PERISTIWA DI PRANCIS DAN PENTINGNYA MENAHAN DIRI
Pernah terjadi sebuah sindiran berisi hujatan serius terhadap sosok Rasulullah Saw sampai-sampai Al-Quran mengabadikan peristiwa itu dalam sebuah ayat. Difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Mereka berkata, ‘Jika kita kembali ke Madinah, tentulah orang yang paling mulia akan mengeluarkan orang yang paling hina dari situ,’ padahal kemuliaan hakiki itu kepunyaan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (QS. Al-Munafikun: 9)
Suatu ketika, selepas pulang dari sebuah peperangan, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik di Madinah, mengatakan di hadapan orang banyak, “Bagitu mereka kembali di Madinah, Wujud yang paling Suci akan mengusir orang-orang Madinah yang paling hina.”
Para sahabat tahu Abdulullah bin Ubay tengah menyindir dan menghujat Rasulullah Saw. Mereka yang mendengar perkataan pimpinan kaum munafik itu seketika mendidih darahnya. Seandainya ada izin dari Rasulullah Saw untuk membunuh Abdullah bin Ubay saat itu, bisa jadi seluruh sahabat akan berlomba-lomba untuk mememenggal kepala sang munafik garis keras tersebut.
Tak berselang lama datanglah Abdullah anak dari Abdullah bin Ubay ke hadapan Rasulullah Saw. Beliau meminta izin kepada Rasul untuk membunuh ayahnya sendiri atas kelancangan mulutnya yang secara sadar menyerang sosok suci Rasulullah Saw.
Namun, Rasulullah Saw tidak mengabulkan permintaannya tersebut. Bahkan beliau tidak memperkenankan menghukum si munafik Abdullah bin Ubay dengan cara apapun.
Kalau kita membaca sejarah bangsa Arab sebelum Islam. Mereka mempunyai tradisi dalam merespon sebuah hujatan atas keluarga mereka atau pimpinan kelompok mereka. Bangsa Arab sudah terbiasa melakukan balas dendalm atas hujatan yang dilontarkan pihak lain tanpa melihat besar kecilnya hujatan tersebut.
Sehingga, sangat wajar jika darah para sahabat Nabi seketika mendidih melihat sosok yang mereka cintai disindir dan dihujat di depan umum. Tapi, bagaimana Rasulullah Saw datang untuk menghapuskan tradisi jahiliyah tersebut.
Dan dalam sejarah kita baca. Bahwa Abdulllah bin Ubay tetap hidup dan mati secara wajar. Bahkan ada suatu peristiwa yang mengejutkan ketika Rasul memberikan baju penuh berkat beliau kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk dijadikan sebagai kafan.
Para sahabat yang menyaksikan pemandangan tersebut benar-benar heran dan iri. Tak berhenti sampai disitu, Rasulullah Saw bahkan sampai mengimami shalat jenazah Abdullah bin Ubay.
Bahkan, Hadhrat Umar bin Khattab ra pernah mencegat Rasul ketika beliau akan menyolatkan Abdullah bin Ubay. Beliau ra berdiri di hadapan Rasul dan memohon agar mengubah keputusannya itu. Umar ra mengingatkan Rasul tentang ayat-ayat Al-Quran mengenai orang-orang munafik bahwa bantuan doa Rasul sekalipun takkan dapat menolong mereka.
Namun Rasulullah Saw hanya tersenyum dan berujuar, “Menepilah Umar. Aku lebih mengetahui. Kalau Tuhan tidak mau mengampuninya meski aku mendoakan tujuhpuluh kali, maka aku akan tetap memintakan pemgampunannya lebih dari tujuhpuluh kali.” Rasulullah Saw kemudian mengimami shalat jenazah tersebut.
Satu pelajaran penting yang telah diteladani oleh Rasulullah Saw kepada kita semua adalah terus berupaya untuk menahan diri. Bahkan untuk hal-hal yang sudah jelas sekalipun dampak buruknya. Rasul benar-benar mengedepankan aspek “ishlah” yakni merubah seseorang menjadi lebih baik tanpa perlu menghukumnya apalagi membunuhnya.
Sebab kedatangan Islam adalah untuk mengantarkan setiap manusia berdosa kepada kesucian diri yang dengannya mereka siap untuk menghadapi Tuhan, bersimpuh dengan segala kerendahan hati, bersujud dengan gejolak kecintaan yang tak tertahan.
Rasulullah Saw sangat bisa menghabisi nyawa Abdullah bin Ubay bin Salul beserta para pengikutnya, karena beliau sangat berkuasa saat itu. Tapi, beliau tidak melakukannya. Beliau membiarkan orang-orang munafik itu berkeliaran di Madinah.
Peristiwa yang terjadi di Prancis baru-baru ini, dimana seorang guru dipenggal kepalanya usai menunjukkan karikatur Nabi Muhammad Saw telah menyodot banyak perhatian global. Peristiwa pembuka itu telah direspon oleh Presiden Prancis, yang menghasilkan peristiwa-peristiwa berdarah lainnya.
Seolah setiap kita telah kehilangan kendali untuk tetap berpikir jernih dan bersikap bijaksana dalam menanggapi sebuah sikap yang dirasa melecehkan juga menyulut amarah tiap orang. Apa yang kita lihat sekarang seperti bola salju yang sedang turun kebawah. Ia semakin besar dan melumat siapa saja.
Ya siapa saja. Siapa pun yang bereaksi untuk terus memanaskan situasi, yang tersisa dari semua itu hanyalah amarah yang tak memuaskan siapa pun. Tak juga menghasilkan titik temu. Bahkan jika eskalasi dari perseteruan ini makin besar dan meluas, tak ada yang bisa kita dapatkan selain kerugian yang lebih besar lagi. Jika setiap pihak sudah mulai angkat senjata dan bermain “phobia-phobiaan” di tempat masing-masing.
Bukankah kita tengah menghadapi sebuah musibah bersama? Pandemi dan bayang-bayang kemiskinan? Kalau ini adalah soal “Cinta Nabi” apakah dibenarkan darah ditumpahkan? Sudah sejauh mana jalan cinta tersebut dilihat dari akhlak dan teladan kita sehari-hari? Bukankah seorang pecinta akan menelusuri dan dengan kokoh berjalan di atas jalan kehidupan Sang Kekasih?
Bagi saya, Rasulullah Saw adalah sosok yang sangat mengedepankan ishlah atau konsiliasi. Bahkan Al-Quran mengajarkan, jika mereka berhenti memerangimu maka kamu juga harus berhenti, sekalipun itu cuma siasat mereka.
Untuk itu, marilah kita selesaikan masalah yang sudah terlanjur memanas ini dengan jalan-jalan damai dan memaafkan. Mereka yang berjiwa besar adalah yang pertama kali minta maaf dan pertama kali juga memaafkan.
Bukankah sabar itu lebih indah? Dan bukankah damai itu jauh lebih indah?
Visits: 451
Sab neki ki jarh taqwa he, agar yeh jarh rahi sab kuch raha ~ Akar dari semua kebaikan adalah takwa, jika ini ada maka semua ada.
Ralat:
– “…orang yang paling mulia…”, bukan “… orang yang paling mulai…”