Merdeka dari Rasa Rendah Diri Sebagai Awal Revolusi Diri

Hadhrat Rasulullah saw. pulang dengan tergesa. Takut dan gelisah menderanya. Diketuknya pintu rumah dengan cepat, dan segera beliau saw. berjalan masuk ke kamar begitu sang istri, Hadhrat Khadijah r.a. membuka pintu.

Hadhrat Khadijah r.a. bingung. Wajah kekasihnya muram. Padahal beliau saw. baru pulang bertafakur di Gua Hira selama 40 hari. Beliau pun bertanya kepada sang suami, apa yang membuat beliau saw. berwajah muram.

Hadhrat Rasulullah saw. pun mengisahkan seluruh pengalaman beliau saw. ketika menerima wahyu pertama dari Allah Ta’ala melalui perantaraan Malaikat Jibril. Beliau begitu takut, begitu gelisah, merasa begitu tak percaya diri.

Beliau saw. berkata, “Seorang lemah seperti aku ini, betapa aku dapat melaksanakan tugas yang hendak diletakkan Tuhan di atas pundakku.” Hadhrat Khadijah r.a. pun menjawab:

“Demi Allah! Dia tidak menurunkan firman-Nya supaya engkau gagal dan terbukti tidak layak, kemudian meninggalkan engkau. Betapa mungkin Tuhan berbuat demikian, sedang engkau baik dan ramah terhadap sanak-saudara, menolong orang miskin dan terlantar, meringankan beban mereka. Engkau menghidupkan kembali nilai-nilai baik yang telah lenyap dari negeri kita. Engkau perlakukan tamu-tamu dengan hormat dan membantu orang-orang yang berada dalam kesusahan. Dapatkah engkau dimasukkan oleh Tuhan ke dalam suatu cobaan?”[Bukhari]

Kemudian, Hadhrat Khadijah r.a. membawa Hadhrat Rasulullah saw. menemui keponakannya, Waraqa bin Naufal, seorang Kristen. Setelah mendengar cerita Hadhrat Rasulullah saw., Waraqa berkata, “Malaikat yang turun kepada Musa, aku yakin, telah turun pula kepada engkau.”[2]

Ketika kabar itu sampai kepada Zaid, budak yang telah dimerdekakan (pada saat itu berusia tiga puluh tahun) dan kepada adik sepupu beliau, Ali, yang berusia sekitar sebelas tahun, maka keduanya segera menyatakan keimanan mereka kepada beliau saw.[3]

Kemudian Hadhrat Abu Bakar r.a. menyusul berbai’at kepada Hadhrat Rasulullah saw. Inilah para pengikut awal Hadhrat Rasulullah saw. Istrinya, Hadhrat Khadijah r.a; Zaid, budak beliau yang telah dimerdekakan; Hadhrat Ali bin Abi Thalib r.a., keponakan yang masih berusia 11 tahun kala itu; dan sahabat beliau yang tercinta, Hadhrat Abu Bakar r.a.

Ukuran kesuksesan dunia tak pernah seiring sejalan dengan ukuran kesuksesan akhirat. Kesuksesan yang lebih diakui di dunia selalu melibatkan harta dan tahta, sementara kesuksesan yang diakui di akhirat hanya melibatkan iman dan amal.

Karenanya, bahkan seorang nabi sekalipun, yang dianugerahi ketinggian iman dan amal yang menyebabkannya memperoleh derajat kenabian, selalu dipandang rendah secara duniawi karena jarang sekali melibatkan harta dan tahta.

Namun, dari kisah-kisah para nabi, khususnya Hadhrat Rasulullah saw. kita bisa melihat bahwa Allah Ta’ala tak pernah memandang harta dan tahta sebagai kesuksesan dalam pandangan-Nya. Orang-orang yang Dia pilih sebagai utusan-Nya dan para sahabatnya adalah orang-orang yang paling unggul dalam iman dan amal di jamannya.

Hadhrat Rasulullah saw. seorang yatim piatu yang tak pernah mengenyam pendidikan, kini selamanya akan dikenang sebagai sang manusia sempurna, sang nabi paling mulia, sang kekasih Allah Ta’ala. Zaid, seorang budak, kini selamanya akan dikenang sebagai sahabat Hadhrat Rasulullah saw. yang keimanannya luar biasa dan kesetiaannya kepada Hadhrat Rasulullah saw. tidak diragukan.

Dan, ketinggian kualitas iman dan amal itulah yang hendak diciptakan kembali dengan diutusnya Hadhrat Al-Masih Al-Mau’ud Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.

Hadhrat Khalifatul Masih V Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. menyatakan, “Pendakwaan kita adalah kita akan menciptakan revolusi agama dan rohani di dunia maka revolusi agama dan rohani di dunia ini dapat tercipta oleh orang-orang yang merdeka dari segala macam perasaan rendah diri, dan mereka inilah yang pertama menciptakan revolusi agama dan rohani bagi dirinya sendiri.”

Rendah diri adalah salah satu sifat yang bisa menghambat perkembangan diri, baik dalam segi rohani maupun jasmani. Merasa diri tak pantas untuk menjadi baik, setelah begitu banyak dosa dilakukan, bisa menghambat seseorang untuk bertaubat. Merasa diri tak pantas mengemban amanat, setelah begitu banyak kelemahan ditampakkan, juga menghambat orang lain untuk berkembang menjadi pribadi yang mampu menampilkan sikap bertanggung jawab.

Revolusi diri, baik dalam segi rohani maupun jasmani, hanya bisa terjadi ketika manusia bersedia untuk berevolusi menjadi lebih baik. Dan untuk mau menanamkan tekad merevolusi diri, manusia harus merdeka dari perasaan rendah diri. Manusia harus bebas dari menganggap diri tak pantas menjadi orang yang lebih baik. InsyaAllah, pada saat itulah, revolusi diri yang diridai Allah Ta’ala akan hadir dalam diri kita.

Referensi:
[1] Bukhari
[2] Bukhari
[3] Pengantar Mempelajari Al-Qur’an oleh Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., hlm. 201

Visits: 62

Lisa Aviatun Nahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *