
I’tikaf yang Membuatku Aktif di Jemaat
Di suatu Jumat, saya sudah lupa tanggal berapa tepatnya tapi itu terjadi pada tahun 1994, diumumkan bahwa Masjid An-Nashir, Bandung Kulon, akan diadakan program i’tikaf. Entah mengapa saya tiba-tiba mendaftar, padahal saat itu saya tidak tahu pasti seperti apa i’tikaf itu?
Saat itu saya masih duduk di bangku kelas dua SMA. Ibu saya baru baiat ke dalam Jemaat. Saya masih meraba-raba untuk bergaul dengan para Lajnah yang biasa berkumpul bakda Jumatan.
Waktu itu saya masih aktif di masjid ghair. Ikut pengajian disana. Bahkan jadi guru ngaji di masjid depan rumah.
Itulah mengapa saya spontan ikut itikaf karena ingin aktif di masjid dan di kemudian hari bisa kumpul-kumpul bareng para Lajnah muda. Sepertinya seru, pikir saya kala itu.
Saya sampaikan kepada orang tua kalau saya ikut i’tikaf dan ibu mengizinkannya dengan syarat kakak saya yang paling besar menemani.
Dan terjadilah sebuah bencana yang kadang suka geli saat mengingatnya kembali.
Saat saya masuk ke dalam bilik yang sudah disediakan, saya bingung karena bilik tersebut kosong melompong. Saya tidak bawa apa-apa karena saya juga tidak tahu harus bawa apa saja. Orang tua pun belum mengerti saat itu i’tikaf yang berkembang dalam Jemaat ini seperti apa?
Walhasil, saya hanya bisa bengong di dalam bilik yang hanya tersekatkan kain itu. Bingung mau ngapain?
Tapi syukurlah. Panitia itikaf datang ke bilik saya dan bertanya, “Neng, siapa namanya? Kok gak bawa apa-apa?”
Bukannya menjawab, saya malah balik bertanya, “Memang i’tikaf teh ngapain aja?”
Panitia tadi yang bernama Teh Uwi, yang kini menjadi Ketda Garut, sekilas mengernyitkan dahi, mungkin heran ada Lajnah muda yang i’tikaf modal nekat seperti saya.
“Saya gak tau apa-apa, pokoknya saya mah pengen ikutan aja kegiatan masjid,” saya pun berusaha untuk menjelaskan lebih jauh.
Teh Uwi akhirnya menjelaskan sekilas tentang itikaf, apa saja yang harus dibawa juga apa saja yang harusnya dilakukan saat itikaf. Panitia juga membantu menghubungi orang tua di rumah agar mempersiapakan kebutuhan saya.
Itulah pengalaman perdana saya ikut i’tikaf. Saya baru merasakan pengalaman ruhani yang mendalam seperti itu. Terasa nikmat hingga saya mengukuhkan niat, tahun depan harus ikut lagi.
Dan disitulah saya mulai mengenal beberapa Lajnah. Mulai terjalin komunikasi yang intens dengan mereka. Dan mulai diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan masjid.
Saya mulai mendapatkan banyak teman baru. Dalam suasana baru. Dan kami tumbuh berkembang di sebuah tempat yang penuh berkat, ya masjid.
Di tahun-tahun berikutnya saya tak pernah absen ikut i’tikaf. I’tikaf memberikan kesempatan untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Nikmatnya beribadah saat i’tikaf memang luar biasa, hingga tak terasa Al-Quran khatam hanya dalam tempo sepuluh hari.
Di tahun ketiga saya ikut i’tikaf, saat itu saya baru mengenyam bangku kuliah. Saya ingat betul saat itu ada seorang Lajnah Bogor yang ikut juga, namanya dr. Vivien. Beliau memberikan nasihat kepada saya, kalau i’tikaf sisipkan juga doa minta jodoh, kan sabda Huzur juga minta jodoh itu dari umur sepuluh tahun.
Kata Teh Vien, minta aja semua yang baik-baik, nanti Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. “Yang cager, bageur, pinter, bener, sholeh, benghar, kasep… pokoknya semua yang bagus-bagus.”
Dalam hati saya, betul juga yah, tidak ada salahnya memohon kepada Allah perihal jodoh yang terbaik yang kita inginkan. Masalah dikabulkan atau tidaknya, kita semua berlepas diri atas takdir Allah Ta’ala nanti.
Dan ternyata, Allah mengabulkan doa saya. Memilihkan sosok imam yang terbaik untuk anak-anak saya. Padahal, semua jalan cerita ini bermula dari sebuah niat yang amat polos dan sederhana, ya cuma pengen ikut kegiatan di masjid.
Dari sebuah niat yang sederhana itu, kita tidak pernah tahu bahwa Allah Ta’ala tengah menyiapkan sebuah jalan cerita kehidupan kita yang luar biasa.
Penulis: Mia Kurniawati
Editor: Muhammad Nurdin
Visits: 89
Masyaa Allah. Mubarak Bu Mia. Semoga Allah selalu melimpahkan semuankebaikan n keberkahan buat Ibu n keluarga. Sebuah kisah yang sangat luar biasa.
Mubarak… ditunggu kelanjutan ceritanya…😇
Assalamualaikum,
This story really inspires millennial Ahmadi women and men. It proved the power of prayers and sincere intention from the writer. When the intentions are pure, Allah surely bestows His blessings. I’ve known Teh Mia since I was a student in Madrasah Mesjid An Nasir. She is like my older sister to me. I have two other older sisters so she is like the 3rd older sister to me :). Another lesson from this writing is that we should participate in all Jamaat initiative/programs even if we don’t understand what it means. Surely Allah will give us an understanding and we will receive more blessings. Great job Islam Rahmah for gathering many talented writers and inspiring stories. Mubarak!