Merdeka ialah Tak Gugur Walau Tergusur

Sore itu, perempuan muda bernama Hasna yang masih mengenakan seragam SMA duduk di kursi bis. Ia tak henti menatap alroji di tangan kirinya, kerutan di dahi menampakan kegelisahan. Sesekali melempar pandangan ke luar jendela, dilihatnya senja mulai menua, ‘Ini pasti telat.’

Setiap malam Minggu, ia mengajar anak-anak Athfal dan Nashirat di salah satu rumah anggota. Ia meyakini bahwa meski masjidnya telah luluh lantah, bibit-bibit jemaat-Nya tak boleh hilang arah.

Rasa syukur terpancar karena perjalanan tidak seperti biasanya jalanan Sabtu malam itu begitu sepi. Meski terburu-buru langkah kakinya penuh kehati-hatian menuruni tangga bis. Setengah berlari menuju tempat anak-anak belajar.

“Assalamu’alaikum… Maaf, ya, Teteh masih pakai baju sekolah. Tadi ada pelajaran tambahan,” ucap Hasna kepada mereka yang sedari tadi menunggunya.

“Wa’alaikumsalam… Gak apa-apa, Teh. Kami juga belum lama. Oh iya, Teh. Nanti menyambut 17 Agustus, ada perlombaan juga, kan, kayak cabang-cabang lain?” tanya salah satu anak dengan penuh semangat.

Hasna terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Bagaimana bisa merayakan kemerdekaan sementara untuk mengaji saja harus sembunyi-bunyi? Bahkan, ketika mereka melafalkan makhrajul huruf pun ia tak bisa mendengar dengan jelas takut menimbulkan kecurigaan.

Pikirannya terus melayang mencari solusi untuk hadiahnya. Dari mana bisa mendapatkan dana untuk hadiah? Ia saja masih bersekolah.

“Teh, sekarang kita belajar apa?”, pertanyaan seorang Athfal membuyarkan lamunan.

“Eh, iya, maaf… Sekarang kita belajar tajwid aja dulu ya kayak biasa. Nanti, Teteh mau cerita tentang Khalifatul Masih ke-2. Hayooo, masih pada ingat nggak siapa nama Khalifah ke-2?”

“Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.!” serempak kompak mereka menjawab tanpa jeda.

Sejam berlalu, pembelajaran selesai suara azan Isya pun terdengar, bergantian mengambil air wudu. Hasna memandangi wajah-wajah penuh kebahagiaan itu. ‘Ya Allah, angkat kepedihan mereka,’ ucapnya dalam hati sembari menundukan kepala.

Hasna selalu menunjuk Athfal yang dinilai mampu mengimami secara bergiliran karena suami uwa telah tiada. Mereka rindu salat berjamaah namun, untuk menghadirkan keseluruhan badan (Lajnah, Anshar, Khuddam) tidaklah mungkin.

Selepas salat, tidak seperti anak-anak lain yang leluasa memakai mukena lalu berlari pulang. Mereka tidak bisa pulang secara bersamaan apalagi sambil bercanda. Mereka harus keluar satu persatu, melipat mukenanya setipis mungkin lalu menyembunyikannya di balik baju.

Hasna selalu pulang paling akhir. Batinnya selalu sesak dijejali ketakutan waktu menunggu giliran keluar. Kaki dan tangannya selalu dingin. Meski sebenarnya rumah uwa dikelilingi oleh rumah anggota Ahmadi dan ada pintu belakang yang memungkinkan orang-orang tidak melihat lalu lalang anak-anak, tetap saja ia tak pernah merasa tentram.

Tibalah gilirannya pulang. Ia memilih jalan gang sempit. Pikirnya, meskipun waktu Isya sudah lama berakhir, ia takut bertemu orang-orang yang masih berkumpul di warung jalan gang besar.

Tanpa diduga terlihat kerumunan orang-orang yang sedang melangsungkan acara. Hasna terus melanjutkan langkahnya, berjalan di bawah gerimis yang sedari tadi tak jua reda. Tinggal beberapa langkah lagi melewati kerumunan terdengar teriakan.

“Cegat, cegat!” teriak pria paruh baya penuh kekuatan.

Kaki Hasna gemetar, ia ingin berbalik namun entah apa yang mendorongnya untuk terus berjalan.

“Kafir! Cuah!” seorang pria lain meludah ke arahnya.

Dahaknya menempel pada ujung sepatu. Ia merasa telah berlari kencang namun nyatanya pelan. Kakinya semakin berat untuk diayunkan.

Terdengar samar mereka mengucapkan, “Ahmadi laknatullah!”

Setibanya di rumah, sambutan hangat nenek menyapanya. Ia menceritakan kejadian tadi dengan bibir bergetar.

Pupil mata nenek membesar, nampak sekali ia pun ketakutan. Namun tak lama kemudian ia menarik bibirnya selebar mungkin, meredam ketakutannya dengan senyuman.

“Kamu tahu? Rasulullah pernah bersabda: ‘Seorang muslim yang berperang di jalan Allah meskipun seukuran waktu perasan susu unta, maka telah wajib baginya masuk surga. Dan barangsiapa terluka di jalan Allah, atau terkena sebuah lemparan musuh maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan terluka, warnanya warna Za’faran (nama tumbuhan yang berwarna kuning keemasan) dan baunya bau kesturi.’”[*] nenek menghela napas panjang.

“Yang kamu lakukan ini jihad. Kamu tidak berperang dengan pedang tapi hatimu terus memerangi dan melawan ketakutan.” lanjut nenek.

“Kita hidup di tanah tandus nan gersang. Kita punya bibit, namun tak punya lahan untuk menanamnya. Tetapi kamu tidak tinggal diam. Kamu mencoba menanam dalam pot yang diletakkan di tempat tersembunyi, menyiraminya meski satu minggu sekali.” nenek memujinya penuh haru.

“Yakinlah, Cu! Suatu saat kamu akan melihat bibit itu menjulang,” sambungnya.

Hasna masih diselimuti ketakutan kalimat dari nenek tak mampu mengubah pilihannya. Ia ingin berhenti belajar bersama anak-anak, ia takut keras kepalanya itu berimbas pada semua orang.

Malam harinya, ia bermimpi Huzur membukakan gembok pada sebuah pintu besar yang tingginya tak jelas terlihat karena dipenuhi cahaya putih. Huzur menggoyangkan jemarinya, mengisyaratkan untuk mengikutinya masuk sambil tersenyum.

“Melangkahlah!”, ucap Huzur dalam mimpi itu.

Walaupun hanya dalam mimpi, namun perasaan teduh, tenang dan damainya itu ia rasakan hingga ia terbangun.

Setengah enam pagi baru bangun mungkin karena nenek tahu ia sedang berhalangan ditambah kejadian tadi malam membuat nenek dan ibu tidak membangunkannya. Mimpinya menyematkan keberanian.

Ia teringat akan celengan kuning berbentuk ayam miliknya. Ia merobeknya dan mengambil uang sebesar Rp 40ribu. Kemudian membeli snack untuk hadiah dan kerupuk untuk perlombaan.

Ia menyuruh adiknya memberitahu anak-anak Athfal dan Nashirat untuk ikut perlombaan di saung sawah uwa. Matanya nanar menatap kerupuk putih yang berbaris rapi dalam plastik. Hatinya teriris mengingat masa kecil.

Teringat waktu kecil ketika ia maju dengan penuh semangat mengikuti lomba makan kerupuk, lalu teman sekelasnya berkata, “Ahmadi jauh-jauh! Jangan ikut lomba sini! Kampung ini nanti kena azab gara-gara ada yang kafir!”

Kejadian waktu kecil menjadikannya pelajaran agar anak-anak bisa terbebas dari hal demikian. Setelah anak-anak berkumpul, selanjutnya mereka berjalan beriringan menuju sawah. Satu-satunya tempat yang membuat mereka bisa bebas berkumpul adalah area pesawahan. Orang-orang akan berpikir mereka akan pergi ngaliwet (sebuah tradisi suku Sunda, makan nasi bersama di atas daun pisang) karena membawa banyak kerupuk.

Mereka berlarian, membelah ilalang dengan kedua tangan yang terbentang. Sepanjang menyusuri bedengan sawah, mereka menyanyikan lagu kemerdekaan. Sesekali tangannya saling merangkul, seolah ingin mengatakan, ‘Kami belum bebas, tapi kami merdeka. Karena bagi kami, merdeka ialah tak merasa gugur walau tergusur dan tetap bernapas lega di tengah nestapa.’

“Satu, dua, tiga, merdeka! Teh, lihat deh nanti, kita bakal jadi tuan rumah buat acara besar jemaat,” ucap seorang Athfal.

“Aamiin, Yaa Allah!” serempak mengaminkan.

“Teh, meski di sawah (bukan di masjid) Allah bisa dengar, kan, ya? Aku nanti mau bantu-bantu beresin sandal tamu kalau jalsah di cabang kita,” ucap seorang Banath sambil menyeka serpihan kerupuk di ujung bibirnya. Semua larut dalam tawa.

Beragam lomba pun sukses dijalankan. Tak ada keluh yang terucap walau yang mereka dapat hanya snack wafer panjang rasa keju yang sebetulnya mampu mereka beli.

Hasna menghirup panjang udara, melepaskan segala beban dalam raga, ‘Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah hadirkan Huzur dalam mimpi.’

Referensi:
[*] HR. Abu Daud dan Tirmizi

Visits: 88

Nurul Hasanah

1 thought on “Merdeka ialah Tak Gugur Walau Tergusur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *