
Burung Pembawa Pesan Ketinggian Kerohanian
Hari itu pukul 5.20 pagi, aku berjalan menaiki anak tangga, merasakan dinginnya udara pagi hari, menghirup udara sejuk sebelum bercampurnya udara dengan asap kendaraan. Setibanya di lantai 2, aku disambut dengan kicauan burung yang bertengger di pagar sambil mengucap syukur.
Pagi yang sejuk, tenang, damai, aku ditemani beberapa ekor burung yang seolah menyapa selamat pagi. Setelah kuletakkan cucian kotor dalam ember, kusapa burung-burung itu.
“Selamat pagi, semua! Betapa bahagianya kalian yang bebas beterbangan di angkasa. Sampaikan salamku pada Allah Ta’ala, mohonkan pada-Nya agar aku mampu melewati hari ini sebaik-baiknya.”
Saat menjemur pakaian burung-burung ini masih tetap setia menemani dengan kicauannya, ketika berjalan menuruni tangga, satu persatu burung-burung itu berkicau mendekat lalu terbang ke angkasa.
Pukul 7.30, sepulang mengantar anak ke sekolah, aku memasuki gerbang perumahan. Kubuka jendela mobil, melaju dengan kecepatan rendah untuk masih menikmati udara sejuk, menikmati sinar matahari di antara rindangnya pepohonan, diiringi nyanyian suara burung yang berkejaran di antara pepohonan.
Subhanallah! Alhamdulillaah! Nikmat mana yang hendak kau dustakan.
Pukul 8.30, ada yang menyapaku. “Selamat pagi, Bu,” ujar supir Gocar yang menjemputku pagi itu.
“Bu, saya izin buka jendela ya. MasyaAllah! Di kompleks ini pohonnya rindang dan burungnya banyak, ramai berkicau, beda sama komplek lain,” sambung supir Gocar.
“Ah, masa sih, Pak? Kompleks lain di sini kan juga banyak pohon rindangnya, pastinya banyak juga burung-burung yang berkicauan,” jawabku.
“Bu, saya ini kan supir Gocar, Bu. Tiap pagi jemput pelanggan di daerah sini, tapi belum pernah saya masuk ke kompleks yang semeriah ini dengan kicauan burung-burungnya.” Begitu jawab supir gocar itu.
Beberapa tahun kemudian, batas waktu untuk tinggal di perumahan itu telah habis. Kami terpaksa harus pindah ke perumahan lain.
Di setiap pagi setelah mengantar anak sekolah, sedikit demi sedikit kucicil memindahkan barang-barang semampuku. Perumahan dengan 6 rumah yang baru itu sepi, hanya ada rumput dan pepohonan liar. Tidak ada semarak kicauan burung.
Sampai ketika kami tinggal di perumahan baru, saat ini aku dapat menikmati pagiku di rumah. Pukul 5:20, setelah menjemur pakaian di lantai 3, sejenak aku menghirup udara segar pagi, tapi kali ini tidak ada kicau burung yang menemani.
“Ma, lagi ngapain? Kok bengong?” suara anakku mengejutkan.
“Ternyata supir Gocar itu benar, cuma di kompleks itu banyak kicau burung. Di sini kok sepi, ya? Enggak ada 1 ekor pun burung,” kataku sambil berpelukan dengan anakku.
“Nanti juga mereka datang, Ma, ke sini. Belum ketemu rumah Mama yang baru,” canda anakku.
Setelah beberapa hari, satu persatu burung-burung itu benar-benar datang ke rumah baru kami. Dan sejak hari itu, setiap paginya hariku kembali ditemani oleh kicauan burung-burung itu. Bukan hanya di rumahku tapi kini perumahan kami semarak dengan kicauan burung-burung itu.
Lantai 3 tempatku menjemur dikelilingi dengan teralis dan kawat nyamuk, celah yang terbuka sangat kecil. Satu saat ketika aku sedang menjemur pakaian, tiba-tiba seekor burung, entah bagaimana caranya, dapat masuk, terbang kesana-kemari, kebingungan karena terhalang kawat nyamuk.
“Lho? Kok, kamu bisa masuk, ya? Kamu masuk dari mana? Celah itu begitu sempit!” Tanpa sadar aku bertanya pada burung itu. Burung itu kembali terbang dalam ruang jemuranku, mentok di sana, mentok di sini.
Kutunjuk celah yang sempit, “Terima kasih sudah mengunjungi aku. Tapi coba keluar dari celah ini, ya,” begitu aku mengarahkan burung itu. Setelah 2 langkah aku melangkah turun, burung itu berhasil keluar.
Di salah satu pojok dapurku ada salah satu bagian yang terbuka hingga ke lantai 3, tujuannya untuk sirkulasi udara. Satu saat ketika sedang memasak, tiba-tiba seekor burung terbang di dapurku. Beruntung tanganku tidak masuk ke dalam penggorengan saking terkejutnya.
Sambil menenangkan gemuruh karena terkejut dengan kehadiran burung itu, aku berjalan menuju bagian dapurku yang terbuka hingga lantai 3, lalu menatap burung itu yang terbang ke sana ke mari berputar di sekeliling dapurku. Aku tak mengerti, bagaimana burung ini bisa masuk dari celah yang begitu sempit dan berhasil menemukan aku yang berada di lantai 1?
Anehnya, burung ini hanya berputar-putar di dapurku dan seperti tidak berniat untuk terbang ke lantai 2 atau bahkan kembali ke lantai 3.
“Terima kasih sudah mengunjungi aku, tapi aku tidak mau mengurungmu di sini, jadi kembali ke alam agar kau dapat terbang bebas.” Tanpa sadar aku berbicara pada burung itu sambil membuka lebar pintu depan rumah agar burung itu dapat terbang keluar.
Terngiang akan keberadaan burung itu, ada apa dengan burung di perumahan yang lama dan sekarang di sini? Ada pesan apa di balik kehadiran burung-burung itu?
Satu ketika aku ingin membaca kembali buku Filsafat Ajaran Islam karya Hadhrat Masih Mau’ud, Imam Mahdi, sekaligus Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah, Hz.Mirza Ghulam Ahmad a.s.
Halaman yang kubuka, di mana pembatas buku itu ada, adalah penjelasan tentang Tiga Makrifat Al-Qur’an mengenai Alam Akhirat dalam Surah Bani Isra’il: 14.
Yakni :
Di dunia ini juga Kami telah mengikatkan dampak amal perbuatan setiap orang pada lehernya. Dan dampak-dampak terselubung itulah yang akan Kami zahirkan pada hari Kiamat, dan Kami akan memperlihatkan dalam bentuk sebuah daftar amal perbuatan yang telah terbuka.
Di dalam ayat ini terdapat kata thairun. Maka hendaknya jelas bahwa sebenarnya thairun itu berarti burung. Lalu secara kiasan diartikan juga sebagai amal perbuatan. Sebab, setiap amal yang baik maupun yang buruk setelah dilakukan, akan terbang seperti burung. Jerih payah ataupun kelezatan amal itu akan sirna, sedangkan kekotoran ataupun kebaikkannya akan membekas di dalam hati.
Ini merupakan kaidah Al-Qur’an suci, bahwa setiap amal terus membekaskan jejak-jejaknya secara terselubung. Bagaimana pun bentuk perbuatan manusia, sesuai dengan itu Allah Ta’ala akan memperlihatkan perbuatan-Nya. Dan perbuatan Ilahi itu tidak akan membiarkan dosa atau kebaikan tersebut menjadi sia-sia. Melainkan jejak-jejaknya akan dituliskan pada hati, wajah, mata, tangan dan kaki. Inilah yang secara terselubung merupakan suatu daftar amal perbuatan, yang akan zahir secara terbuka pada kehidupan akhirat.[1]
Sementara di dalam catatan kaki tafsir ayatnya, dijelaskan bahwa: Tair berarti burung. Dalam arti kiasan kata itu menggandung arti, orang yang tinggi martabat kerohaniannya terbang tinggi di kawasan kerohanian.[2]
Masya Allah! Ternyata burung-burung itu datang membawa pesan yang dalam untuk bekalku nanti di alam akhirat agar dapat memperbaiki lagi amal-amalku.
Ya, Allah, mampukan kami menjalani sisa waktu yang Kau beri dengan amal-amal yang sebaik-baiknya, agar kami dapat terbang tinggi di kawasan kerohanian. Aamiin Allahumma Aamiin.
Referensi:
[1] Filsafat Ajaran Islam, hlm. 110.
[2] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat terbitan Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia.
Visits: 56