Melatih Regulasi Emosi Agar Tak Merusak Hati

ada suatu hari yang masih diselimuti suasana Idul Fitri, seorang perempuan muda bertemu dengan teman SD-nya yang telah lama tak berjumpa. Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman dan membuka pembicaraan dengan menanyakan kabar.

“Eh, kita tuh terakhir ketemu kayaknya 3 tahun yang lalu, ya? Istri ikut? Oh iya, udah punya anak berapa kamu?” ia melontarkan pertanyaan beruntun pada temannya itu.

“Iya, udah lama banget. Istri ikut, tapi dia di rumah ibunya. Aku, anak baru satu sih. Pengennya sebelas, biar kayak Gen Halilintar,” jawab temannya dibarengi tawa.

“Oh, iya, kamu sendiri gimana? Udah ada anak berapa?” sambung sang teman dengan pertanyaan lain yang senada dengan pertanyaan si perempuan di awal.

Tanpa diduga, wajah perempuan muda itu berubah memerah. Dadanya kembang kempis seakan pertanyaan temannya itu membuat jalur napasnya mengkerut.

“Aku belum hamil dari awal nikah!” ia menghentakan kaki dan berjalan cepat ke dalam rumah, meninggalkan temannya begitu saja.

Sang teman pun melangkah menjauhi rumah si perempuan dengan getir. Bibirnya membentuk sinyum simpul, namun sorot matanya jelas tak bisa membohongi siapa pun bahwa ia sedang sibuk menerka; di mana letak salah ucapannya itu.

Cerita di atas mengajarkan banyak hal, salah satunya adalah tentang berupaya untuk bijak dalam mengelola emosi atas ucapan atau tindakan seseorang. Jika cerita tadi ditelaah lebih dalam, kita tidak akan menemukan kesalahan pada pertanyaan temannya itu. Karena, sama halnya ketika kita ditanya “Apa kabar?”, maka jawaban yang akan kembali kita lontarkan pada si penanya pun adalah pertanyaan serupa.

Memang, kita dituntun untuk senantiasa menyaring setiap kata yang akan diucapkan agar tidak melukai orang lain. Namun, terkadang lupa, bahwa justru kitalah yang terlalu impulsif dan cenderung sensitif dalam meresponnya.

Kita memang harus senantiasa menjaga perasaan orang lain, karena tidak pernah tahu jalan hidup yang telah dilaluinya seperti apa. Namun terkadang lupa, bahwa ternyata kitalah yang terlalu menekan seseorang untuk memahami alur hidup yang dijalani. Padahal mereka pun sama, memiliki liku dan luka yang tak pernah dirasakan orang lain.

Kita tidak bisa terus menerus menggaungkan tentang luka yang diderita lalu orang lain wajib menjaga kata. Karena, nyatanya yang bertanggung jawab atas semua itu adalah diri kita sendiri.

Seorang pejuang hak-hak sipil dunia, Malcolm X, pernah menyuarakan, “Anda tidak dapat memisahkan perdamaian dari kebebasan karena tidak ada seorang pun yang dapat berdamai kecuali dia memiliki kebebasannya.”

Fragmen di atas sangat relevan dengan cerita tentang perempuan dan temannya tadi. Karena berdamai dan kebebasan tidak hanya condong pada dua orang atau lebih saja. Kita pun harus mampu berdamai dengan kondisi, perasaan, dan jalan kehidupan kita sendiri.

Ketika kita tidak membebaskan hati dari belenggu yang dianggap luka, bagaimana mungkin akan merasakan kedamaian? Karena sejatinya, keduanya tak bisa terpisahkan. Saat tidak mencoba untuk berdamai dan membebaskan yang seharusnya dilepaskan, maka kita akan terus tersiksa.

Persepsi ketika lebih dulu bertanya, lalu lawan bicara melemparkan kalimat yang sama seolah dia mengorek luka. Akhirnya, kita memvonis seseorang tidak baik, padahal diri sendiri yang membiarkan batinnya tercekik.

Semoga cerita di atas menyadarkan atas ketidaksempurnaan dalam hidup, menyadari bahwa tidak hanya kita yang do’a serta harapannya belum jua terwujud. Sehingga, ketika mendapatkan suatu pertanyaan atas kondisi yang (menurut kita) menyakitkan, maka kita mampu mengubah perasaan sensitif menjadi respon positif. Terlebih apabila sang penanya betul-betul tidak mengetahui kisah hidup kita.

Semoga Allah menuntun kita menjadi insan yang ihsan serta mampu menjaga setiap perkataan. Allah juga tuntun kita untuk senantiasa bertasawuf, sehingga kita mampu menanggapi pertanyaan/perkataan seseorang secara ma’ruf.

Visits: 96

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *