Cara Ampuh Memanggil ke Jalan Tuhan
Alkisah, Mush’ab bin Umair seorang pemuda yang tampan dan kaya. Pakaiannya ada yang seharga 200 dirham setara 100 ekor kambing saat itu. Pemuda itu memeluk Islam setelah mengikuti kajian di Darul Arqam. Ia dikurung dalam rumah setelah keluarganya mengetahui. Namun ia berhasil meloloskan diri dan akhirnya nekat bergabung dengan kaum muhajirin untuk hijrah ke Madinah.
Kehidupan yang serba kekurangan setelah masuk Islam sangat kontras dengan kehidupan mewah sebelumnya. Namun, pemuda itu tetap tabah dalam keimanannya. Hal itulah yang menyebabkan Rasulullah saw. meneteskan air mata melihat nasib pemuda bangsawan itu. Pakaiannya pun kini penuh tambalan kulit binatang.
Sebagai seorang mubaligh, Mush’ab dikenal sebagai muqri (ahli Al-Qur’an). Ia memiliki keistimewaan dalam berdakwah. Tutur katanya ramah dan lemah lembut. Rasulullah saw. menugaskan Mush’ab bertabligh ke Yatsrib, kota yang dihuni orang-orang musyrik, Yahudi dan Nasrani. Sesampainya di Madinah, Mush’ab bertemu dengan Usaid.
Usaid bin Khudjair, seorang tokoh Madinah, dengan nada tinggi mengancam Mush’ab bin Umair, seorang da’i dari Makkah dengan kata-kata kasar. Usaid menuduh, pemuda yang datang dari Makkah itu hanya akan membuat onar di Madinah, membujuk orang-orang lemah dan menggoda wanita. “Jika masih ingin hidup, segera tinggalkan kota Madinah ini!” ancam Usaid.
Menghadapi kekasaran Usaid, Mush’ab bin Umair hanya tersenyum. “Baiklah, Saudara, tolong duduklah sejenak! Terimalah ucapan saya jika memang baik dan tinggalkan saya jika ternyata tidak berkenan di hati Anda,” kata Mush’ab dengan lemah lembut.
Mush’ab bin Umair kemudian menceritakan maksud kedatangannya untuk membawa risalah Rasulullah Muhammad saw. tentang ajaran Islam yang mencintai perdamaian. Tutur katanya yang bijak membuat Usaid jadi terpesona yang kemudian membenarkan ajakan Mush’ab.
Karena akhlak yang dimilikinya, Mush’ab berhasil dengan sukses. Di Madinah, Mush’ab berhasil mendamaikan suku Aus dan Khazraj yang sudah puluhan tahun bersengketa. Ialah orang yang pertama menyelenggarakan dan memimpin salat Jum’at di Madinah. [1]
Kisah di atas memberikan gambaran yang begitu jelas bagaimana seharusnya seorang penyeru kebenaran memanggil manusia menuju jalan Allah Ta’ala. Akhlak yang baik akan tercermin dari sikap dan tata caranya berkomunikasi. Sikap rendah hati dan tutur bicara yang sopan akan memancar dengan sendirinya bila kita hendak menyampaikan kebenaran yang diperintahkan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala dalm Al-Qur’an telah menjelaskan, “Panggillah kepada jalan Tuhan engkau dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik, dan bertukar-pikiranlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan Engkau lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya; dan Dia Maha Mengetahui pula siapa yang telah mendapat petunjuk.” [2]
Jelaslah bahwa kebenaran harus disampaikan dengan cara yang benar, penuh kebijaksanaan serta tidak ada pemaksaan. Kebenaran dengan sendirinya akan menyentuh hati yang terdalam, tempatnya memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Ketika hati disentuh dengan hati, kemurnian hati akan menerima suara kebenran yang berasal dari Allah Ta’ala. Tak ada yang bisa menghalangi hati yang murni dalam menerima kebenaran, meskipun ancaman nyawa sekalipun.
Hal ini tergambar dari keimanan yang terpancar dari para penyihir yang menjadi lawan Nabi Musa as. Bagaimana sikap para penyihir setelah mendapatkan mendapatkan kebenaran dari Nabi Musa as. seketika tersungkur bersujud kepada Tuhannya Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. Mereka tidak peduli lagi dengan ancaman kematian mengerikan di tiang salib yang diancamkan fir’aun. [3]
Semoga kita bisa menjadi para penyeru yang diinginkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga kita bisa mngemban amanat risalah ini hingga suara Allah Ta’ala benar-benar bisa berwujud di dunia ini.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as., “Kenyataan yang jelas bahwa orang-orang yang dapat menyampaikan kebenaran sangat sedikit, sedemikian sedikitnya sehingga bisa dibilang tidak ada. Jika tujuan dakwah sudah campur aduk dengan kepentingan dunia maka perintah suci dan kebenaran ditutupi kegelapan tujuan duniawi, maka kenikmatan yang dapat dihasilkan dari bau harum ayat-ayat Tuhan tertutup oleh bau kebusukan keduniaan. Akhirnya orang-orang akan mengatakan da’i itu mengatakan semua hal hanya untuk keuntungan duniawi pribadinya. Berdakwah adalah suatu hal yang besar. Da’i memperoleh kesempatan untuk memperbaiki diri, karena penting untuk memperlihatkan kesesuaian antara tindakan dan apa yang dikatakan.” [4]
Referensi:
[1] Kumpulan Kisah Teladan dan Humor Sufi, MB. Rahimsyah AR., hal 144
[2] QS. An-Nahl 16: 126
[3] QS. Tha Ha 20: 71-72
[4] Malfuzaat, Vol II. hal. 104
Visits: 32