IBUMU, IBUMU, IBUMU

“Pokoknya Saya Tidak Akan Maafkan, Dia Harus Bayar Air Susu, Saya Sudah Capek Jadi Ibu”

Sebait kalimat yang begitu menohok batin. Genap setahun meninggal suaminya, mungkin belumlah kering luka hatinya, kini luka itu menganga teramat dalam. Dengan nada tinggi dan entah rasa apa yang membuncah di dadanya, kalimat itu pun terlontar dari mulut seorang Ibu yang duduk di kursi persidangan menghadapi gugatan hak waris yang diajukan anak kandungnya sendiri.

Pilu kalbunya kala mengingat, putra kebanggaannya, nadi kehidupannya, yang dulu di kandungnya dalam lelah, ditimangnya dengan sepenuh kasih, dirawatnya dengan segenap jiwa raga, dia korbankan dirinya siang dan malam demi putra kesayangan, kini sang putra yang telah dewasa berdiri di hadapannya demi seonggok harta dunia yang nilainya tak lah setara dengan doa dan kasih sayang ibundanya.

Inilah satu dari puluhan bahkan mungkin ratusan kasus yang meramaikan jagat berita negeri ini. Memilukan dan memalukan. Anak zaman sekarang punya istilah keren untuk fenomena seperti ini, “ga ada akhlak!”

Atau potongan lagu populer ini mungkin cukup mewakili keheranan kita, “entah apa yang merasukimu”. Ya, apa gerangan yang merasuki diri para anak yang tega menggusur orangtuanya ke meja persidangan. Sudah hilangkah akal sehatnya? Sudah gelapkah nuraninya? Sudah turun ke level manakah kewarasannya?

Berkaca pada masa, rupanya kemajuan zaman telah menggerus banyak nilai-nilai kemanusiaan hingga akarnya. Tak hanya anak yang menggugat waris, bahkan anak yang membunuh orangtuanya pun dengan mudah dapat kita temukan faktanya. Demi apa? Bukan karena segunung berlian atau hamparan emas permata, tapi hanya karena nilai uang tak seberapa. Iman dan rasa kemanusiaan terbang menembus cakrawala, hilang ditelan lapisan ozon, dan yang tersisa hanya debu-debu amarah dan ambisi tak bertepi.

Ternukil dalam Kitab Suci Al-Qur’an, Q.S. An-Nisa ayat 10:

“Dan hendaklah merasa takut kepada Allah orang-orang yang apabila mereka meninggalkan di belakangnya keturunan yang lemah yang mereka khawatir terhadapnya, maka hendaklah mereka takut kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lurus.”

Ayat ini sejatinya membahas tentang kepentingan anak-anak yatim. Islam benar-benar memberi perhatian khusus mengenai hak-hak anak yatim, terutama hak waris harta yang ditinggalkan oleh orangtuanya, agar mereka yang mendapatkan wewenang mengaturnya, berlaku jujur. Namun tentu, bukan anak-anak yatim yang tidak ada akhlak, bukan anak yatim yang tak punya rasa malu dan telah kehilangan rasa hormat serta kasihnya untuk orangtua mereka.

Jika mencermati kata-kata “keturunan yang lemah”, rasanya pada saat ini, kalimat ini bisa dimaknai lebih jauh dalam bentuk kelemahan-kelemahan yang muncul pada diri keturunan yang tak hanya berupa lemah dalam kondisi ekonomi sebagaimana menjadi kekhawatiran umumnya, bahwa seorang anak yang ditinggal orangtuanya akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karena lemah dalam urusan keuangan, tak akan berakibat fatal dibandingkan lemah dalam keimanannya, lemah dalam tatanan akhlak dan budi pekertinya. Karena jika iman masih ada, meski sedikit saja, tentu tak akan terjadi peristiwa mengerikan seperti ini.

Terlepas dari alibi apapun yang dilontarkan sang anak, tak pernah ditemukan satu literatur pun yang mengizinkan perlakuan tak baik kepada orangtua, terlebih kepada seorang Ibu, yang bahkan baginda Rasulullah SAW pun memberikan tempat terhormat kepada kaum Ibu.

Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi Saw menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).

Ibumu, Ibumu, Ibumu. Mengapa Rasulullah SAW menyebut hingga 3 kali?

Dalam Surah Luqman ayat 15 nampaknya dapat menjadi sandaran untuk menjelaskan hadits tersebut.

“Dan Kami telah menasehatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada Ibu Bapaknya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah di atas kelemahan, lalu menyapihnya dalam dua tahun, supaya bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Kepada Aku-lah tempat kembali”.

Begitupula dalam QS Al-Ahqaf, 46:16, Allah Ta’ala berfirman :

“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah, dan mengandungnya sampai menyapihnya selama tigapuluh bulan, hingga ketika ia mencapai usia dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, ia berkata: “Wahai Tuhanku, anugerahkanlah taufik kepadaku supaya aku dapat mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat beramal saleh yang Engkau meridhainya. Dan perbaikilah bagiku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku kembali kepada Engkau; dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Engkau”.

Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa seorang Ibu, mengalami tiga macam kepayahan dan kesulitan, pertama hamil, kemudian melahirkan dan menyusui (merawat anak). Suatu kepayahan yang sulit dilukiskan, bahkan taruhan nyawa saat melahirkan. Maka, pantaslah baginda Nabi SAW menyebut Ibu sebanyak 3 kali juga, seolah pengobat bagi seluruh rasa sakit yang dialami seorang Ibu selama proses itu.

Dan jika setelah berbagai kepayahan yang dilalui Ibu, alangkah naifnya jika seorang anak menambah lagi beban kepayahan itu kala mereka dewasa. Tak henti menyusahkan, membuat kedua orangtuanya tak dapat tidur dengan lelap. Beban pikiran terus dihantui oleh anaknya, anaknya dan anaknya.

Semoga peristiwa-peristiwa seperti ini cukup menjadi pembelajaran baik bagi orangtua maupun anak. Bagaimana hendaknya mempersiapkan keturunan yang tak lemah dalam segala segi. Bagaimana hendaknya menjadi anak yang tak menunjukkan kelemahan saat seharusnya sudah mandiri.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan segala kebaikan, keberkahan, maghfirah dan kasih sayang-Nya untuk semua Ibu. Aamiin.

Visits: 382

Ai Yuliansah

1 thought on “IBUMU, IBUMU, IBUMU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *