Antara Beasiswa dan Iman

Allah Ta’ala selalu memiliki cara tersendiri dalam menguji keimanan umat-Nya. Kemiskinan dan kesulitan, adalah dua dari sekian bentuk ujian yang Dia berikan agar umat-Nya senantiasa berjuang menguatkan keyakinan. Dan tak sedikit pula yang akhirnya menyerah kalah dalam salah satu bentuk ujian yang terlampau menyilaukan. Ujian itu bernama ‘dunia’.

Dan Pak Budi, adalah salah satu dari sekian banyak umat-Nya yang sempat dilanda dilema untuk memilih. Apakah ia akan kalah dalam ujian ‘dunia’? Atau memilih menang untuk terus menggenggam imannya?

Pak Budi mungkin sudah terbiasa dengan ujian bernama kesulitan, salah satunya kesulitan ekonomi. Sebagai seorang nelayan yang tinggal di pesisir pantai, penghasilannya sangat bergantung pada kondisi ombak. Ketika ombak besar membuatnya tak bisa melaut, tentu penghasilan pun sulit untuk masuk.

Pak Budi mempunyai 4 orang anak yang salah satu anaknya adalah anak angkat. Beliau dan keluarga tinggal di tempat yang jauh dari pusat Jemaat. Hal ini membuat keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat umum sebagai seorang Ahmadi dirasa tidaklah mudah. Tidak jarang mereka mendapatkan celaan atau hinaan, dan juga sering terjadi perdebatan. Namun Pak Budi masih bisa mengatasi kesulitan-kesulitan semacam itu.

Putri sulung Pak Budi, Dea, merupakan anak kebanggaan keluarga. Tidak saja dia anak yang taat pada orangtua, tetapi juga cerdas di sekolah. Di momen kelulusan SD tahun ini, dia mendapat tawaran beasiswa belajar di pesantren dengan digratiskan segala biaya dari mulai biaya administrasi dan biaya hidup di pondok.

Tidak tanggung tanggung, 3 pondok pesantren menawarkan ke Dea untuk menjadi santrinya sambil sekolah sampai tingkat atas (SLTA). Itu semua berdasarkan prestasi Dea sebagai peraih juara 1 di sekolahnya. Hanya Dea pula yang mendapatkan tawaran beasiswa tersebut.

Tawaran beasiswa ini tentu merupakan sesuatu yang sangat luar biasa bagi seorang Pak Budi yang selama ini hidup dalam kesederhanaan. Tentu senang ia rasakan karena bila Dea terima beasiswa ini, tidak perlu lagi Pak Budi memikirkan biaya untuk anaknya sekolah.

Namun di satu sisi, Pak Budi merasakan ada kebimbangan. Manakah pilihan terbaik? Apakah sebaiknya beasiswa ini diambil atau tidak?

Dengan belajar dan tinggal di pesantren, akankah membuat anaknya mendapatkan pemahaman yang salah terhadap Jemaat? Anaknya adalah seorang Nashirat. Bagaimana nanti bila ia belajar di pesantren, ia malah jauh dari Jemaat?

Tidak menutup kemungkinan di kemudian hari putrinya akan berseberangan paham dengan orangtua. Bahkan bisa saja melawan orangtua dengan pengetahuan yang salah nantinya.

Apakah ia harus tetap mengambil tawaran beasiswa tersebut dengan segala resikonya? Atau tetap menyekolahkan putrinya di SMP umum yang masih dalam jangkauannya?

Kebingungan Pak Budi pun mengantarkannya untuk berkonsultasi dan meminta saran dari Mubaligh yang bertugas di wilayahnya. Disampaikannya segala kegalauannya kepada Pak Mubaligh, dan meminta saran beliau untuk memutuskan yang terbaik untuknya dan keluarganya.

Pak Mubaligh kemudian menyampaikan salah satu himbauan Huzur aba. agar anak-anak Ahmadi lebih baik bersekolah di sekolah umum daripada menjadi santri di pesantren non-Ahmadi. Hal ini demi menjaga keimanan mereka yang masih butuh bimbingan orangtua, Mubaligh, dan juga pengurus.

Setelah menerima saran dan pendapat dari Pak Mubaligh, Pak Budi pun mengambil keputusan untuk tidak mengambil tawaran beasiswa tersebut. Pak Budi mengambil keputusan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah umum dengan resiko biayanya harus ia tanggung sendiri.

Dea sendiri adalah seorang anak yang memiliki jiwa ketaatan kepada orangtuanya, maka ia pun menerima apapun yang diputuskan ayahnya dengan lapang hati.

Keputusan untuk tidak mengambil beasiswa tersebut, tentu mengundang reaksi. Tidak sedikit yang mengatakan Pak Budi bodoh karena menyia-nyiakan kesempatan, dan masih banyak lagi.

Namun Pak Budi membiarkan hal itu dan tetap mengambil keputusan menyekolahkan anaknya di sekolah umum saja. Pak Budi mengikuti apa yang menjadi saran dari Pak Mubaligh. Dia juga berharap semoga keputusan yang diambil adalah tepat dan dapat menjadikan keberkahan di kemudian hari.

Pak Budi memilih untuk menang. Ujian ‘dunia’ tak membuatnya kalah. Ia memutuskan untuk menang dengan menjaga keimanan agar tidak saja tetap berada dalam genggamannya, tetapi juga dalam genggaman keluarganya, khususnya anak-anaknya.

Semoga di balik pengorbanan ini ada keberkahan tersendiri dari Allah SWT. untuk Pak Bbudi dan keluarga. Semoga Pak Budi dimudahkan Allah SWT. untuk mendapatkan rezeki agar bisa menyekolahkan anaknya. Aamiin Allahumma Aamiin..

.

.

.

editor: Lisa Aviatun Nahar

Visits: 30

Lalas Sulastri

3 thoughts on “Antara Beasiswa dan Iman

  1. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan-Nya dan kesuksesan kepada Ade Dea, sukses slalu, semoga Allah SWT juga memberikan pertolongan-Nya kepada pak Budi,
    Semoga ke depannya bisa mendapatkan beasiswa dari jemaat atau dari yang lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *