
Seorang Muallaf yang Mendambakan Islam Sejak Kecil
“Bukan orang Islam kok ikut Shalat?” terdengar suara orang-orang saling berbisik. Saya menoleh ke belakang dan mendapati ibu-ibu memicingkan mata ke arah saya. Tiba-tiba dada terasa sesak karena sakit hati mendengar cibiran mereka.
Malam itu di bulan suci Ramadhan, saya bersiap untuk ikut Shalat Tarawih di musholla yang cukup jauh jaraknya dari rumah. Dinginnya angin malam menyertai langkah kaki menuju rumah Allah. Dengan percaya diri saya bergabung untuk shalat berjamaah.
Namun…
Saat itu saya bukan orang Islam.
Saya lahir di keluarga yang beragama Hindu Kaharingan, sebuah agama lokal di Kalimantan Tengah. Meskipun lahir dan dibesarkan dalam kepercayaan nenek moyang, saya tidak pernah memasuki rumah ibadah Kaharingan. Bahkan tata cara beribadahnya pun saya tidak tahu. Saya hanya melihat kedua orangtua saya menggenggam kedua tangan sebelum tidur, dan mereka meminta saya untuk mengikuti.
Sejak umur 3 tahun, saya sudah terbiasa mendengar suara Adzan setiap hari. Sampai-sampai saya hafal kata demi katanya. Ketertarikan itu semakin kuat ketika saya duduk di bangku sekolah. Suatu hari di jam pelajaran Agama, saya memberanikan diri untuk mengatakan kepada guru Agama bahwa saya ingin ikut belajar Agama Islam. Alhamdulillah guru saya mengizinkan. Ada perasaan bahagia meski keinginan ini tanpa sepengetahuan orangtua.
Sampai suatu hari saya memberanikan diri meminta izin kepada orangtua untuk belajar mengaji. Tak seperti yang saya khawatirkan, orangtua mengizinkan dan saya pun mengayunkan langkah ke musholla setiap menjelang Maghrib dan pulang setelah Isya.
Di sebuah kampung yang masih sepi, saya yang masih belia berjalan ditengah kegelapan malam, menempuh jarak yang cukup jauh untuk belajar mengaji. Namun, sedikitpun tak ada ketakutan atau kekhawatiran walau hanya ditemani pantulan sinar rembulan.
Hari pertama belajar mengaji, saya masih kebingungan. Gerakan shalat pun hanya meniru orang di sebelah saya. Hari kedua, teman saya mulai mengajarkan membaca huruf Arab di Iqro’. Dengan perlahan dan tertatih-tatih, akhirnya saya mampu membaca Iqro’ dan melanjutkannya ke Al-Qur’an.
Sejak hari pertama saya belajar Agama Islam, saat itu pula muncul berbagai reaksi dari orang sekitar. Ada yang mencaci dan mengatakan bahwa saya murtad, tidak punya agama. Namun ada pula yang mendukung dan membantu saya.
Tatapan sinis dari orang-orang dan sindiran demi sindiran dilontarkan sampai membuat hati saya sakit. Namun, saya tidak peduli dan tetap dalam keyakinan saya untuk belajar Agama Islam.
Saya dan ibu masuk agama Islam pada tahun 2014, sesaat setelah ayah saya wafat. Malam itu, selepas shalat Tarawih, menjadi momen tak terlupakan dalam hidup saya karena saat itu saya sudah resmi memeluk Islam.
Dan rasa syukur tak terhingga saya panjatkan karena Ibu saya mau masuk Islam mengikuti saya. Hingga akhirnya ibu menikah lagi dengan seorang Hindu yang mau masuk Islam juga.
Suatu hari di tahun 2015, kami kedatangan 2 orang tamu, yaitu seorang pemilik bengkel di pertigaan jalan dan seorang pemuda yang saya kira karyawannya. Belakangan diketahui bahwa pemuda tersebut adalah Mubaligh Ahmadiyah dan bapak pemilik bengkel tersebut adalah Sekretaris Tabligh Cabang Lamunti.
Mereka mengajarkan ayah tiri saya Shalat dan memperkenalkan Ahmadiyah. Kami terharu karena selama ini tidak ada yang begitu perhatiannya terhadap keislaman kami.
Ayah pun menjalin hubungan baik dengan mereka dan pada akhirnya beliau bai’at di Mesjid Ahmadiyah cabang Lamunti. Kami tidak tahu bahwa kami sudah menjadi Ahmadi, hingga suatu hari saya dan ibu saya diajak ikut Ijtima LI.
Disitulah saya baru sadar bahwa saya sudah menjadi seorang Ahmadi. Sejak saat itu saya mempelajari tentang Ahmadiyah dan mengikuti kegiatan-kegiatannya.
Menjadi Ahmadi ternyata bukan akhir dari perjalanan spiritual saya. Allah dengan cara-Nya telah mengantarkan seorang mubaligh untuk menjadi pendamping hidup saya.
Dia yang pertama kali datang bersama pemilik bengkel dan mengajarkan keluarga saya segala hal tentang Islam Ahmadiyah, kini menjadi suami saya. Di tahun itu juga kami menikah, dan pernikahan ini membuka jalan selebar-lebarnya bagi saya untuk semakin dalam mempelajari Islam.
Mulai dari tidak tahu apa-apa, bahkan tidak tahu apa tugas suami. Pertanyaan demi pertanyaan tentang Ahmadiyah selalu diajukan kepada suami. Buku-buku Hazrat Masih Mau’ud a.s. bahkan literatur lainnya seperti Asy-Syifa mulai saya baca dan pelajari.
Kegiatan-kegiatan Jemaat pun saya tak pernah absen. Dan dari situ saya mulai belajar membayar pengorbanan. Sungguh karunia yang tak terkira bisa memeluk Islam, mengenal Ahmadiyah, dan menjadi istri seorang Mubaligh yang merupakan perpanjangan tangan Khalifah.
Saya juga tak pernah menyangka akan seperti ini perjalanan spritual saya melangkah. Menuju sebuah rumah iman yang kini begitu menenteramkan hati saya.
Betapa karunia Allah Ta’ala itu datang begitu saja. Pintu-pintu hidayah ada dimana pun, tinggal kita mau untuk menjemputnya, atau menyampakkannya begitu saja. Pilihan itu bergantung pada diri kita.
Satu hal selalu membuat saya bertanya-tanya. Apakah jalan cerita ini ada hubungannya dengan nama yang entah, mengapa saya dinamakan demikian?
Ya… Perkenalkan, nama saya Fitri.
Sejak lahir saya sudah diberi nama Fitri.
Mungkinkah nama ini yang membawa saya ke agama Islam?
.
.
.
editor: Mumtazah Akhtar
Visits: 81
Masya Allah Bu Fitri , saya gak nyangka kisahnya seseru ini
Masya Allah Bu Fitri kisahnya sangat menyentuh hati saya,,saya pikir ibu tadinya Dayak Kristen hehe
Bahagia dunia akherat anakku syk…
Doakan bunda ya nakkk semoga bisa kesyurga bersmamu
Sungguh luar biasa kisah nyata ini, saya baca dari awal ampai usai tak terasa air mata meleleh, Teruskan kisah-kisah ini semoga bermanfaat bagi kita semua, Aamiin…