KHARISMA SANG KHALIFAH
Bertemu dengan sosok Khalifah, pastilah meninggalkan kesan dan kenangan tersendiri. Mungkin kenangan saya terkesan biasa saja. Tapi sebagaimana setiap orang memiliki kebahagiaannya sendiri-sendiri, pertemuan dengan beliau aba., tetaplah sebuah pertemuan berkesan yang nilainya begitu berharga bagi saya pribadi.
Tahun 2006, tiga tahun setelah terpilihnya Hz. Mirza Masroor Ahmad sebagai Khalifatul Masih V aba., beliau mengunjungi Singapura dan mengadakan jalsah di sana. Saat itu saya mendapat karunia dan kesempatan yang tak terkira berharganya, karena bisa bisa berjumpa dengan beliau yang tercinta.
Saya berangkat sendiri dari kota tempat saya kuliah, Bandung, menuju Jakarta. Di bandara, saya berkumpul dengan paman dan bibi saya. Orangtua saya yang tinggal di Kalimantan, memutuskan untuk tidak ikut.
Singkat cerita, setelah jalsah, tibalah hari yang bersejarah dalam hidup saya tersebut. Hari mulaqat. Saat itu mulaqat tak hanya sekedar berfoto. Kami masih diberikan kesempatan barang sebentar, untuk bisa berbincang dengan beliau.
Setelah mengantri beberapa saat, tiba giliran saya beserta paman dan bibi untuk masuk ke ruangan beliau. Beliau duduk di belakang meja, berhadapan dengan saya dan keluarga yang juga duduk di hadapan beliau.
Saya ingat beliau bertanya di mana saya berkuliah. Dengan tergagap saya menjawab, “In Bandung.” Kemudian beliau memberikan saya pena.
Saya ingat saya hanya bisa diam terpaku menatap wajah beliau yang begitu bersih dan cemerlang. Aura kebijaksanaan seorang ayah yang begitu penyayang, terpancar begitu gemilang.
Saya kehilangan kata-kata. Menjawab pertanyaan beliau pun saya nyaris tak bisa. Tapi Alhamdulillah walau terasa singkat sekali, saya masih bisa memohon doa dari beliau untuk kesuksesan belajar saya kala itu.
Kemudian beliau meminta kami berfoto sekeluarga dengan pose menyalami paman saya. Di sisi sebelah beliau yang lain, berjajar bibi saya, kemudian barulah saya.
Setelah berfoto menggunakan kamera yang diambil oleh salah satu pengawal beliau, saya menyodorkan hape saya. Saya meminta foto sekali lagi menggunakan hape. Saya ingin memiliki sendiri foto dengan beliau di hape saya.
Ternyata protokol yang ada tidak membolehkan mengambil foto dari kamera hape. Tapi Huzur seperti bisa membaca keinginan saya. Beliau minta saya berdiri di sebelahnya. Berganti kini bibi saya yang berdiri di sebelah saya. Kemudian kami sekeluarga berfoto sekali lagi.
Saya tak bisa menjelaskan bagaimana bahagianya hati saya. Segala perasaan membuncah dalam dada.
Setelah keluar dari ruangan Huzur, dan masuk kembali ke ruangan ibu-ibu, saya menangis. Saya menangis sehebat-hebatnya dengan suara yang saya berusaha untuk tahan.
Saya merasa begitu berbahagia, amat sangat berbahagia, merasakan karunia yang begitu tak terkira, bisa berjumpa dengan sosok suci yang begitu berkharisma. Singkat saja pertemuan dan perbincangan yang terjadi di antara kami, tapi kenangannya begitu kuat melekat dalam benak ini.
Ketika sampai di hotel, paman saya berseloroh, “Kamu ditanya Huzur kok malah tergagu begitu jawabnya.” Saya hanya bisa tersenyum. Seketika ada rasa menyesal juga kenapa tak bisa menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk bertanya atau bicara yang lain.
Tapi kemudian saya merenung, bertemu pertama kali dengan sosok yang suci dan begitu berkharisma, rasanya sulit untuk tidak terpaku pada kecermelangan sosoknya. Saking terpananya, benak pun kehilangan kata-kata yang telah berusaha disusun sebelumnya.
Sosok yang selama ini hanya bisa dipandangi dalam lembar foto dan layar televisi, kini hadir di depan mata. Terasa begitu nyata, tidak saja sosoknya, tetapi juga pancaran kesuciannya, kebijaksanaannya, bahkan keberkatan dengan hanya bertemu dengannya.
Beliau begitu berkharisma, benar-benar merupakan penggambaran yang begitu pantas, sebagai seorang Khalifah yang ditunjuk oleh-Nya.
Visits: 65