Membunuh Dengan Kalimat Tauhid

Saya kebetulan lahir di Jakarta. Tumbuh dan berkembang di ibukota.

Setiap kita pernah nakal. Jangan tanya, nakalnya anak ibukota. Sebab, menjadi nakal adalah cara untuk mengekspresikan diri .

Tawuran? Saya pernah terjebak pada euforia semacam ini. Untuk apa? Ya untuk dianggap paling eksis. Dulu belum ada Facebook, apalagi Instagram. Kalau mau menjadi seleb di sekolah, menjadi nakal adalah jalan pintasnya.

Kenakalan saya juga teman-teman seangkatan, baik yang masih hidup hingga kini ataupun yang telah gugur di jalan-jalan raya ibukota, sebatas kenakalan remaja, tanpa embel-embel semacam “jihad fi sabilillah”.

Tapi apa yang kita lihat di Bandung kemarin telah melampaui nakalnya seorang remaja. Ada yang benar-benar berbeda disana.

Apa?

Kalimat Tauhid “Laa ilaha IllaLlaah” menggema.

Remaja-remaja yang sudah terlanjur nakal ini telah mendapat sebuah spirit baru dalam kenakalannya. Ya, membunuh orang karena semangat “bela agama” atau “bela kalimat tauhid”.

Kita tahu, tawuran sudah ada, bahkan sebelum kali sentiong item, bahkan sebelum sungai citarum bau. Tapi, merupakan sesuatu yang baru, saat tawuran, atau saat mengeroyok orang sampai mati sambil mengumandangkan kalimat tauhid.

Kumandang kalimat tauhid bisa dianggap sebagai sebuah legalitas halal bahkan untuk menghabisi nyawa seseorang.

Coba lihat, puluhan orang mengitari seorang manusia yang sudah tak berdaya. Darah bercucuran. Membasahi sekujur kepalanya. Mungkin saat itu kepalanya telah pecah. Mereka riang gembira. Bergantian memukul, menginjak, bahkan menghantam dengan benda tumpul.

Di tengah-tengah aksi bar-bar itu, orang-orang mulai mengumandangkan kalimat tauhid.

Kenapa harus kalimat tauhid?

Kesimpulan sementara yang bisa diambil, radikalisme agama telah menyentuh remaja-remaja nakal yang haus kekerasan ini.

Selangkah lagi mereka hijrah, mereka akan menjadi orang-orang paling terdepan untuk tegaknya khilafah ala ISIS.

Mengapa?

Karena mereka sudah mempunya bakat “radikal”. Mereka biasa dengan kekerasan. Juga, sebagai Jakmania-Bobotoh, mereka didesain fanatik garis keras.

Kalau kita tarik kebelakang lebih jauh. Tepatnya pada Februari 2011. Tahun memilukan bagi warga Ahmadiyah di negeri ini. Tiga orang anggotanya dibunuh secara sadis oleh beribu-ribu orang. Belum lagi yang berhasil selamat dengan luka disekujur tubuh, juga di kedalaman batinnya.

Pada akhirnya, remaja-remaja ini yang nanti akan berada di garis terdepan untuk membunuh siapa pun yang dianggap  mereka salah dan rendah.

Kita tidak tahu, sekarang mereka membunuh karena sikap fanatik garis kerasnya terhadap suporter (musuh) bebuyutannya. Bisa jadi, nanti mereka membunuh karena fanatik garis keras untuk tegaknya negara islam atau khilafah islam. Semua itu sudah sangat dekat untuk diwujudkan.

Kita tidak boleh tinggal diam. Ini bukan lagi soal remaja yang nakal, yang suka cari perhatian. Ini bukan lagi soal remaja yang galau, habiskan waktu untuk nyerang orang.

Ini adalah soal radikalisme agama yang mulai diresapi oleh remaja-remaja tanggung ini. Dan mulai mengubah kromosom nakal mereka menjadi radikal.

Makin semaraknya ceramah-ceramah agama soal jihad angkat senjata, khilafah, juga negara islam, tak bisa dipungkiri telah memberi nuansa baru tentang makna “perjuangan”. Tentu, perjuangan yang telah salah diartikan.

Apalagi, tema-tema itu telah masuk dalam lingkaran setan Pilpres 2019. Nuansa jihad tak lama lagi akan kita rasakan. Sehingga, Pilpres yang sangat duniawi telah menjadi medan perang agama untuk tegaknya kalimat tauhid.

Visits: 27

Writer | Website

Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *