G30S dan Lembar Baru Kehidupan Bangsa Kita
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 selalu menjadi bahan menarik di penghujung September. Kita tak pernah bisa lepas dari masa lalu yang amat nyata, amat menyakitkan bagi sebagian orang, dan lebih menyakitkan lagi bagi yang lain.
Apalagi, jika anda adalah korban. Bukankah korban yang selalu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu? Meskipun, kita masih memperdebatkan tentang siapa yang menjadi korban dan siapa pelakunya?
PKI adalah pihak yang dianggap harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Dosa ini harus ditanggung oleh orang-orang yang pernah berhubungan dengan PKI. Hingga akhirnya, sejarah menemukan jalannya sendiri untuk menampilkan beragam fakta yang selama ini tak terkuak.
Memang terlihat tak adil, jika pembunuhan para Jenderal harus dibalas dengan jutaan nyawa yang melayang. Mereka yang terhubung dengan PKI, bahkan mereka yang tak tahu apa-apa soal politik, hanya sebatas konstituen yang bisa jadi asal pilih, asal ramai, asal ikut. Tapi mereka harus menanggung sebuah konsekuensi amat menyakitkan atas pilihannya, yakni kematian.
Tentu tidak adil, jika anak-cucu dari orang-orang yang punya hubungan dengan PKI dimarginalkan selama bertahun-tahun lamanya. Bukankah mereka juga lahir dari Rahim yang sama dengan kita? Kalau mereka boleh berteriak, mereka akan berteriak, “Dosa apa yang telah kami perbuat?” Meski mereka hanya bisa melakukannya dalam diam.
Saya bukan sejarawan yang punya kompetensi mumpuni untuk mengurai benang kusut tentang peristiwa G30S. Saya hanyalah seorang rakyat biasa, tapi terlahir sebagai anak bangsa yang punya keinginan sederhana, yakni menikmati sebuah kehidupan baru tentang negeri ini.
Kehidupan yang bisa terlepas dari wajah menakutkan masa lalu. Sebab, semakin kita mengurai tiap jejak yang paling menakutkan yang pernah terjadi pada bangsa ini, semakin kita tak mampu melangkah ke depan.
Kebanyakan dari kita masih menyimpan dengan rapi wajah menakutkan komunisme yang telah mencoba merebut kedaulatan bangsa ini. Meskipun, kita mulai tarik-ulur tentang kebenaran siapa dalangnya. Tapi, warisan sejarah ini takkan bisa lenyap begitu saja bukan?
Saya takkan mampu berargumentasi untuk memihak ke siapa, karena saya pikir, itu takkan pernah menyelesaikan masalah bangsa ini. Kita akan terus terjebak dari tahun ke tahun untuk mencari siapakah dalangnya, yang mungkin sudah diadili di alam baka sana.
Apakah kita mau terus berlelah-lelahan menyoal sesuatu yang seharusnya bisa terkubur dengan tenang, dan memulai sebuah kehidupan baru yang lebih baik lagi?
Bukankah hari esok masih bisa lebih cerah? Bukankah masa lalu hanya bisa menjadi masa lalu? Meski ia memang menyakitkan, apalagi anda tak rela melupakannya. Bisakah kita memulai babak baru kehidupan bangsa ini?
Saya selalu melihat hari esok dengan suatu semangat yang dijelaskan al-Quran.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok..” (QS. Al-Hasyr: 19)
Orang-orang yang beriman dinasehati selain dari bertakwa, juga memperhatikan apa yang telah kita perbuat dulu (masa lalu) untuk menghadapi hari esok. Bukankah Nabi Muhammad saw pernah bersabda,
“Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, orang itu akan merugi. Orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin orang itu sungguh celaka, tetapi apabila hari ini lebih baik dari kemarin, atau esok lebih baik dari hari ini, maka ia orang yang beruntung.”
Kita bisa memulai semuanya dengan satu cara, mulai belajar untuk saling memaafkan. Sebab kemenangan terbesar adalah ketika kita punya kesempatan untuk membalas, tapi kita mampu untuk memaafkan.
Lihatlah saat Rasulullah Saw berhasil menaklukkan kota Mekkah. Para penduduk Mekkah yang dulunya amat zalim terhadap kaum muslimin diliputi rasa takut, bagaimana jika kaum muslimin menuntut balas?
Sah-sah saja saat itu jika Rasul menuntut balas atas kezaliman musuh. Dan beliau punya kuasa penuh. Dimana kezaliman itu amat nyata dan menyakitkan bagi kaum muslimin. Tapi apa yang diperlihatkan Rasul? Beliau malah memaafkan mereka. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan berubah.
Peristiwa G30S tak semestinya terus dibahas atau dijadikan komoditas politik untuk memunculkan satu isu tertentu dan membuat kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Apalagi di tengah situasi pandemi ini, dimana banyak orang sedang berjuang melewati masa-masa sulit ini.
Sebagai anak bangsa, marilah kita fokus kepada penyelesaian masalah dan pembangunan ke depan. Tak perlu menghabiskan banyak energi untuk terus mempersoal ingatan kelam tentang masa lalu. Biarlah ia terkubur dengan tenang dan menjadi pelajaran untuk kita, untuk menjadi lebih baik lagi.
Visits: 26
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.
setuju pak..