HADIR DALAM DIAM: TENTANG NIAT, KEIKHLASAN, DAN HATI YANG BERSIH

Di tengah maraknya kegiatan sosial dan keagamaan, sering kita dapati wajah-wajah yang tampak bersinar. Mereka yang senantiasa berada di barisan terdepan, hadir dalam berbagai kesempatan, nama-nama yang lekat dengan kesungguhan dan pengkhidmatan. Namun sebagaimana kisah yang utuh, selalu ada halaman-halaman yang tak terbaca oleh mata, halaman tentang niat, kejujuran batin, dan makna sejati dari hadirnya seorang hamba dalam sebuah amanah.

Islam tidak mengukur keindahan amal dari tampilan luar semata. Allah memandang ke dalam, ke hati, ke niat, ke dasar terdalam dari setiap langkah yang diambil. Karena tak semua yang tampak gemilang di hadapan manusia, serta-merta bersinar pula di hadapan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

“Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak akan berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.” [1]

Membersihkan hati bukan perkara ringan. Ia bukan hanya soal menyingkirkan dengki dan iri, tapi juga tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Untuk siapa sebenarnya semua ini? Apakah benar-benar untuk Allah, atau hanya agar nama tetap terdengar? Atau demi dikagumi oleh seseorang?

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” [2]

Kadang, kita menyeru orang lain pada nilai luhur, namun dalam ruang-ruang terdekat—di rumah, dalam relasi, atau bahkan di balik layar media sosial—kita masih bergumul dengan ego yang belum jinak. Menyeru kepada kebaikan bukan perkara mudah, apalagi bila kita belum sepenuhnya siap menjadi teladan yang hidup darinya. Namun setiap dari kita sedang dalam perjalanan. Dan dalam perjalanan itu, kejujuran adalah bahan bakar utama.Hadhrat Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” [3]

Pertanyaannya, ketika sorotan telah berpindah, ketika panggung mulai sepi, masihkah semangat itu menyala? Masihkah tangan tetap terulur dalam senyap, tanpa perlu disaksikan siapa pun? Di situlah hakikat keikhlasan diuji: dalam diam, dalam ruang yang tak ramai, dalam momen di mana hanya Allah yang tahu.

Beliau saw. juga bersabda,

“Barangsiapa yang tidak menginginkan pujian dari manusia dan tidak pula menginginkan kedudukan, maka Allah akan meninggikan derajatnya dan menanamkan ketulusan dalam hatinya.” [4]

Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda,

“Amal yang dilakukan hanya untuk Allah akan menyebarkan nur. Tapi amal yang dilakukan demi manusia, tidak akan meninggalkan kesan ruhani.” [5]

Dan dalam petuahnya yang halus namun mendalam, beliau juga menyampaikan,

“Orang yang benar-benar bertakwa tidak akan mencari pujian dari manusia. Ia menyembunyikan amalnya sebagaimana orang menyembunyikan dosanya.” [6]

Betapa indahnya bila setiap amal hadir tanpa mengharap sorotan. Bila tangan kanan memberi, tangan kiri tak merasa perlu tahu. Bila hati tenang meski tak disebut, karena yang dituju bukanlah pengakuan, melainkan ridha yang tersembunyi dalam ketulusan.

Allah Ta’ala memperingatkan dengan penuh kelembutan:

“Dan janganlah engkau condong kepada orang-orang yang zalim, maka engkau akan disentuh api neraka.” [7]

Dan Allah SWT. pun berfirman,

“Dan janganlah engkau berbuat kebaikan dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” [8]

Ayat ini menjadi pelengkap tajam bagi nurani, bahwa kebaikan sejati tak menuntut balasan selain keridhaan-Nya. Amal yang suci bukanlah yang menuntut imbalan, tapi yang terus berjalan meski tak mendapat balas.

Kadang kita tak sadar saat mulai memihak bukan karena benar, tapi karena nyaman. Demi menjaga citra, kita bisa lupa menjaga hati. Padahal, netral bukan berarti tak peduli. Netral adalah tentang tetap jujur walau berpotensi sepi. Tentang memilih berdiri pada kejujuran meski tidak populer. Tentang menolak kenyamanan bila itu mencederai nilai yang kita yakini.

Namun tak ada kata terlambat. Selalu ada ruang untuk memperbaiki, menyusun ulang arah niat, dan memulihkan luka-luka batin yang mungkin selama ini berbicara dalam diam, lewat keinginan untuk diakui, lewat lelah yang tak kita sadari berasal dari kurangnya keikhlasan.

Menjadi netral bukan tentang tidak punya sikap. Tapi tentang mencintai dengan adil. Tentang menundukkan ego dalam ruang-ruang kecil yang tak dilihat orang. Tentang bersikap lembut bukan karena dituntut, melainkan karena telah selesai dengan luka-luka sendiri.

Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling sering disebut, tapi siapa yang paling jernih hatinya yang akan mendapat tempat di sisi-Nya.

“Dan sesungguhnya, orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” [9]

Referensi :

[1] QS. Asy-Syu‘ara: 89–90

[2] QS. Ash-Shaff: 3–4

[3] HR. Muslim

[4] HR. Ibnu Majah

[5] Malfuzat, Jilid 4

[6] Malfuzat, Jilid 3

[7] QS. Hud: 114

[8] QS. Al-Muddatsir: 7

[9] QS. Al-Hujurat: 14

Visits: 74

1 thought on “HADIR DALAM DIAM: TENTANG NIAT, KEIKHLASAN, DAN HATI YANG BERSIH

  1. ما شآءالله

    Sangat penting membaca tulisan ini berulang kali sebagai bahan muhasabah diri. Allah telah memberikan penulis dan pembaca sebuah karunia untuk bisa menjadi lebih baik dengan mengoreksi niat melalui tulisan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *