
Pengorbanan dalam Berbagai Bentuk
Zaman ini adalah zaman yang penuh berkat. Tidak ada tuntutan suatu pengorbanan jiwa. Zaman ini adalah suatu zaman pengorbanan harta sesuai kemampuan semata. Namun sejatinya, pengorbanan harta bukan saja terjadi di zaman ini, bahkan di zaman para nabi pun candah (pengorbanan harta) telah dikumpulkan.
Pernah suatu zaman ketika ada isyarah atau himbauan agar memberikan candah (pengorbanan harta), mereka datang mempersembahkan harta mereka bahkan seluruh isi rumahnya. Orang-orang yang pada zaman itu demi agama Ilahi mengorbankan jiwa mereka bagai domba dan kambing.
Bagaimana lagi untuk menguraikan pengorbanan harta mereka. Hazrat Abu Bakar Shiddiq r.a. pernah lebih dari satu kali mengorbankan seluruh isi rumah beliau, sampai-sampai jarum pun tidak tersisa lagi di rumah beliau. Demikian pula Hz. Umar r.a. mengorbankan hartanya sesuai kemampuan dan kelonggaran yang ada pada beliau.
Hz. Usman r.a. pun melakukannya sesuai kemampuan dan kedudukan beliau. Pendeknya, segenap sahabat, sesuai kemampuan dan kedudukan mereka, telah mengorbankan jiwa dan harta mereka untuk agama Ilahi ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya berikanlah sesuai kemampuan yang ada.” Maksud pernyataan ini adalah supaya tidak terlintas dalam benak mereka hanya berkeinginan supaya pengorbanannya dapat dilihat siapa dan seberapa besar yang mereka persembahkan.
Hz. Abu Bakar r.a. mempersembahkan seluruh harta kekayaan beliau. Dan Hz. Umar r.a. mempersembahkan separuh harta kekayaan beliau. Rasulullah saw. bersabda, “Inilah perbedaan derajat kalian.”
Allah Swt. berfirman, “Selama kalian belum mengorbankan di jalan Allah barang-barang yang kalian cintai, selama itu pula kalian belum dapat meraih suatu kebaikan” (QS. Ali Imran 3: 93). Untuk meraih segala kebaikan, tentunya kita dituntut untuk dapat mengorbankan baik harta maupun jiwa di jalan Allah Swt.
Ketika kita tidak memiliki harta, lakukan dengan tenaga, ketika tenaga tidak diperlukan maka berbuat baiklah dengan perkataan dan perlakuan yang baik. Janganlah sekali-kali menimbulkan ketersinggungan yang pada akhirnya akan sangat menyakiti perasaan orang lain.
Allah Swt. demikian tidak menyukai orang-orang yang menyakiti hati orang lain, terlebih lagi menyakiti hati seorang mukmin. Allah Swt. menegaskan, “Dan orang-orang yang menyakiti laki-laki dan perempuan beriman, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat. Maka, sungguh mereka menanggung akibat fitnah dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 59)
Namun, bagi orang-orang yang mendapat sebuah kesakitan. Tidaklah harus membalas dengan cara kesakitan yang sama dengan apa yang mereka perbuat. Sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah tafsir singkat:
“Ketika seorang mukmin mendapat kesakitan, maka ada tiga tahapan yang sejatinya dapat dilakukan. Tahap pertama, seorang mukmin bila disakiti ia menekan atau mengekang kemarahannya. Pada tahap kedua, ia maju selangkah lagi dan memberi maaf dan ampunan tanpa syarat kepada seorang yang menyakitinya.”
“Pada tahap ketiga, ia bukan saja memberi ampunan sepenuhnya kepada yang menyakiti, tetapi ia juga melakukan kebaikan tambahan kepadanya dan memberinya suatu anugerah.” (Tafsir Al-Qur’an terbitan Jemaat Muslim Ahmadiyah Indonesia)
Ketiga tahapan ini, yakni menahan amarah, pengampunan, dan berbuat baik telah dilukiskan dengan indah oleh suatu peristiwa dalam kehidupan Hadhrat Imam Hasan, putra Ali r.a. dan cucu Rasulullah Saw.
Seorang budaknya pada sekali peristiwa membuat suatu kesalahan. Hadhrat Imam Hasan sangat marah dan hampir akan menghukumnya. Seketika itu si budak membacakan bagian tahap pertama QS. Ali Imran ayat 135, yaitu “mereka yang menahan amarah.” Mendengar kata-kata tersebut, Hadhrat Hasan menarik tangannya.
Kemudian budak itu membacakan kata-kata, “dan yang memaafkan manusia.” Mendengar perkataan itu Hadhrat Hasan dengan serta merta memaafkannya.
Budak itu kemudian membacakan, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” Oleh karena patuhnya kepada perintah Ilahi, hati Hadhrat Hasan sangat terharu dibuatnya sehingga beliau segera memerdekakan budak itu. (Bayan, 1.366)
Sang budak merujuk firman Allah Ta’ala yang berbunyi, “Yaitu orang-orang yang menginfakkan harta di waktu lapang dan di waktu sempit, yang menahan amarah dan yang memaafkan manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Ali-Imran:135)
Dari ayat tersebut manusia sejatinya mampu berupaya memenuhi ketiga tahapan untuk menciptakan tujuan rohaninya kepada taraf kesempurnaan. Caranya, dengan memenuhi hak Allah ta’ala dan hak sesama manusia. Serta, berupaya yang terbaik untuk meraih kecintaan-Nya.
Visits: 128