Memantik Sikap Toleransi di Tengah Kemajemukan

Dalam Islam, berlaku baik lagi adil terhadap sesama merupakan sebuah tuntutan. Sikap tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi yang sama-sama beragama Islam namun kepada siapapun dan kepada yang beragama apapun. Seorang Muslim haruslah menampakkan sifat-Nya (adil) yang indah itu.

Islam sendiri menegaskan bahwa dalam kehidupan ada dua hubungan yang wajib manusia penuhi hak-haknya, yakni; hablumminallah (hubungan dengan Allah) dan hablumimnannas (hubungan dengan sesama manusia). Bahkan, beberapa ulama mempercayai bahwa keduanya menjadi tolok ukur akhlak dan kebaikan seseorang.

Sebagai warga Indonesia dengan lingkungan beragam agama, etika berbicara serta sikap penuh kasih terhadap yang berbeda keyakinan terus diasah sedari kecil. Tidak ada alasan untuk berlaku semena-mena hanya karena perbedaan agama yang dianut, jika kita mempelajari inti dari ajaran Islam ialah menyatukan umat manusia.

Terkadang tanpa disadari, kita merasa angkuh karena menjadi bagian dari agama yang menjanjikan surga bagi pemeluknya. Hingga kita lupa bahwa janji Allah itu hanya untuk hamba-Nya yang menyerap dan menampilkan isi dari Al-Qur’an. Dan ketika kita berbuat zalim pada mereka yang berbeda keyakinan, itu artinya kita telah menjauhi ajaran-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an.

Karena, Allah berfirman mengenai toleransi ini dalam Surah Al-An’am 6: 109, “Dan janganlah kamu memaki apa yang mereka seru selain Allah, karena nanti mereka pun akan memaki Allah disebabkan rasa permusuhan tanpa pengetahuan…”

Ayat tersebut memberikan pelajaran yang luar biasa tentang bagaimana seyogyanya umat Islam berlaku adil terhadap non-Islam. Jika kita (sebagai Muslim) berpendapat bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam, maka yang harus kita tampilkan adalah keindahannya, agar mereka yang kita anggap salah dengan sendirinya mendekat untuk melihat keindahan itu lebih jelas.

Selaras dengan ini, seorang ulama bernama Imam Malik yang juga dijuluki sebagai ‘Perekat Umat’ menggaungkan pentingnya toleransi, “Kita harus berlaku adil terhadap mereka (non-Muslim) dalam berbagai aspek kehidupan dan tidak menyakiti mereka secara zahir maupun batin. Kita harus menegakkan keadilan dan menghindari sikap fanatisme dan permusuhan terhadap mereka.”

Pada zaman Rasulullah saw. pun terdapat berbagai macam agama dan sesembahan, namun beliau saw. tidak pernah menunjukan sikap arogansi atas perbedaan tersebut. Sebaliknya, yang beliau saw. tampakkan ialah sikap adil dan kasih sayang.

Hadits-hadits sahih bertebaran menguraikan bagaimana santunnya beliau saw. terhadap pemeluk agama lain. Beliau saw. tetap membiarkan pemuka agama lain memeluk agamanya dengan bebas tanpa pernah memaksa mereka untuk berpindah keyakinan sesuai dengan yang beliau yakini.

Namun patut diingat, toleransi bukan berarti kita lantas berdiam diri tanpa menyampaikan kebenaran sama sekali. Rasulullah saw. pun tetap menjalankan dakwahnya kepada setiap kaum kafir, namun dakwah Rasulullah saw. selalu disertai kelembutan dan tanpa paksaan.

Beliau saw. tidak pernah berdakwah secara gamblang dengan menyatakan bahwa selama masih menyembah berhala maka mereka tidak akan pernah bisa memasuki surga. Karena sejatinya dakwah merupakan sarana untuk mengajak seseorang pada jalan yang benar dengan cara yang baik dan bijaksana.

Berkaca dari cara dakwah Rasulullah saw., bukan hanya tidak pernah memaksakan kepercayaan kepada orang lain, bahkan beliau pun tidak pernah menyampaikan kebenaran dengan cara menyakiti atau bahkan menyinggung perasaan kaum kafir. Sehingga, non-Muslim pada zaman Rasulullah saw. tidak ada yang tersakiti karena lisan beliau saw.

Dalam kemajemukan ini, semoga kita bisa mengambil ibrah dan diberi kemudahan untuk meneladani sikap Rasulullah saw. mengenai toleransi. Sehingga tidak lagi dikendalikan rasa angkuh telah menjadi Muslim dan mencemooh umat agama lain.

Visits: 49

Nurul Hasanah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *