Hari Perempuan Internasional – Hak Abadi Perempuan yang Ditetapkan oleh Tuhan
Penulis: Nila Ahmad, Amerika Serikat
Baru-baru ini, putra saya yang berusia delapan tahun bertanya apakah saya suka menjadi seorang wanita. Saya berbalik dari meletakkan kembali bantal di sofa untuk melihatnya dan bertanya alasannya. Dia memandangi adik laki-lakinya dan mengatakan bahwa ketika saya jatuh sakit selama kehamilan, saya sangat kesakitan. Bukankah menjadi perempuan itu sulit, bukankah saya lebih suka menjadi laki-laki?
Saya tersenyum dan mengatakan kepadanya, “Tidak, saya tidak akan pernah menukar status seorang wanita dengan apa pun. Saya menyukainya.” Saya tertawa ketika alis kecilnya terangkat karena tidak percaya, tetapi saya kemudian memikirkan pertanyaannya dalam konteks yang lebih luas, yaitu pria versus wanita.
Tidak ada keraguan bahwa secara historis, menjadi seorang perempuan adalah hal yang sulit dan dia harus memperjuangkan hak-haknya; tapi jika bukan karena Islam, saya tidak akan pernah tahu betapa pentingnya dan berharganya menjadi seorang wanita. Nilai saya setara dengan laki-laki karena Tuhan menetapkan tujuan hidup yang sama bagi laki-laki dan perempuan dan menurunkan perintah-perintah Islam sehingga masyarakat dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang setara.
Setiap tanggal 8 Maret, Hari Perempuan Internasional bergulir dan dunia membahas sejauh mana kesetaraan perempuan telah dicapai dan seberapa jauh kita harus melangkah lebih jauh. Sebagaimana dinyatakan oleh UNWomen di situs webnya, kesetaraan gender ‘mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab dan peluang bagi perempuan dan laki-laki serta anak perempuan dan anak laki-laki.'[1]
Jadi, meskipun laki-laki telah mengambil hak dan peluang yang mereka miliki, perempuan harus memperjuangkannya, sedikit demi sedikit. Sebuah patriarki yang ‘dermawan’ membagikan hak-hak secukupnya untuk memuaskan perempuan saat ini, hampir seperti menaburkan remah roti di depan sekelompok merpati yang kelaparan.
Sebagai Khalifah Kelima dan Pemimpin Jemaat Muslim Ahmadiyah Sedunia, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba) menyatakan dalam pidatonya kepada para remaja putri: ‘Hak apa pun yang diberikan kepada perempuan saat ini adalah akibat dari kebutuhan, bukan karena keinginan mendalam untuk maju dan juga sebagai sarana bagi laki-laki untuk memenuhi keinginan egoisnya sendiri. Ini adalah sesuatu yang telah dibuktikan oleh sejarah berulang kali.'[2]
Baik pada tahun 1848 ketika Undang-Undang Properti Wanita Menikah akhirnya mengizinkan perempuan Amerika untuk menerima warisan mereka, atau pada tahun 1920 ketika perempuan akhirnya dapat ikut pemilihan suara, atau bahkan pada tahun 1974 ketika perempuan dapat membuka pengajuan kredit tanpa kehadiran laki-laki, setiap pencapaian mengharuskan perempuan menghabiskan waktu dan tenaga yang tak terhitung jumlahnya.
Hal serupa juga terjadi di Inggris, di mana perempuan berusia di atas 30 tahun diberi hak untuk memilih pada tahun 1918 atau menerima gaji yang setara pada tahun 1968 atau untuk menghindari diskriminasi karena kehamilan pada tahun 1975. Meskipun contoh di atas berasal dari negara-negara Barat, keadaan serupa juga dapat ditemukan di seluruh dunia mulai dari Indonesia, Afrika Selatan, hingga Pakistan. Waktu, tenaga, dan sumber daya yang dikerahkan perempuan untuk memastikan kesetaraan dengan laki-laki membuat mereka kehilangan pijakan dalam mencapai tujuan hidup mereka. Berbeda dengan masyarakat sekuler, Islam menetapkan kesetaraan antara kedua jenis kelamin dengan menetapkan tujuan hidup bersama.[3]
Al-Qur’an menyatakan, ‘Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki atau pun perempuan, dan ia seorang mukmin, maka mereka itu akan masuk surga, dan mereka tidak akan dianiaya walaupun sebesar alur biji korma.'[4] Oleh karena itu, seorang wanita Muslim yang berusaha untuk setara dengan suaminya atau ayah atau anak laki-lakinya tidak bergantung pada laki-laki untuk memberinya kesetaraan dan juga tidak menunggu kesetaraan itu diberikan kepadanya sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu.
Untuk memastikan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk berjuang mencapai tujuan mereka bersama, Tuhan telah menetapkan dua hal. Pertama, Islam mengajarkan kita bahwa baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan dan oleh karena itu, mereka berdua harus meminta hak-hak mereka kepada Tuhan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Khalifah Kelima (aba) dalam pidatonya, ‘…siapakah manusia yang dapat memberikan hak kepada mereka ketika Pencipta mereka, Allah Yang Maha Kuasa, telah memberikan kepada mereka semua yang mereka perlukan dan inginkan? Mereka harus memahami bahwa Allah telah memberi mereka kesetaraan sejati berdasarkan logika dan kebijaksanaan. Memang benar, cara perempuan digambarkan dalam Al-Qur’an, dan cara perempuan dalam menetapkan hak-hak mereka, benar-benar unik dan tidak ditemukan dalam kitab suci agama lain mana pun.’[5]
Kedua, Islam memberikan kerangka yang memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan perbuatan baik, karena jika perempuan diminta untuk berjuang menuju kebenaran, mereka harus merasa aman dan percaya diri dengan status mereka sebagai perempuan. Oleh karena itu, Tuhan yang tidak berat sebelah pada ciptaan-Nya, dan dengan sangat memperhatikan setiap perasaan dan keadilan perempuan, menganugerahkan kepada perempuan hak atas pendidikan, atas warisannya sendiri, atas perceraian, atas aborsi dalam keadaan tertentu, dll.
Muslim Perempuan tidak perlu takut bahwa hak-hak mereka akan ditentukan oleh siapa pun yang berkuasa atau partai mana yang mendominasi Mahkamah Agung, karena mereka merasa aman mengetahui bahwa hak-hak mereka adalah hukum Ilahi, yang tertulis dalam halaman-halaman Al-Qur’an.
Selain hak-hak yang lebih nyata, Tuhan juga memberikan hak-hak kepada perempuan Muslim yang tidak diberikan oleh masyarakat sekuler saat ini. Misalnya, Islam menyatakan bahwa laki-laki tidak mempunyai hak atas kekayaan, harta benda, atau pendapatan perempuan. Dengan cara ini, perempuan dapat menyimpan uang atau harta bendanya, berinvestasi, atau membelanjakan uang sesuai keinginannya.
Hal ini menghilangkan segala tekanan yang mungkin dirasakan perempuan untuk menambah pendapatan rumah tangga dan tanpa tekanan finansial ini, perempuan dapat fokus pada tujuan yang diberikan Tuhan dengan sangat jelas. Hak ini tidak ada bandingannya dalam masyarakat saat ini.
Hak lain yang diberikan Tuhan kepada kita adalah perintah mengenakan pardah (cadar) bagi laki-laki dan perempuan, sebuah hak yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita, dan sejujurnya merupakan hak yang ingin diambil oleh kebanyakan orang dari wanita Muslim. Namun baru-baru ini, saya melihat semakin banyak postingan di Instagram yang dibuat oleh influencer hak-hak perempuan yang menyerukan kepada laki-laki untuk memeriksa pandangan mereka, untuk menghentikan objektifikasi terhadap perempuan.
Dan apa yang Allah perintahkan agar manusia lakukan lebih dari 1400 tahun yang lalu dalam Islam? Beliau memerintahkan laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka, menahan diri dari memandang dan mendengarkan wanita. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menguraikan instruksi ini dalam Filsafat Ajaran Islam, “Kita telah diperintahkan secara pasti untuk tidak melihat keindahannya, baik dengan niat murni atau tidak… Hampir dapat dipastikan bahwa pandangan sekilas akan menyebabkan kita tersandung suatu saat nanti'[6]
Dalam kebijaksanaan Tuhan yang luar biasa, Dia memberikan perempuan hak untuk bebas dari pelecehan dan objektifikasi, sesuatu yang belum diberikan oleh negara dan masyarakat saat ini. Pembunuhan Sarah Everard dan Sabine Nessa hanyalah dua contoh banyaknya perempuan yang dilecehkan hanya karena laki-laki merasa bebas untuk menatap dan berlama-lama dan akhirnya memangsa perempuan. Dengan menerapkan standar kesopanan yang tinggi, Islam menciptakan lingkungan yang sama amannya bagi pria dan wanita.
Sayangnya, surga yang dijanjikan Islam kepada kita ini masih belum kita sadari. Kita semua hidup dalam budaya dan negara di mana perempuan tidak diberi hak untuk hidup setara dengan laki-laki. Saya hanya berharap ketika saya membesarkan putra-putra saya sendiri, mereka akan menapaki jalan Islam untuk menegakkan apa yang Tuhan Yang Maha Esa telah kehendaki sejak lama. Sebuah dunia di mana pria dan wanita benar-benar menghormati satu sama lain dan berjuang menuju kebenaran, sebuah dunia yang penuh dengan keadilan. Situasi di mana perempuan tidak lagi dipaksa untuk meminta laki-laki untuk memberikan atau mengakui hak-hak mereka. Sudah terlalu lama kesetaraan yang dicari perempuan terkurung dalam tangan laki-laki yang tertutup rapat.
Sudah waktunya untuk melepaskan.
Tentang Penulis: Nila Ahmad tinggal di Amerika Serikat bagian selatan bersama keluarganya. Setelah lulus dengan gelar seni, ia berpartisipasi dalam ilustrasi buku anak-anak, serta menjadi anggota tim untuk majalah Amerika Serikat Al-Hilal. Minat khususnya adalah menghilangkan kesalahpahaman seputar status perempuan dalam Islam. Nila adalah Asisten Redaktur Bagian Perempuan Kajian Agama.
Catatan kaki:
[1] www.un.org/womenwatch/osagi/conceptsanddefinitions.htm
[2] www.alislam.org/articles/high-status-of-women-in-islam/
[3] https://www.alislam.org/book/selected-verses-holy-quran/equal-rights-for-men-and-women/
[4] The Holy Qur’an, 4:125
[5] www.alislam.org/articles/high-status-of-women-in-islam/ [6] The Philosophy of the Teachings of Islam, Page 24
*Tulisan diterjemahkan dari artikel di https://www.reviewofreligions.org/37646/international-womens-day-the-eternal-rights-of-women-established-by-god/
Visits: 91
Women Is The Best