
Kabar Burung Lebih Kejam dari Pembunuhan
Tidak ada yang seterpanggil dr. Soeko Marsetyo dalam urusan kemanusiaan. Dan kita baru saja kehilangan manusia langka ini akibat satu kabar burung yang tak jelas kebenarannya.
Di usianya yang ke-38, dr. Soeko beranjak dari zona nyamannya. Di usianya yang segitu, ia seharusnya menghabiskan waktu di Rumah Sakit besar di kota. Duduk di ruangan ber-AC. Mendapatkan sarana-prasarana yang memadai. Juga menikmati kemapanan hidup.
Entah apa yang merasukinya? Ia memilih jalan lain yang tak biasa. Yang penuh onak duri kesengsaraan hidup di pedalaman Papua. Dan bukan untuk satu-dua tahun. Tapi hingga ajal menjemputnya dengan cara yang tak biasa pula.
Pria kelahiran Sleman, Yogyakarta ini tampak menikmati sebuah dedikasi luhurnya. Tinggal di pedalaman Papua yang minim sarana dan prasarana. Jauh dari hiruk pikuk keduniawian kota. Semata-mata untuk mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan.
Dokter yang dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut ini bertugas dengan meninggalkan istri dan anak-anaknya di Semarang. Rasa kangen akibat rentang jarak yang memisahkan kadang tak bisa diluapkan dengan mudah. Ia lebih memilih untuk banyak bersabar. Menunggu hari yang tepat untuk sekedar mencari sinyal selular.
Totalitas pengkhidmatannya tak ubahnya seperti seorang ibu. Memilih untuk berbuat zalim atas diri sendiri, demi kebahagian orang-orang di sekitarnya.
Awal bertugas di Papua. Dr. Soeko sempat mengeluh karena harga-harga kebutuhan pokok cukup mahal. Menjelang selesainya masa bakti, ia justru memilih untuk bertahan di Papua.
Kecintaannya kepada Papua takkan pernah membuatnya menyesal meski nyawanya harus berakhir di tangan orang-orang yang ia cintai. Cintanya amat sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Papua adalah alasan ia rela meninggalkan segalanya. Istri, anak, kemapanan hidup, kehangatan bersama keluarga, bahkan jaringan 4G. Demikianlah mengapa cinta membuat kebanyakan orang menjadi buta. Sebab, cinta lah yang membuat sesuatu yang meremukkanmu terasa seperti sebuah alur paling menarik untuk dilalui bersama.
Hingga kata-kata paling ironi semisal “makan sepiring berdua” menjadi sebuah keromantisan yang tak dapat diukur oleh apapun, bahkan oleh sinyal selular di pedalaman Papua.
Suatu ketika, di sebuah pertemuan keluarga, dr. Soeko diminta untuk kembali ke kampung halaman. Ia hanya tersenyum tipis. Tak mengelurkan satu patah kata yang paling pahit sekalipun.
Dr. Soeko adalah korban kabar burung. Ia merupakan satu dari 31 orang yang harus meregang nyawa secara mengenaskan dalam peristiwa berdarah di Wamena belum lama ini.
Ia memang jarang ke kota (Wamena). Kadang, ke kota hanya untuk donor darah. Selebihnya, ia menghabiskan waktunya di pedalaman Tolikara.
Memang yang namanya ajal tak dapat diterka. Ia datang begitu tiba-tiba. Saat hendak pulang ke Tolikara, dr. Soeko dihadang oleh beberapa orang. Mereka sudah terlanjur kalap. Emosi telah mematikan segalanya. Sang dokter menjadi amuk masa. Luka tusukan benda tajam menghujam tubuhnya. Ia roboh. Roboh untuk tidak bangun lagi.
Sebelum peristiwa berdarah di Wamena terjadi, beredar kabar burung bahwa seorang guru telah melakukan ujaran rasial kepada muridnya.
Peristiwa yang terjadi di SMA PGRI itu, fakta sebenarnya begini, seorang guru meminta muridnya untuk berbicara lebih “keras”. Kata keras yang terdengar diasumsikan sebagai “kera”. Hal ini menjadi pembicaraan yang meluas, dalam keadaan yang amat sensitif akibat peristiwa rasial di Surabaya.
Upaya tabayyun sebenarnya telah dilakukan. Pihak guru dan murid dipertemukan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan, masalahpun selesai.
Tapi, entah mengapa keesokan harinya, sejumlah massa mendatangi sekolah tersebut dan membuat kekacauan. Kerusuhan tersebut memantik kembali isu rasialisme yang sebenarnya telah selesai. Hingga membuat mereka yang tidak tahu duduk perkaranya pun jadi ikut-ikutan.
Kita menyaksikan bagaimana sebuah kabar burung dapat menjadi sebab terjadinya sebuah kiamat kecil.
Akankah kiamat-kiamat semacam itu muncul kembali di negeri ini? Dengan menjadikan manusia sebagai makhluk yang telah kehilangan naluri manusiawinya?
Selamat jalan dr. Soeko.
Saya yakin, anda tidak akan pernah menyesal telah berbuat banyak untuk Papua.
Visits: 56
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.