OMNIBUS LAW DAN HILANGNYA AKAL SEHAT KITA
Kamis, 8 Oktober 2020. Kemarin. Menjadi saksi bisu betapa banyak anak bangsa telah kehilangan akal sehatnya. Bahkan mereka tengah kehilangan kesadarannya. Terasuki oleh kebencian yang teramat dalam atas sesuatu yang kebanyakan mereka sendiri tidak tahu mengapa mereka harus membencinya.
Mereka mengamuk marah. Kehilangan kendali untuk tetap berfikir jernih. Yang tersisa hanyalah emosi yang meluap-luap. Meluapkannya dengan cara merusak, menyerang, bahkan membakar sesuatu untuk membuat diri mereka puas.
Mereka demikian masygul. Mencari-cari benda-benda keras untuk dilempar sekuat tenaga ke petugas. Tak hanya benda-benda keras itu, sumpah serapah pun dilempar bertubi-tubi kepada para petugas yang mungkin tengah dirindukan keselamatannya oleh keluarga mereka.
Sederetan doa mungkin tengah dilantunkan dengan beriring tangis dan air mata untuk keselamatan suami atau ayah mereka yang sedang berhadapan dengan orang-orang yang tengah gelap mata.
“Ya Allah lindungilah suami hamba dalam tugasnya hari ini. Selamatkanlah ia. Mudah-mudahan demo yang terjadi hari ini berlangsung damai.”
Belum selesai bibirnya kering dari doa yang penuh cinta itu, terdengar kabar dimana-mana: Demonstrasi berujung ricuh. Para petugas jadi sasaran amuk massa. Batu bersileweran. Asap dimana-mana. Sumpah-serapa seolah tengah melaknat para pendosa.
Pecahlah juga tangis sang istri, sang anak, atau siapapun itu yang melihat orang yang mereka cintai tengah berada dalam sebuah ironi. Entalah, ia telah kehabisan kata untuk diucap, meski ia tak pernah kehilangan harapan untuk keselamatan orang yang dicintainya.
Saat ia melihat beberapa petugas dipapah. Kakinya kena hantaman batu. Nyeri dan sakit seolah merasuk disekujur tubuhnya. Tapi yang lebih nyeri lagi adalah batinnya. Sang petugas seolah menjadi pendosa yang paling durjana, padahal ia bukanlah pihak yang terlibat di balik omnibus law.
Orang-orang yang gelap mata dari antara buruh, mahasiswa bahkan pelajar SMP dan SMA. Kebanyakan mereka tak tahu duduk perkaranya. Mereka tak tahu dengan pasti tentang apa yang mereka perjuangkan. Mereka hanya tersulut. Terprovokasi. Terbawa dalam sebuah skenario: Ya, rusuh. Pokoknya harus rusuh.
Mereka jadi gelap mata, karena bagi mereka, inilah saatnya melawan kezaliman. Peduli amat dengan para petugas yang tengah ditunggu kabar keselamatannya oleh keluarganya. Peduli amat dengan fasilitas umum yang rusak. Peduli amat dengan mobil-mobil polisi yang dibeli dari uang rakyat yang habis babak belur.
Apakah kita telah kehilangan cara untuk menyuarakan pendapat kita tanpa harus berbuat onar? Inikah yang namanya demokrasi? Kebebasan menyampaikan pendapat? Dengan cara barbar layaknya anak sekolah yang sedang tawuran?
Apakah ada di dunia ini sebuah perubahan yang dimulai dari kekerasan? Itukah yang hendak kita ajarkan kepada generasi selanjutnya tentang makna menyampaikan aspirasi?
Panutan kita. Junjungan kita. Teladan kita. Yang Mulia Rasulullah Saw tentu menangis melihat ini. Saat kalimat takbir berbuah keaniayaan terhadap pihak lain. Saat teriakan takbir menjelma menjadi kebengisan tanpa ampun yang merusak segalanya.
Bukankah beliau Saw menasehatkan kepada kita bahwa seorang muslim adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya? Bukankah beliau Saw senantiasa menganjurkan kepada kita untuk lebih mengedepankan sabar? Bukankah orang yang kuat adalah mereka yang dapat menahan hawa nafsunya?
Pernah ada dalam riwayat bahwa Rasul Saw menganjurkan sebuah demonstrasi kepada pemerintah? Bahkan dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan definisi muslim itu sendiri?
Oke…
Kita boleh tidak setuju dengan omnibus law. Kita boleh berkeberatan dengan pasal-pasalnya yang dianggap merugikan pekerja. Tapi apakah semua harus disampaikan dengan jalan-jalan barbar seperti itu?
Cobalah berfikir jernih. Dengan jalan bertabayyun dan memahami duduk perkaranya terlebih dahulu.
Jangan sampai kecepatan tangan lebih cepat dari kecepatan fikiran. Pertimbangkanlah baik-baik atas apa-apa yang hendak kita lakukan. Sebab jangan sampai, Langkah yang terlalu cepat itu ternyata salah, dimana telah jatuh banyak korban atasnya.
Dan bagaimana, jika korbannya adalah mereka yang kita cintai?
Visits: 819
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.
Trus bagaimana caranya supaya kekecewaan mereka di dengar,,,sementara wakil rakyat yang menjadi penyebabnya seperti menghilang,,, sementara bpak2 petugas itu yang seolah2 jadi penanggung jawab
Masalah terkait omnibus law ini cukup rumit. Variabelnya bukan cuma soal DPR yang sudah mengesahkan. Karena dalam prosesnya juga telah dilakukan upaya untuk mendengarkan dari berbagai pihak, termasuk dari buruh juga. RUU ini kan sebenarnya dari zaman SBY. Dan pembahasannya bukan cuma terkait pekerja, banyak klaster yang dibahas. Untuk saat ini memang setiap orang harus menahan diri, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Ada jalur hukum yang bisa ditempuh tanpa harus berbuat anarkis.