Ahmadiyah: Yang Mengungsi, Yang Mengasihi

Apa jadinya saat banyak korban diskriminasi, yang telah bertahun-tahun menjadi pengungsi, memutuskan untuk menjadi relawan bagi mereka yang kini mengungsi akibat bencana? Bahkan tak sedikit dari yang mereka bantu adalah orang-orang yang dulu telah menjadikan mereka pengungsi.

Artinya, mereka telah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka berhasil melupakan tahun-tahun paling menyakitkan dalam kehidupannya. Mereka berhasil membenamkan rasa sakit hati atas sikap bebal orang-orang yang sampai kapan pun takkan menerima mereka.

Dan itu nyata. Terjadi di bumi pertiwi ini.

Senin, 8 Oktober 2018, lima belas orang yang tergabung dalam Tim Humanity First Indonesia (HFId) bergerak menuju Lombok Timur. Sepanjang jalan tampak rumah-rumah telah rata dengan tanah. Bau menyengat sesekali tercium. Banyak orang terlihat berlindung di bawah langit yang cerah. Mereka menjauhi bangunan-bangunan yang masih berdiri, bahkan jika itu rumah mereka sendiri.

Tim HFId membawa paket sembako untuk dibagikan di beberapa desa di Kecamatan Sambelia. Sebuah mobil pick up berwarna hitam tampak penuh muatan. Sembako yang dibawa dari Kota Mataram ini akan disalurkan di tiga desa: Desa Belanting, Desa Obel-Obel, dan Desan Madayin.

Saat tim tiba di lokasi, wajah-wajah lusuh menyambut mereka. Memperlihatkan ekspresi sumringah saat melihat sebuah pick up hitam mungil membawa sesuatu yang tampaknya bisa menjawab beratnya hari-hari yang mereka lalui akhir-akhir ini.J

Tim mulai mempersiapkan segalanya. Semua tampak semangat. Sebab kemanusiaanlah yang menjadi alasan banyak orang untuk datang ke Lombok, memberi bantuan, dan menyampaikan rasa simpati yang paling dalam kepada para korban.

Saat seluruh anggota tim turun dari mobil, terjadi peristiwa saling tatap-menatap antara tim HFId dengan beberapa korban. Serasa mereka pernah saling kenal jauh sebelum ini. Anehnya, tak terjadi komunikasi yang hangat layaknya teman lama yang dipertemukan kembali.

Beberapa korban yang siap menerima bantuan tampak menyembunyikan sesuatu di balik raut wajah malu-malu yang sesekali diperlihatkannya. Meski demikian, para korban sangat senang sekali saat bantuan diberikan. Tak habis-habisnya rasa terima kasih terucap. Pesan syukur kepada Tuhan Yang Maha Melindungi selintas dipanjatkan dalam gerak bibir yang amat tipis.

Sebenarnya mereka sudah saling mengenal. Seseorang anggota tim berkata, kita kenal mereka, mereka juga kenal kita, karena mereka adalah orang-orang yang pernah menyerang dan mengusir kita.

Saat ditanya kenapa kalian menolong mereka padahal mereka telah menyerang dan mengusir kalian, seseorang menjawab bahwa motto hidup kami adalah “Love for all, Hatred for none”. Soal mereka pernah menyerang kami, mengusir kami, itu urusan mereka (sama Yang Kuasa). Tapi saat mereka kena musibah, tugas kami adalah menolong mereka, membantu mereka.

Ada salah seorang di antara para relawan HFId yang bernama Supardi. Ia sangat menikmati momen saat menolong para korban. Ada semacam kebahagian paling murni yang ia rasakan.

Supardi belum lama ini terusir dari kampungnya, karena ia masuk Ahmadiyah. Kini ia mengungsi di Transito, sebuah tempat tak layak tinggal yang menjadi pengungsian warga Ahmadiyah di Mataram. Ia tak pernah dendam. Bahkan ia meyakini bahwa menjadi pengungsi adalah takdir yang harus dijalani.

Humanity First (HF) memang dikenal sebagai sebuah badan kemanusian milik Ahmadiyah. Meskipun diasosiasikan dengan Ahmadiyah, HF tidak pernah memakai atau membawa atribut Ahmadiyah. Apalagi sampai menyebarkan paham Ahmadiyah di balik aksi kemanusiaannya.

Tak hanya di Lombok Timur, HFId juga membuka posko bantuan di Lombok Barat. Tepatnya di tiga desa: Desa Lembah Sari, Desa Lendangre, dan Desa Jeringo.

Berbeda dengan di Lombok Timur, di ketiga desa tersebut, selain diberikan bantuan logistik, dibuka juga posko kesehatan untuk membantu para korban gempa yang sakit. Sampai seminggu lamanya di lokasi, tim medis HFId telah melayani 673 pasien.

Salah seorang dari tim medis terdapat seorang dokter muda bernama dr. Rasidah. Ia memutuskan untuk berjalan kaki dari dusun ke dusun. Karena khawatir masih banyak warga yang memerlukan bantuan medis tapi tak mampu berjalan ke posko karena luka atau akses jalan yang rusak.

Berkilo-kilometer ia berjalan, sudah empat puluhan orang yang mendapat penanganan medis atas luka sobek yang mereka derita. Ia mengeluarkan nanahnya terlebih dahulu, karena sudah lama tak tertangani. Membersihkannya, lalu menjahitnya.

Desa Jeringo punya catatan yang unik. Sebab ia menyimpan sebuah kisah yang tak mungkin dilupakan oleh warga Ahmadiyah. Kisah yang teramat pilu untuk diingat. Bahkan oleh anak-anak yang kini mereka telah tumbuh dewasa menjadi seorang relawan.

Desa ini terletak tak jauh dari Kota Mataram. Desa ini juga hanya berjarak 2-3 kilometer dari sebuah perkampungan warga Ahmadiyah di Ketapang, yang pada 2006 silam dihancurkan dan seluruh penghuninya diusir. Saat peristiwa itu terjadi, banyak juga warga dari Desa Jeringo yang turut andil dalam pengrusakan dan pengusiran warga Ahmadiyah di sana.

Kini, desa tersebut terkena juga dampak gempa yang amat dahsyat. Dan warga Ahmadiyah yang bernaung dalam payung HFId harus memberikan prioritas utama untuk Desa Jeringo karena lokasi tersebut banyak memakan korban.

Tidak terlintas dalam pikiran para relawan HFId ingatan kelam 2006 silam. Biarlah itu menjadi urusan warga desa dengan Tuhan, pikir mereka. Tapi sekarang warga desa membutuhkan uluran tangan orang lain. Dan warga Ahmadiyah menyambutnya, semata-mata kecintaan mereka kepada sesama, juga pemenuhan atas spirit kemanusiann mereka, “Love for all, Hatred for none”.

Sejak 2001, saat seorang warga Ahmadiyah dibunuh secara sadis, pada tahun-tahun selanjutnya silih berganti penyerangan dan pengusiran terhadap mereka. Sudah 17 tahun berlalu, ratusan warga Ahmadiyah masih banyak yang tinggal di pengungsian. Mereka tak pernah tahu kapan bisa kembali ke tempat tinggalnya. Mereka juga tak pernah tahu kapan penyerangan dan pengusiran akan benar-benar berakhir.

Di balik semua penderitaan itu, warga Ahmadiyah tak mampu menyimpan dendam mereka. Kecintaan mereka terhadap Lombok, kampung halamannya, tanah kelahirannya, menjadi sebuah alasan yang membuat mereka bertahan. Tak hanya bertahan, mereka kini berjuang membantu orang-orang yang sekarang menjadi pengungsi.

Tak mudah bertahan melewati belasan tahun sebagai pengungsi di tanah kelahirannya sendiri. Tapi, merupakan hal yang amat sulit untuk berbelas kasih dan memaafkan terhadap mereka yang memusuhi. Dan warga Ahmadiyah di Lombok berhasil mengamalkannya sekaligus.

Yang tersisa tinggal kita. Ya, kita, sekumpulan manusia yang masih sulit menerima perbedaan. Entah sampai kapan minoritas bisa mendapat ruang yang sama untuk berdiri di tanah yang sama, di langit yang sama, juga menghirup aroma kehidupan yang sama, yang benar-benar hidup.

Visits: 170

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories