Menjauhi Keburukan
“Hukum yang baik berawal dari moral yang buruk.”
-Ambrosius Macrobius
Suatu kebaikan biasanya dimulai dari akhir suatu keburukan. Menjauhi keburukan dapat membawa seseorang lebih dekat kepada kebaikan. Jadi, jangan pernah berhenti untuk melawan keburukan-keburukan yang muncul di dalam diri kita.
Menjauhi keburukan sebagai bentuk awal dari upaya seseorang melangkahkan kakinya untuk mendekati suatu kebaikan. Saya pastikan bahwa seseorang yang tidak mengenal jenis keburukan apa pun, maka cepat atau lambat dia pasti akan terjerumus dan tanpa sadar akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam perangkap keburukan yang seharusnya dia hindari.
Di dalam tubuh manusia normal terdapat otak kecil yang disebut dengan lymbic. Lymbic is the animal brain, otak hewaniyah ini yang mempengaruhi perilaku hidup manusia (Al-Qur’an menyebutnya dengan Nafsu Ammarah, lihat QS. Yusuf. 12: 54).
Otak kecil inilah yang menggerakkan segala macam tindak tanduk perilaku keseharian hidup manusia-elenvital (energi hidup). Mulai dia bangun dari tidur malam, duduk, berdiri, pergi ke kamar mandi, membersihkan badan, makan – minum, berbicara, berjalan,berlari, bekerja, belajar dan bahkan sampai ke soal penyaluran libido sexual, kemudian dia kembali tertidur pulas.
Semuanya itu dapat disebut perilaku baik jika dikerjakan berdasarkan pertimbangan akal sehat, sesuai kondisi waktu dan tempat. Juga yang paling penting adalah sesuai petunjuk Kitab Suci Al-Qur’an.
Jika tindak tanduk amalan yang di atas dikerjakan tanpa pertimbangan akal, waktu dan tempat, maka itu hanya tindakan yang bersifat alami saja. Seperti perilaku umumnya yang terdapat pada anak-anak kecil.
Menghadapi tantangan moral, sebelum seseorang memiliki perilaku yang baik nan terpuji, akan ada tahapan keburukan yang harus dia lewati. Ia harus lawan dan hadapi semua itu. Yang sekaligus menjadi ujian dan tantangan bagi kebaikan hidupnya.
Misalnya, hasrat menipu, mencuri, korupsi, keinginan untuk berzina, berkhianat, tindakan merusak properti milik orang lain, perbuatan melanggar hukum, mengabaikan hak orang lain, bersikap kasar, memaki-maki, menghardik dan membentak, marah-marah kepada bawahannya atau kepada siapa pun yang dia benci. Semua itu dapat disebut sebagai jenis perilaku dan hasrat moral buruk yang harus dijauhi.
Perilaku buruk ini bisa terjadi pada semua orang normal, bukan hanya akibat dari potensi buruk yang sudah ada, tapi juga apa yang sudah tertanam pada setiap orang dan juga ditambah lagi akibat dari pancingan atau rangsangan yang muncul dari lingkunganya karena situasi dan tempat di mana ia tinggal. Semua itu turut memengaruhinya.
Semua situasi buruk di atas dapat terjadi karena ada dorongan dari dalam diri masing-masing orang, ada dua cara mengatasinya.
Pertama, setiap orang harus merasa bertanggungjawab dan takut kepada Allah swt. Sehingga ia akan melawan dorongan–dorongan buruk tersebut dengan sekuat tenaga.
Kedua, setiap orang dapat berterimakasih dan mengambil manfaat serta hikmah dari dorongan-dorongan buruk tersebut. Yaitu, dengan kehadiran dorongan buruk tersebut dia harus bekerja keras untuk melawannya dan meninggalkannya.
Juga, ia akan berusaha sekuat kemampuannya untuk sesegera mungkin mereformasi dan mengisi kehidupannya dengan nilai-nilai akhlak terpuji seperti; hidup normal dengan membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, kemaafan, kesabaran, keberanian, amanah, kejujuran, keikhlasan, kasih sayang kepada sesama, kedermawanan, lemah lembut di dalam tutur kata yang penuh dengan keakraban.
Seseorang dengan daya juangnya yang kuat, harus mampu merubah potensi keburukan tadi menjadi potensi kebaikan dengan merenungkan sifat-sifat Allah swt yang terdapat pada surah al-Fatihah yang selalu dibaca pada setiap rakaat di dalam shalat.
Sifat-sifat Allah swt yang indah ini boleh ditiru oleh manusia. Seperti; mendidik, memelihara, mengasuh, menciptakan, berbuat ihsan, adil, dan memberi maaf.
Amalan berbuat ihsan itulah yang kemudian disebut sebagai ahklak terpuji.
Ada satu adagium sufistik yang terkenal, “Takhallaquu bi akhlaaqillaahi”, Berperilaku baik dengan meniru akhlak Allah”.
Ada satu hal yang pernah saya dengar beberapa puluh tahun yang lalu, yang sekarang saya coba kutip lagi dari buku filsafat H. Agus Salim dengan bunyi, “ Yang berdaya upaya untuk menyerupai sifat-sifat Allah, dengan segenap kemampuan manusia yang diperolehnya untuk mencapai kebahagiaan yang kekal abadi, sebagaimana yang diperintahkan dia yang benar keislamannya dengan sabdanya; ‘takhallaquu bi akhlaaqillahi,’ yaitu; tirulah yang serupa dengan itu dalam menangkap intisari pengetahuan yang terlepas dari segala unsur materialistik.”
Jadi, potensi buruk itu bermanfaat untuk kemunculan potensi baik dan sebagai lawan tandingannya bagi suatu tahapan ke jenjang tindakan kebaikan berikutnya.
Terakhir, sebagai penutup tulisan ini:
Waspadalah terhadap hari ketika setiap orang akan mendapati di hadapannya segala kebaikan yang telah dikerjakan dan segala kejahatan yang telah dikerjakannya. Dia menginginkan, alangkah baiknya jika diantara dia dan kejahatan itu ada jarak yang jauh. Dan, Allah memperingatkan kamu terhadap hukuman-Nya. Dan, Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran. 3:30)
Visits: 124
Life for Character Building