ALLAH ADA DENGAN SEGALA KEAJAIBANNYA (bag 3-tamat)
Beranjak dewasa, keinginan Gadis untuk membantu orang tuanya semakin tinggi. Gadis tak ingin lagi pulang kampung jika hanya untuk merepotkan Bapak dan Ibu. Gadis terus bertahan bekerja di percetakan di Bandung, meskipun lingkungannya sangat jauh dari ketenangan hati. Tapi kemana lagi, Gadis hanya bisa berusaha semampunya. Bertahan selama hampir empat tahun dengan penuh kekhawatiran, karena lingkungan pekerjaan yang semakin mencekam. Gadis dilanda ketakutan, bagaimana andai iman ini goyah dan menyeretnya pada jurang kemaksiatan. Hanya doa yang bisa Gadis panjatkan karena terus berpegang kepada nasihat orang tuanya.
Bak gayung bersambut, doa Gadis terjawab dengan sebuah tawaran pekerjaan di toko alat jahit milik sepasang suami istri yang taat beribadah. Sang istri berlatar belakang organisasi NU, sementara suaminya seorang Muhamadiyah. Latar belakang organisasi agama bukanlah sebuah penghalang untuk berIslam dengan baik dan benar. Semua itu semata-mata adalah sebuah karunia Allah semata.
Gadis mulai sejenak menemukan ketentraman dalam hatinya, terutama ketika sang majikan memberinya sehelai kerudung untuk digunakan menutup rambutnya. Tangis Gadis tak terbendung. Keinginannya untuk berhijab akhirnya terlaksana. Ingatannya pun lepas melayang mengingat tempat kerja sebelumnya. Jangankan untuk memakai kerudung, waktu salat pun tak pernah dia dapatkan.
Gadis kini bekerja dengan jauh lebih ikhlas dan damai di toko tersebut. Auratnya sudah tertutup, senyumnya pun semakin berbinar, memancarkan aura kesejukan dari hati yang beriman. Kilau senyumnya, suatu sore, pun menggetarkan seorang pemuda yang datang mengunjungi toko itu. Sebuah perkenalan dengan tatapan mata yang membekas di hati Gadis. Tidak hanya sekali, karena pemuda itu ternyata terus rutin berkunjung dan membeli peralatan jahit di sana.
Gadis mencoba mengedalikan hawa nafsunya. Bukannya tak ingin mengenal laki-laki dengan lebih serius, hanya saja, ada satu hal yang masih menjadi tanda tanya bagi Gadis, ketika pemuda tersebut memperkenalkan diri sebagai sorang Ahmadi.
“Apa itu Ahmadiyah?” tanya Gadis dengan kerutan yang serius di dahinya.
Pemuda itu menjawab dengan lemparan senyum. Dia merogoh tas slempangnya, mengambil dua buah buku saku dari dalamnya, dan menyodorkannya ke Gadis.
“Ini. Baca aja dulu.” Katanya dengan santun dan lemah lembut.
Gadis menerima buku berjudul Apakah Ahmadiyah Itu? dan Baiat. Beberapa hari Gadis mencoba mencerna dua buah buku itu. Beberapa petanyaan pun sering terlontar sebagai bahan diskusi kepada pemuda Ahmadi itu. Semua terjawab dengan ringan dan sangat terbuka, namun Gadis masih terus menyimpan tanya tentang jemaat Ahmadiyah. Hingga suatu malam, ketika Gadis tengah mencerna buku-buku tadi, dia terlelap dalam lelah dan terlempar dalam sebuah mimpi.
Gadis berjalan di gelap malam, mencari air, karena rasa haus yang menyerang kerongkongan. Ia mendapati sebuah tempayan, yang dijaga oleh seorang ulama, namun di tempat itu tidak ada air sama sekali. Gadis melanjutkan berjalan hingga menemukan tempayan yang lain. Ditemuinya ulama sang penjaga, namun ulama itu mengatakan tidak ada air yang layak untuk diminum. Semua masih harus dibersihkan.
Gadis terus berjalan, hingga ia temui tempayan yang ketiga, yang airnya sangat jernih, segar, dan mengalir deras. Gadis ingin segera menyentuhnya, minum, dan membasuh badannya menggunakan air itu. Ditemuinya sosok seorang ibu di dalam penjaga tempayan tersebut, dan berkata pada Gadis, “segeralah berwudu, sebelum datang hujan badai.”
Sontak Gadis terbangun dari tidurnya. Ia merasa ini adalah sebuah pertanda tentang munculnya sebuah kebenaran yang harus segera ia jemput dan raih berkahnya. Dipandanginya dua buah buku yang masih tergolek dalam dekapannya, “Ahmadiyah”, katanya lirih.
Langkah Gadis pun semakin ringan untuk mengambil keputusan-keputusan dalam kelanjutan hidupnya. Gadis berbaiat, dan dinikahi oleh pemuda Ahmadi tersebut. Keaktifannya di jemaat membawa Gadis menerima amanah sebagai pengurus pada beberapa periode.
Bukan hal yang mudah, karena Gadis adalah generasi pertama di keluarganya yang berbaiat. Namun Gadis yakin, bahwa inilah karunia. Bagaimana rezekinya semakin tertata, keinginannya untuk membantu orang tua semakin terwujud, dan tentu saja … jodoh yang datang tanpa disangka-sangka.
Gadis kini semakin larut dalam keimanan bersama bahtera Ahmadiyah. Dari pernikahannya, telah lahir tiga orang putri yang juga turut beriman sebagai Ahmadi. Kebahagiaan ini tak terbayar, meskipun masih ada secuil keinginan dalam hati Gadis, agar suatu saat, kedua orang tuanya pun berbaiat kepada imam zaman. Entah kapan, namun Gadis terus mendoakan. Doa yang tidak akan ada habisnya, karena Allah ada dengan segala keajaibanNya.
.
.
editor: Rahma Roshadi
Visits: 77