bagian dari jemaat-Nya atau bukan. Karena untuk satu poin saja yang disebutkan beliau as., “Barangsiapa yang mendirikan sembahyang ke-5 waktu dengan tidak tetap dan teratur, ia bukanlah dari Jemaatku.” 

Jadi, apa yang dikatakan Bapak mubaligh adalah benar bahwa para Ahmadi akan masuk surga, jika betul-betul mengimplementasikan ajaran-Nya. Namun, untuk satu poin dari puluhan poin, saya merasa sangat jauh dari kata ‘anggota Jemaat’.

Astaghfirullahal’adziim.. 

Jadi ternyata memang benar buku Ajaranku bisa menjadi pegangan sebagai sarana evaluasi diri. Buku ini menjadi panduan yang bisa setiap saat mengingatkan dan mengembalikan ke jalan yang lurus.

 

Referensi:

Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as., 2012

Visits: 71

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *