Intoleransi Ancaman Bagi Negeri

16 Oktober 2018, TEMPO.CO merilis berita tentang betapa tingginya potensi intoleransi di dunia pendidikan kita. Dengan merujuk pada hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, ada setidaknya 57 % guru di negeri ini memiliki opini intoleransi terhadap pemeluk agama lain dan 37,7 % diantaranya memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan intoleran.

Sulit untuk tidak cemas mengetahui kondisi demikian, mengingat mudahnya menemukan contoh kasus guna memverifikasi hasil survei tersebut. Beberapa waktu lalu pemberitaan kita diramaikan oleh seorang guru di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Jakarta, dimana ia kedapatan telah melakukan doktrinasi kebencian terhadap kepala negera kepada murid-muridnya.

Dan jika kita flashback agak jauh kebelakang, dimana saat negeri ini disibukkan oleh gelaran pilbup dan pilgub pun sempat muncul kabar berita tentang seorang guru yang dipecat lantaran beda pilihan politik dengan Yayasan Sekolah.

Data dan kasus-kasus tersebut jelas menjadi validitas atas kondisi genting di negeri ini. Betapa tidak, bahkan pusat reproduksi generasi penerus bangsa pun telah dicemari oleh intoleransi, virus yang nyata menjadi ancaman bagi negeri ini.

Cukup mengherankan memang melihat fakta bahwa di tengah-tengah negara yang masyarakatnya mayoritas penganut Islam – agama yang terkenal dengan ajaran kasih sayang dan tolerannya, tumbuh subur benih-benih intoleransi.

Apa yang salah dengan ta’lim dan tarbiyah kita. Tidak simpaikah ajaran-ajaran Islam tentang mengupayakan kedamaian?

Padahal Al-quran secara jelas mengajarkan; “Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS 2:224)

Atau tidak didapatkah kisah juga pesan dari Baginda Nabi saw tentang kasih sayang dan sikap toleran?

Padahal, banyak kita dapati riwayat-riwayatnya. Sebagai contoh suatu kali ditanyakan kepada Rasulullah saw: “Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” maka beliau bersabda: “Al-Hanifiyyah As-Samhah,  yakni yang lurus lagi toleran.” (HR. Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, Digital Maktabah Syamilah, juz 1, hal. 94)

Penting menjadi catatan bahwa toleransi merupakan benteng utama negeri ini.

Sensus BPS tahun 2010 menunjukkan setidaknya ada 1.340 etnik atau suku bangsa di negeri ini, belum lagi perbedaan agama, dalam keyakinan dan bahkan pilihan politik.

Keadaan tersebut demikian rentan dan jika kita tak mampu meredam sikap intoleran diantara masyarakat kita, maka disintegrasi menjadi ancaman yang paling mungkin, perlahan dan pasti menggiring bangsa ini pada perpecahan.

Untuk itu hentikanlah pertentangan, kubur dalam-dalam egoisme dan kebencian. Karena walau berbeda pun warna kulit kita, suku, bahasa, agama juga keyakinan, kita tetap lahir dan tumbuh di atas tanah yang sama, tumpah darah Indonesia.

Jika pesan ini tak juga menyadarkan anda untuk lebih toleran lagi pendamai, maka mungkin anda perlu piknik ke Suriah, Yaman atau Afghanistan.

Karena disana ada banyak pelajaran yang mungkin bisa membuka hati dan fikiran. Ya, mereka adalah korban dari konflik berkepanjangan dan buah dari “sikap yang terlalu bersahabat” dengan kebencian.

Visits: 21

Muballigh at JAI | Website

Seorang Penulis, Muballigh dan pemerhati sosial. Tinggal di Pulau Tidung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *