Jalan Terjal Berwiraswasta, Begini Kiat Memuluskannya

”Wy, nanti lulus  mau kerja dimana?” Tanya seorang  teman kuliah  15 tahun lalu. Saat itu saya menjawab, “Ingin  wiraswasta.” Dan Alhamdulillah, berkat ridho Allah SWT ucapan tersebut terwujud saat ini, meskipun bekerjasama dengan suami.

Keinginan yang terbesit saat itu seakan menjadi doa dan panduan saat melangkahkan kaki setelah lulus dari bangku kuliah. Perjalanan yang dilalui tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Banyak tantangan yang muncul, terutama dari diri sendiri.

Lulus kuliah, saya meneruskan usaha berjualan pakaian yang sebelumnya telah dirintis, meskipun hanya kecil-kecilan. Paling tidak saya punya uang saku dan bisa membayar pengorbanan atau candah dari hasil berjualan, sehingga tidak lagi dibayarkan oleh orangtua. Dan Alhamdulillah saya telah mengikuti candah wasyiat semenjak masih kuliah.

Sedikit cerita tentang pengorbanan di Jemaat. Saya telah dikenalkan oleh orangtua semenjak dini macam-macam pengorbanan entah itu Candah Aam, Perjanjian Tahrik Jadid, Waqfi Jadid. Sampai kepada Candah Wasiyat, dan candah-candah lainnya. 

Bagaimana menghitung candah Aam/Wasiyat dari penghasilan yang didapat perbulan sudah menjadi kebiasaan dari masa sekolah. Dari masa  kuliah, saya menghitung sendiri berapa besar candah yang harus dibayarkan dari besarnya uang saku yang diberikan orangtua ditambah hasil usaha kecil-kecilan baik itu berjualan ataupun dari honor mengajar privat anak SD.

Saat kuliah saya berada jauh dari orangtua. Pertama kali hal yang dilakukan orantua saat mengantar saya ke tempat kuliah adalah mengenalkan dimana lokasi masjid Jemaat, lalu mengenalkan dengan pak Mubaligh dan Pengurus setempat. Meskipun saya tidak tinggal di lingkungan Jemaat saat itu tapi sebisa mungkin menyempatkan untuk mengikuti shalat Jumat dan hadir dalam kegiatan-kegiatan sehingga saya tetap terhubung dengan Jemaat.

Awal tahun 2008 saya menikah dengan seorang Khadim, saat itu pekerjaannya adalah sales dari salah satu perusahaan cat. Dan saya masih berjualan pakaian dari rumah ke rumah keliling setiap minggu. Ketika saya berhalangan berjualan maka suami yang bertugas menggantikan tugas saya. Kebetulan jadwal saya keliling di akhir minggu sehingga suami libur kerja.

Lima tahun setelah menikah suami memutuskan untuk freelance, berjualan barang-barang kecil dari satu toko bangunan ke toko bangunan lainnya. Saat mengambil keputusan ini, tentulah bukan hal yang mudah bagi saya. Karena biasanya terjamin setiap bulan mendapatkan gaji, kemudian menjadi tidak pasti, karena omset penjualan tidaklah tetap.

Satu tahun berjalan, kami memutuskan mendirikan toko bahan bangunan sendiri. Jangan membayangkan saat itu kami mempunyai modal uang dan bangunan yang memadai untuk sebuah toko. Kami bulatkan tekad dengan iringan doa tentunya untuk mewujudkan impian ini.

Dengan ridha Allah Ta’ala kami menyisihkan uang untuk membeli etalase/rak kaca tempat memajangkan barang-barang kecil. Dan itu kami anggap sebagai modal awal kami. Banyak yang bertanya saat ini, “Dulu ketika mendirikan toko, pakai modal berapa?”

Kami jawab, “Tanpa modal (uang), etalase itu adalah modal pertama kami.” Kebanyakan orang tidak percaya akan jawaban kami, tapi tak masalah bagi kami, karena itulah yang kami rasakan.

Garasi kecil kami sulap menjadi toko untuk memajangkan barang-barang. Karena di awal mempunyai toko, suami masih menjalankan usaha kelilingnya. Maka saya yang bertugas menjaga toko. Pesan suami saat itu, “macam-macam barang yang ada gak usah dihapal, nanti juga tahu sendiri, atau tanyakan sama yang beli.”

Kami berjualan mulai dari barang-barang kecil yang sudah biasa dijual keliling oleh suami seperti engsel pintu, kunci gembok, cantel, paku, dan alat-alat listrik. Untuk bahan bangunan yang ukurannya besar seperti, asbes, papan gypsum, pipa pvc dan semen, kami menunggu permintaan dari konsumen itu pun jika konsumen mau menunggu. Tapi Alhamdulillah ada saja konsumen yang percaya dan mau menunggu. Sehingga kami terasa dimodali. Agar komsumen tidak kecewa, kami pun berusaha secepat mungkin memenuhi pesanan mereka.

Bagi saya dan suami merintis usaha ini sangat terasa perjalanannya. Ketika belum mempunyai gudang pernah suatu waktu ketika sedang bongkar semen, tempat yang digunakan ambruk karena tidak kuat menopang beban semen, sehingga hampir setengah DO (80 sak) semen jatuh dan hancur.

Belum lagi kendaraan yang kami gunakan tidak sesuai dengan medan pengiriman yang harus ditempuh. Karena medan yang berat setelah mengirim, mobil harus diservis dengan biaya yang tidak sedikit. Jika dipikir ulang  menjadi tidak masuk akal kami bisa bertahan dan bahkan berkembang hingga saat ini.

Tapi Allah punya banyak cara yang tidak kita sadari. Saya dan suami hanya berusaha dawam membayar candah-candah sesuai dengan ketentuan baik saat lapang maupun sulit. Menulis surat secara rutin kepada huzur,  mengikuti kegiatan-kegiatan Jemaat. Dan Alhamdulillah suami pun saat ini telah menjadi musi.

Mempunyai usaha sendiri di rumah, bukanlah hal yang mudah bila kita tak pandai mengatur waktu. Memisahkan saat bekerja, dan beribadahah. Godaan untuk selalu bekerja atau berleha-leha melepas lelah adalah yang terbesar.

Disini kita perlu ingat bahwa kita hanyalah berusaha, semua yang menggerakkan hanyalah Allah semata. Sehingga kita senatiasa harus mendekatkan diri terhadap Allah SWT. Rezeki yang datang adalah atas ridha-Nya. Meskipun berwiraswata ada pasang surutnya, tapi InsyaAllah Tuhan senantiasa mencukupkan rezeki kita, rezeki karyawan kita.

Dan perasaan  “cukup” yang muncul dari diri kita merupakan rezeki yang tak terhingga.

.

.

.

Penulis: Dewy Nur Afiyah

Editor: Muhammad Nurdin

Visits: 389

Dewy Nur Afiyah

2 thoughts on “Jalan Terjal Berwiraswasta, Begini Kiat Memuluskannya

  1. Masya Allah cerita bu dewy mengibgatkan sy kegigihan orang tua symetintis usaha dari nol muali dari jadi kuli ditoko orang hingga bisa punya toko sendiri
    Mubarak bu dewy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *