Di Balik Layar Film Dokumenter: Spiritualitas dalam Kreativitas

Kemarin, Film Ketiga yang saya tulis telah rilis. Banyak hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman baru yang tak terduga. Kesulitan dan kepelikan selalu ada. Tapi kesudahannya selalu membuat saya menarik satu kesimpulan bahwa Tuhan tak terhindarkan dalam prosesnya.

Sebelum produksi, saya layangkan sepucuk surat yang penuh keresahan kepada Hazrat Khalifatul Masih. Mengunggapkan segala kelemahan sebagai seorang manusia biasa yang hanya bisa berikhtiar. Dan mewakilkan hasil akhirnya kepada Yang Maha Kuasa.

Doa pun tak terhindarkan. Berharap bahwa karya ini bisa menjadi menfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain. Dan menjadi penguat keyakinan bahwa kreativitas tak bisa lekang dari spritualitas.

Kita boleh berikhtiar hingga batas kemanusiawian kita. Tapi kita perlu juga mewakilkan hasil akhirnya pada Sang Pencipta agar semua itu bernilai ibadah juga pengabdian di hadapan timbangan yang maha adil.

Ide membuat film dokumenter dapat dibilang amat sederhana. Semua bermula dari kegiatan literasi yang digawangi oleh kaum ibu. Mereka menulis untuk website islamrahmah(dot)id tentang berbagai pengalaman kerohanian mereka.

Saya menyaksikan (sebagai editor) pada tiap rangkaian kata yang tercipta, mereka telah meletakkan barisan pilu yang menggelora. Saya bisa merasakan air mata telah jatuh dan membasahi sederetan paragraf yang amat mengiris-iris hati.

Saya tahu betapa para penulis bersusah payah menaruh jantung keresahannya dalam tiap kata. Dengan segala keterbatasan bahasa, bahan bacaan juga jam terbang, mereka melewati masa-masa sulit dalam berkarya, ya memulainya saja dulu.

Sebab, ada ungkapan yang menyebutkan, “Berkarya itu mudah, yang susah memulainya.”

Tapi saya bisa melihat kekuatan pesan yang hendak para penulis bagi. Pesan yang demikian kuat, yang hanya membutuhkan penyunting untuk menyibak rerumputan yang menyelubungi pesan tersebut.

Menulis bukan soal kata. Ia lebih dari sekedar kata. Awalnya banyak yang tak percaya ini. Hingga datang suatu masa dimana tulisan mereka benar-benar memberikan efek yang meremukkan kesadaran pembaca.

Bagaimana seorang penulis mengisahkan seorang nenek tua di pedalaman Papua. Pandemi membuat sang nenek sebatangkara makin menderita. Tapi lapuknya usia tak membuatnya manja. Kesendirian tak membuatnya egois.

Sebuah tulisan yang amat deskriptif, mendayu-dayu dan dengan tajam memotret sisi paling malang dari nasib seorang nenek sebatangkara pun lahir dengan narasi yang cukup panjang tapi mengalir.

Dan apa yang terjadi? Tulisan tersebut membuat beberapa orang bergerak. Bergerak untuk membantu sang nenek. Lihatlah, sebuah tulisan mempu menghipnotis pembacanya. Padahal, ia hanyalah sekumpulan kata.

Dan ini bukan sekali. Beberapa kali terjadi hal serupa. Hingga saya berkeyakinan bahwa menulis tak sekedar permainan kata. Tulisan mempunyai kekuatan yang persuasif bahkan provokatif saat orang membacanya.

Kami dalam Tim Tabligh Online menginginkan agar konten-konten yang awalnya berbentuk tulisan, bisa bermetamorfosa kedalam bentuk visual. Saat itu, sebagai Pimred islamrahmah(dot)id, saya hanya berpikiran ingin mengisahkan ulang kisah-kisah tersebut dalam bentuk monolog, semacam bercerita sambil berceramah.

Dua monolog pun tercipta. Sederhana dan ekspresif. Tapi sangat monoton. Kita tak bisa membatasi espektasi netizen yang telah melihat aneka ragam video di jagat maya. Suka mereka tonton, tidak yah tinggalkan.

Dengan kenyataan yang amat menyakitkan ini, saya mengambil satu lompatan penuh resiko. Sebuah pertanyaan pun lahir, kenapa gak sekalian buat film dokumenter? Bermetamorfosa dari “story telling” yang sederhana menjadi sebuah film yang rumit dengan narasi, skenario dan proses-proses pelik lainnya.

Pengalaman nol. Pengetahuan apalagi. Tapi kreativitas sebenarnya hanya membutuhkan satu hal, ya mulai aja dulu. Nanti juga belajar. Nanti juga melewati tahapan-tahapan sulit yang bisa mendewasakan.

Kru hanya tiga orang. Ada Ahsan yang sudah matang di videografi dan editing. Ada Adi dan Latief yang masih berproses layaknya saya. Kami masih meraba-raba dalam kegelapan soal seperti apa proses produksi?

Yang kami hanya miliki hanya dua. Kisah dan tekad. Saya sendiri tak tahu seperti apa “script” film dan bagaimana cara membuatnya? Belum tahu cara mengadaptasi dari kisah menjadi script sebagai panduan sutradara dan videografer dalam mengambil gambar.

Tapi saya ingin sampaikan disini bahwa proses kreatif ini selalu punya muatan spiritualnya. Kami selalu memulai wawancara dengan doa. Berharap agar Allah Ta’ala melembutkan hati para talent untuk menceritakan kisah mereka dari kedalaman hati.

Dan ada saja hal yang tak terduga. Sebuah keajaiban yang dalam bahasa spritualitas sang videografer disebut “digiring”. Sebab, hasil akhir dari film-film yang telah kami rilis, selalu mendapatkan giringan dari Sang “Invisible Hand”.

Dan proses pasca produksi, saat saya mulai meracik paduan narasi, footage dan wawancara. Saat itulah selalu ada yang “menggiring” perubahan script ke dalam bentuk yang tak terduga. Begitu juga Ahsan sebagai sang editor. Ada saja ide-ide kreatif yang muncul begitu saja, yang menciptakan pendalaman batin yang membuncah sisi kerohaniannya, hingga ia merasa merinding sendiri.

Secara hitung-hitungan pengalaman, jam terbang, apalagi keilmuan soal film, kami bukanlah siapa-siapa. Tapi saya selalu berkeyakinan bahwa di balik ide kreatif yang dibalut dengan spiritulitas ini, pada akhirnya karya tersebut akan menemukan jalannya sendiri untuk tampil cemerlang.

Film ketiga bertajuk “Urgensi Pendonor Darah Siaga” merupakan yang terumit dalam prosesnya. Tapi entah mengapa, Sang “Invisible Hand” sekali lagi menggiring film ini hingga menjadi bentuknya yang sekarang.

Saat syuting di hari kedua. Lokasi syuting di PMI Jakarta. Saat itu hujan turun dengan lebatnya. Seolah tak mau berhenti. Hingga saya memutuskan untuk berangkat karena sudah telat.

Di sepanjang Jalan RE. Martadinata ada titik-titik air yang lumayan tergenang. Hujan masih terus turun dengan lebatnya. Jas hujan pun tembus. Celana basah kuyup. Jaket tembus, rompi basah.

Hujan bahkan belum reda hingga siang hari. Tapi rupanya, disinilah bagaimana skenario Allah Ta’ala seolah mengikuti script yang telah disusun. Karena ada beberapa scene yang diambil dalam kondisi hujan. Yang membuat alur cerita makin dramatis.

Tentu hanya satu dari sekian banyak hal yang tak bisa terjelaskan. Tapi itu nyata. Itu amat terasa. Hingga hasil akhirnya takkan bisa dipisahkan dari penggiringan Sang “Invisible Hand”.

Tapi, semua kembali kepada satu perkara yang sangat mendasar. Ya, semua berawal dari menulis. Kita tak pernah tahu akan sampai dibawa kemana karya tulis tersebut. Dan diantara puluhan, ratusan bahkan ribuan karya tersebut, entah pada tulisan yang mana yang menjadi bagian paling penting dalam kehidupan kita. Yang menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Dan tentunya, menjadi jalan kerohanian untuk sang penulis.

Tidak perlu kecil hati saat tahu tulisan kita masih biasa-biasa saja. Itu hanya sebuah proses yang harus kita lalui. Tapaki jalan-jalannya dengan sabar dan tekun. Terus belajar dengan mereka yang sejengkal lebih terdepan. Dan biarkan nuranimu ikut berbisik lirih.

Ingatlah, kreativitas tak bisa lekang dari spiritualitas, agar proses kreatif tersebut melahirkan satu “maha karya” yang berarti bagi diri sendiri juga orang banyak.

Film Dokumenter Pertama: Keberkatan Seorang Pengkhidmat

Film Dokumenter Kedua: Memilih Melawan Pandemi

Film Dokumenter Ketiga: Urgensi Pendonor Darah Siaga

 

Visits: 242

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

1 thought on “Di Balik Layar Film Dokumenter: Spiritualitas dalam Kreativitas

  1. Terus semangat dalam berkhidmat.
    Allah Taala akan selalu memberikan jawaban dalam doa sebelum melangkah .
    Allah cinta akan kasih sayang.
    Perkaya kami dg Karunia MU ya Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *