SAAT TUHAN MEMAKSAMU BERTOBAT DENGAN CARA-NYA
Samar kudengar suara diluar sana orang bercakap cakap, saat itu aku asyik bersih bersih dapur. Saat suamiku masuk rumah aku sempat bertanya
“Tadi seperti ada yang ngobrol di depan, ada siapa?”
“Tau gak bu, anak muda yang kurus, tinggi dan ganteng yang jalannya miring diseret?”
“Hus.. Gak boleh gitu.”
“Ini beneran bu, saya pernah ketemu di Griya Asri, kirain itu rumah orang tuanya dan dia anaknya.”
Aku tiba-tiba semakin ingin tahu soal anak muda itu.
“Emang siapanya?”
“Ternyata dia disana dia bantu-bantu yang punya rumah, nyapu dan bersihin taman rumah orang.”
Obrolan di atas terjadi hampir delapan bulan yang lalu. Bahkan aku sudah hampir melupakannya. Hingga di suatu pagi, suamiku pulang ke rumah dengan diikuti olehnya.
Badannya masih kurus. Tinggi. Ia terlihat menjinjing kresek hitam. Jalannya gontai sambil diseret-seret. Tangannya terkulai, kaku dan terlihat seperti tak bisa difungsikan lagi.
Sepertinya ia terkena stroke. Terlalu muda untuk ukurannya. Umurnya mungkin baru 25 tahun.
Dahiku hanya bisa berkerut menebak siapa tamu itu , karena aku tak mengenalinya. Anak muda ini kena astroke, kata hatiku. Terlalu muda ia untuk terserang stroke, kutaksir umurnya di bawah 25
“Masuk dek,” ajak suamiku.
“Saya cukup disini saja pak,” jawabnya malu, seraya mengucap salam untukku.
“Wa’alaikumsalam, ayo masuk!” jawabku.
“Maaf bu saya merepotkan. Nama saya Agus. Saya baru dari warung disuruh sama bu Ephil, saya Marbot di mssjid Al-Huda, jalan keramik.” Demikian perkenalan singkatnya. Lalu dia langsung ke inti permasalahan.
“Bukan saya tidak mau kerja bu. Kondisi fisik saya membuat tidak bisa kerja berat. Saya malu kalau harus numpang orang tua karena sudah berkeluarga, istri saya juga suka bantu nyuci kalau ada yang nyuruh.”
“Bapak saya baru meninggal di kampung,” ucapnya lirih. “Saya maksain pulang, jadi uang saya habis.”
“Untung pak Ephil nyuruh alhamdulillah bu. ada rejeki.”
Belum tuntas aku mendengarkan ia bercerita, suamiku keburu menghampirinya.
“Ini dek, bapak ada sedikit rejeki, bisa berbagi, mudah-mudahan bisa membantu.”
“MasyaAllah, alhamdulillah,” ujarnya lirih sambil menangis. “Saya merepotkan. Semoga berkah, bapak ibu terima kasih, maaf saya langsung pulang, belanjaan ini takut ditunggu,” seraya memperlihatkan jinjingannya, ia pamit sambil mengucapkan salam.
Ramadhan hari kedelapan, bungsuku menerobos kamarku seraya berkata, “Bu ada yang nyari bapak diluar.”
Aku bergegas keluar dari kamar menuju teras. Kulihat Agus di luar, duduk di lantai, di ujung anak tangga.
“Assalamu’alaikum bu,” sapanya begitu melihat aku keluar.
“Wa’alaikum salam, bapak lagi kebelakang, ada yang bisa ibu bantu?”.
“Bu maaf, barangkali ibu mau sedekah. Saya sudah kehabisan bahan pangan. Upah jadi marbot gak tentu bu, sejak wabah orang yang ke mesjid sudah jarang, biasanya suka ada aja yang memberi sedekah, sekarang nyaris tak ada. Saya ada rejeki kalau ada yang nyuruh belanja.”
Aku bergegas ke dalam untuk mengambil beras dan uang. Saat aku muncul dengan sekantung plastik beras, kulihat Agus seperti penuh keraguan bicara padaku.
“Ibu maaf kalo ada mie instan aja. Maaf bukan menolak rejeki, kalau beras saya gak punya temannya, berat nyari untuk beli temannya bu, kalo mie saya cukup makan itu aja.”
Batinku serasa mendidih mendengar ucapannya yang terakhir.
“Gak apa-apa Gus , ibu kasih dua-duanya. Masa ibu makan, Agus gak bisa makan, ibu yang dosa di sekeliling ibu ada yang gak bisa makan. Tapi minta maaf ibu tidak punya mie instan. Jadi ibu kasih uangnya Agus yg beli sendiri yah.”
Begitu dia mengangguk aku berikan sejumlah uang. Dan sekresek beras. Rasa haru seperti tengah membuncah di kedalaman batinku.
“Agus sebetulnya malu bu kesini, tapi terpaksa, tangan dan kaki ini tidak bisa bekerja sempurna tidak ada kerjaan lain yang bisa Agus kerjakan. “
Kulihat di pelupuk matanya air mulai menggenang. Aku segera menghampirinya sambil mengelus pundaknya, memberi spirit untuk sabar.
Tiba-tiba ia bercerita masa lalunya, pengakuan dosanya, dan jalan tobat yang amat menyakitkan.
“Awalnya Agus merantau ke kota ini ingin bekerja. Tapi karena pengaruh teman-teman, Agus jadi bandel bu, suka begadang sambil minum kadang sampai mabok. Hasil kerja sebulan habis hanya untuk senang-senang.”
“Ibu meninggal mungkin karena mikirin Agus. Bapak menyusul. Sekarang saya tidak punya orang tua.” Sesalnya sambil menahan tangis, meski ia kini benar-benar rapuh.
“Awalnya Agus tiba-tiba lemas. Lalu, jadi seperti sekarang bu, kena stroke. Separuh tubuh sulit bergerak, tangan kayak gini.” Ujarnya sambil memperlihatkan tangannya yang terkulai.
“Saya tidak bisa bekerja seperti dulu lagi dengan keadaan ini, terpaksa kerja sebisanya untuk makan. Saya juga punya tanggungan istri, alhamdulillah dalam kondisi seperti ini istri gak ninggalin.”
Matanya mulai berkaca-kaca. Dadanya mulai bergemuruh. Suaranya mulai sengau. Seperti sebuah pengakuan dosa yang kini berharap curahan kasih sayang Tuhan.
“Saya jadi Marbot di masjid sambil mendekatkan diri pada-Nya bu. Alhamdulillah rejeki dapat dari orang yang nyuruh saya bersihin taman, yang minta dibelanjain ke warung. Saya tobat sekarang bu.”
“Alhamdulillah, Agus harus bersyukur masih diberi kesempatan bertobat walau harus dengan cara seperti ini. Agus tau, Allah masing sayang Agus.”
Ia sepertinya telah selesai dengan segala kisahnya. Ia terdiam. Serasa lega telah menumpahkan kesuraman masa lalunya.
“Bikin kedua orang tuamu yang telah tiada bahagia dengan menjadikanmu anak sholeh. Hanya doa dari anaknya yang sholeh yang dapat menolong mereka.” Agus terdiam mencoba memahami ucapanku.
“Kesembuhan itu dari sini Gus,” ujarku sambil menunjuk ke dada.
“Ibu juga pernah stroke, tapi ibu bangkit. Lihat anak- anak masih kecil mereka masih butuh ibunya. kalo ibu sakit malah menjadi beban mereka, siapa yang ngurus mereka? Jangan berkecil hati tidak bisa berobat, latihan gerakan fisioterapi sendiri.”
“Tangan dilatih gerak setiap hari di rumah, dimulai tanpa beban. Sudah kuat kasih beban misal aqua gelas. Sudah kuat tambah lagi beban misal air mineral yang botolan. InsyaAllah lama-lama tangan kuat, jangan lupa dilatih menulis.”
“Kakipun dilatih seperti ini,” ujarku sambil memberikan beberapa contoh gerakan.
Agus terlihat antusias mendengarkan. Secercah harapan mulai terlihat di balik matanya yang masih berkaca-kaca.
Memang. Apapun keadaan kita sekarang ini. Tuhan selalu menitipkan satu hikmah untuk kita temukan. Dia selalu punya cara unik menegur kita. Juga, punya cara unik mempersiapkan sebuah hadiah besar untuk kita, saat kita berhasil melewati ujian-Nya.
Jadi. Jangan pernah kehilangan harapan tentang pertolongan-Nya.
Visits: 54
Masyaa Allah barakallahu fiik