
Setiap Waktu Adalah Waktu Belajar
Beberapa waktu lalu, seseorang telah melontarkan kalimat yang menggoreskan luka di hati saya dan beberapa teman saya. Saat itu saya pun beristighfar dan berdoa memohon kekuatan pada Allah Ta’ala. Lalu saya membaca sebuah buku, ingin menyibukkan diri dan tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan. Hati menjadi lebih lapang setelah membaca buku itu, karenanya saya juga ingin sedikit berbagi dan mengulas isi buku tersebut.
Buku dengan judul Setiap Waktu adalah Waktu Belajar ini merupakan bagian dari kumpulan artikel dalam buku Happiness Inside yang ditulis oleh Gobind Vashdev.
Gobind adalah seorang penganut Budha yang besar di keluarga Hindu, bersekolah Kristen dan bersahabat dengan Muslim. Ia juga belajar semua agama, baik dari kitab suci, dakwah, atau khotbah. Ia mencintai Nabi Muhammad saw., Budha, Rama, Jesus, Lao Tzu, juga Khrisna.
Buku yang berisi 40 halaman ini bisa didapatkan dalam bentuk digital dengan harga Rp 5.000 di Google Play Book. Harga yang murah, tetapi di dalamnya kita akan mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup yang ditulis dengan ringan.
Buku ini mengajarkan pada kita bahwa kehidupan harus diisi dengan belajar tiada henti. Bukan hanya melalui pendidikan formal, tapi kita juga harus mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang kita alami.
Dalam buku ini dikemukakan ungkapan dari Anthony Robbins tentang belajar, yakni belajar itu seperti mengendarai mobil. Jika kita hanya mengetahui letak pedal gas, rem, dan kopling. Serta cara memindahkan gigi, itu artinya kita belum belajar. Belajar artinya melakukan tindakan baru, sebuah tindakan yang konsisten dan berkesinambungan sehingga yang kita pelajari menjadi sebuah kebiasaan.
Lalu kita juga dapat menemukan ungkapan Konfusius, “To know but not to do is not yet to know.” Mengetahui, tetapi tidak melakukan, sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan atau mengambil tindakan dari apa yang diketahui, itulah inti dari belajar. Dan jika tindakan ini diulang terus menerus, maka keterampilan akan muncul. Dengan keterampilan inilah keunggulan seseorang diakui orang lain.
Pandangan serupa juga diungkap oleh filsuf terkenal Yunani Aristoteles, “Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang … maka keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan hasil dari kebiasaan.”
Hal ini yang harus diterapkan dalam kehidupan, terutama dalam menjalankan ibadah kita. Gerakan salat akan sempurna bila kita memang dawam melaksanakannya. Kita akan pandai mengaji bila belajar dan terus membaca Al-Qur’an berulang-ulang. Kita akan pandai bertabligh bila kita terus membaca dan menyampaikan semua kebenaran yang kita ketahui terus menerus.
Belajar dan berani mengambil tindakan adalah kunci untuk meraih keberhasilan. Jangan goyah dengan berbagai rintangan yang menghadang. Kehidupan seperti menggali sumur. Di permukaan akan bertemu dengan lumpur, hanya bila menggali semakin dalam maka akan menemukan kejernihan.
Ambillah ilmu dari siapa pun. Jangan pernah menganggap diri kita lebih pandai dari orang lain. Berlaku untuk pengetahuan umum maupun ilmu agama. Karena, untuk mencapai kesuksesan ada beberapa syarat yang harus kita lakukan dalam mencari ilmu. Dipaparkan dalam buku ini bahwa syarat-syarat untuk menimba ilmu yaitu:
Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang terbukalah air dapat masuk. Hanya dengan berpikiran terbuka (open mind), suatu ilmu dapat mengalir ke dalam diri ini. Seseorang dapat bersikap terbuka karena memiliki keinginan lebih banyak.
Dalam bahasa lain, kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya seorang bocah yang penuh dengan rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu elemen yang utama dalam menimba ilmu. Albert Einstein pernah berkata jika dia bukanlah orang yang punya bakat khusus, melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat.
Syarat yang kedua adalah kosong. “Kosongkan gelasmu,” sebuah istilah populer yang mungkin sering kita dengar. Sesuatu yang penuh tidak akan dapat menampung apa-apa. Hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu yang baru.
Pikiran yang penuh dengan persepsi yang ada sebelumnya, walau tidak selalu, sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Berbeda dengan anak kecil yang melihat apa adanya, jauh dari sikap menghakimi. Seperti inilah sikap mental yang harus kita miliki jika ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam tentang sesuatu yang baru.
Syarat yang ketiga, dan tak kalah penting, gelas tersebut haruslah lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimana pun terbuka dan kosongnya gelas, tetap tidak akan terisi jika posisi gelas lebih tinggi atau sejajar dengan botol yang mengisinya. Bersikap rendah hati, bahwa masih banyak kekurangan adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar.
Kembali pada apa yang saya ceritakan di awal, apa hubungan rasa sakit hati saya dengan buku ini?
Saat itu saya merasakan ada rasa sakit di hati saya. Saya membaca buku ini dengan niat mengalihkan perhatian dan tidak mau mengingat-ingat hal yang telah menyakiti. Lalu dalam buku ini saya menemukan kutipan dari Kahlil Gibran, seorang penyair besar dari Lebanon yang dengan indahnya menulis, “Aku belajar diam dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran, dan kebaikan dari yang jahat. Namun anehnya, aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada guru-guruku ini.”
Apa yang ditulis oleh Gibran di atas adalah sebuah resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang menyulitkan”, yang sebenarnya adalah guru-guru kita. Orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang kaku mengajarkan kita pentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita besarnya arti kejujuran, dan mereka yang berselingkuh mengajarkan arti sebuah kesetiaan.
Maka, tatkala teringat orang yang pernah menyakiti hati, orang yang yang selama ini kita hindari, kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?
Kesimpulan yang saya dapatkan dari membaca buku ini adalah bahwa kehidupan adalah proses pembelajaran yang tidak bertepi. Kita akan merasa tenang bila memiliki sudut pandang yang baik dalam menyikapi berbagai peristiwa. Selalu ada hikmah di balik segala kejadian yang menimpa.
Belajarlah tanpa kenal lelah. Bacalah buku-buku yang ditulis oleh orang-orang yang mencintai perdamaian. Maka, hati dan pikiran kita akan selalu dipenuhi energi positif. Meyakini bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan adalah bentuk kasih sayang Allah semata.
Referensi:
Setiap Waktu adalah Waktu Belajar
Penulis: Gobind Vashdev
Penerbit : PT. Mizan Publika
Visits: 33