
Ibu, Aku Butuh Dirimu!
Sebut saja ia Nisa. Anak usia 11 tahun yang ingin mengungkapkan perasaan mendalamnya kepada sang Ibu dengan cara yang tak biasa.
Suatu hari Nisa jatuh sakit. Tubuhnya demam. Ia terlihat lemas. Ia ingin sang Ibu menemaninya. Menghabiskan waktu seharian bersamanya.
Sayangnya. Sang ibu tidak bisa memenuhi harapannya. Ia bersikap normatif dengan pikiran yang terus bercabang tiap harinya.
“Kenapa tidak mau minum obat? Sudah demam seperti ini, gimana Mama mau pergi kerja? Kamu bisa tolong Mama dengan jangan susahkan Mama?” ujar sang Ibu.
Nisa makin sedih. Ia pun terus meyakinkan sang Ibu. “Mama, kakak demam. Tolong mama,” rayunya kepada sang Ibu yang bersiap berangkat ke Rumah Sakit.
Sang Ibu makin tegas. Makin menunjukkan posisi tawarnya yang tinggi tidak hanya sebagai seorang Ibu yang mengandung, melahirkan juga memeliharanya, tapi juga sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan kebendaan sang anak.
“Kakak kenapa tidak paham dengan pekerjaan Mama. Cuti ini bukan hak mama, staff kurang, pasien ramai, dan kerjaan banyak. Tolonglah kak, sudah pakai baju sekolah, makanlah obatnya,” sang Ibu makin tegas membujuk anaknya untuk kuat.
Nisa akhirnya menyerah. Lagi-lagi ia harus mengalah untuk mendapatkan kebahagiannya. Kebahagiaan yang seringkali tak mampu dibaca oleh orang tuanya.
Lantas. Sang Ibu mengantarnya pergi ke sekolah. Nisa terus melamun. Juga membatin. Ia berusaha untuk menahan kerumunan air mata yang telah menggenang di kelopak matanya.
Diturunkannya Nisa di depan sekolahnya. Langsung ia bergegas menuju Rumah Sakit. Sebuah kesibukan yang itu-itu saja tiap harinya.
Secarik kertas mengusiknya, saat ia memeriksa salah satu saku bajunya. Dibukanya, terlihat baris-baris kalimat ditulis dengan tangan. Ia tahu, itu tulisan putrinya.
Ia pun mulai membaca:
“Maafkan kakak Karena tidak makan obat semalam, sebab kakak memang sengaja demam supaya bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Mama. Tidur dengan Mama sambil peluk Mama. Makan disuapi Mama, dengar Mama bercerita tentang aktivitas yang akan kita lakukan bersama kalau kakak sembuh demam.”
“Tapi, kaka tahu itu semua cerita bohong. Mama dan Papa sibuk bekerja, menjaga anak dan saudara orang lain, sedangkan kakak harus jaga diri sendiri.”
Tiba-tiba, tubuh sang Ibu bergetar hebat. Jantung berdegub kencang. Rasa sedih mulai menyelimuti batinnya. Membuka kesadarannya yang paling dalam.
Tes..tes..tes..
Titik-titik air mata yang sedari tadi menggelayut goyang di bola matanya perlahan menetes. Membasahi secarik kertas, tempat sang putri menyuarakan pesan terdalamnya.
Sang Ibu tak menyangka, kesibukannya bekerja justru menghilangkan kebahagiaan putrinya sendiri.
Kenyataannya, kebahagiaan seorang anak bukan melulu soal jaminan sarana-sarana kebendaan dari orang tuanya. Ada yang lebih besar dari itu.
Ya, kehadiran kita sebagai orang tua, teman, teladan, juga pahlawan mereka.
Selamat hari anak nasional.
Tulisan ini adalah gubuhan dari Artikel Ini
Visits: 87
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.
😭😭😭
Asli mewek dah baca berkali-kali juga 😭😭