Keteguhan Iman Berbalas Pertolongan Khas-Nya

Semua kejadian yang telah berlalu masih terekam baik di ingatanku. Saat itu usiaku baru menginjak delapan tahun (kelas 2 SD). Yap, pada tahun 1992 keluargaku tinggal di sebuah kampung yang merupakan tanah milik pemerintah (AURI). Kami membayar uang sewa setiap tahun untuk tetap bisa tinggal di sana.

Pagi itu, bapak pergi ke Kantor AURI untuk memenuhi undangan Pak Sersan. Kebetulan Pak Sersan baru beberapa bulan bertugas di daerah kami. “Mungkin hendak merapatkan perihal uang sewa tanah”, ucap bapak sambil berlalu.

Waktu semakin siang, bapak belum juga pulang. Sedangkan ummi mulai terlihat gelisah, sambil beberapa kali menanyakan keberadaan bapak yang tak ada kabar. “Ke mana bapak kalian? Mengapa belum pulang juga?”.

Sekitar jam dua siang, bapak akhirnya datang juga. Raut wajahnya terlihat pilu. Jaket hitam diletakan di atas kepalanya, hingga menutupi sebagian pipinya. Bapak datang mengucapkan salam sambil menundukan kepalanya. Tak banyak bicara seperti biasanya. Wajah cerianya sirna seolah terhempas badai. “Apa yang sudah terjadi? Tak seperti biasanya bapak begitu.”, gumam hatiku.

Sementara itu, bapak langsung berwudhu dan melaksanakan shalat Dzuhur. Ummi pun tak sempat menanyakan apa yang telah terjadi. Saat sujud terakhir di dalam shalatnya, terdengar suara tangis bapak yang tersedu-sedu.

Aku, Ummi, dan kakak segera mnghampiri bapak. Kami hanya terdiam di luar ruangan shalat, menunggu bapak menyelesaikan shalatnya. Setelah selesai shalat, bapak tak juga mengatakan apa-apa. Dalam diamnya, bapak melanjutkan aktivitas seperti biasa. Sikapnya membuat kami semakin penasaran.

Ketika malam tiba, akhirnya bapak bercerita kepada ummi mengenai kejadian tadi siang. Mereka mengira bahwa aku dan kakak sudah tidur pulas. Padahal aku belum bisa tidur. Terselip rasa penasaran atas apa yang dialami bapak. Aku ikut mendengarkan pembicaraan mereka dari dalam kamar. Sontak aku kaget ketika bapak mengatakan bahwa siang tadi Pak Sersan meminta bapak menandatangi surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah.

Kalau tidak (ada surat tersebut), maka besok kalian harus segera pindah dari kawasan tanah AURI!” ancam Pak Seran sambil menggebrak meja dan pistol. Namun bapak tidak bersedia menandatangani surat pernyataan tersebut, hingga akhirnya bapak disuruh pulang oleh Pak Sersan.

Usut punya usut, ternyata banyak laporan dari masyarakat setempat tentang bapak. Mereka mengatakan bahwa bapak menganut ajaran sesat. Hal tersebut terjadi tak lama setelah wafatnya nenek.

Mereka mempermasalahkan keluarga kami yang tidak melaksanakan tahlilan hari ketiga, ketujuh, dan segala kebiasaan yang sudah mengakar di lingkungan setempat. Mereka beranggapan bahwa jika tidak mengadakan tahlilan dan sejenisnya, sama saja halnya dengan kematian seekor binatang. Aku masih ingat dengan sindiran beberapa temanku, “Itu nenekmu maot, An”.

Akhirnya aku mengetahui alasan hilangnya raut ceria di wajah bapak. Lantas, aku ikut merasakan pilunya hati bapak yang sedang bercerita kepada Ummi. Tak terasa air mata deras mengalir di pipiku. Isak tangisku terdengar oleh mereka. Sambil melangkah menuju kamarku, ummi berkata “gundam kitu budak teh ceurik (anak ini mungkin lagi mengigau nangis yaa)”.

Padahal aku bukan sedang mengigau, tapi memang sedang menangis dalam kondisi sadar. Namun, agar tidak ketahuan mereka aku telah mendengar semuanya, aku pura-pura tidur lelap.

Setelah mengecek bahwa aku masih tidur, mereka berhenti bercerita dan beranjak ke kamarnya. Semalam suntuk pikiranku tak tenang. Tidur pun tak bisa. Mata terus meneteskan air kepiluannya. Aku terus memikirkan hari esok dengan penuh khawatir.

Hingga saat jam dua malam, terdengar suara bapak dan ummi melaksanakan shalat tahajud. Lagi-lagi, aku mendengar tangisan bapak di dalam sujudnya. Tangisan memohon keadilan kepada Sang Khalik. Satu jam kemudian, bapak membangunkan aku dan kakak.

Baik-baiklah di rumah. Jika ada tamu, katakan bapak sedang pergi ke Semplak, Bogor.”, ujar bapak sambil mengusap kepalaku. Kami hanya mengangguk dalam diam.

Kemudian, bapak menggenggam senter batre di tangan kanannya, untuk menyinari jalan setapak di dalam gelapnya malam. Dari rumah ke terminal, bapak harus menempuh jarak 10 KM dengan berjalan kaki. Sungguh luar biasa perjuangan bapak saat itu, harus menyusuri perkebunan cokelat dan kelapa. Tiba di terminal, bapak menumpangi Elf (bus mini) yang berangkat jam tujuh pagi dengan tujuan Kota Cianjur.

Di saat yang sama, ummi tetap beraktivitas seperti biasa ke kebun. Lalu kami tetap di rumah dengan menutup pintu rapat-rapat. Aku selalu teringat pesan bapak sebelum pergi ke Cianjur. Benar saja, tak lama kemudian ada dua orang tamu yang datang. Mereka berseragam lengkap.

Permisi! Pak Oji ada?”, ucap mereka berulang kali sambil mengetuk pintu.

Aku pun melangkah pelan mengintip dari balik dinding anyaman bambu. Hatiku bergetar. Air mata ketakutan meleleh di pipiku. Hatiku dipenuhi dengan berbagai pikiran yang kacau. Akan tetapi, aku harus menyampaikan pesan bapak kepada dua orang tamu itu. Aku kuatkan hatiku dengan kalimat bismillah.

Setelah keberanianku muncul, aku membuka pintu rumah. Tanpa memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya, aku langsung mengatakan pesan bapak sambil berteriak kepada mereka, “Bapak pergi ke Semplak Bogor!”.

Lalu pintu pun langsung aku tutup kembali. Lututku gemetar. Tangis tak bisa kubendung lagi. Ketakutan akan pengusiran menyelimuti seluruh benak dan pikiranku. Aku pun duduk dan menyender di belakang pintu. Selang beberapa waktu, akhirnya mereka pun pergi begitu saja.

Shalat Dzuhur tiba, ummi kembali dari kebun. Kuceritakan tentang tamu yang datang tadi. Ummi terdiam, tak berkomentar apapun. Hanya mengajak mandi dan segera melaksanakan shalat. “Doakan untuk kelancaran bapak”, hanya itu kalimat yang diucapkan oleh ummi.

Keesokan harinya bapak telah tiba di rumah. Sambil mengucap salam dengan lantang. Keceriaan kembali bersinar di raut mukanya. “Alhmdulillah Allah Ta’ala berpihak pada kita”, ucap bapak sambil menunjukan selembar amplop putih.

Kata bapak, isi amplopnya adalah surat untuk Pak Sersan dari Pak Kepala. Setelah mandi, shalat, dan makan; bapak pergi dengan langkah tegas menuju Kantor Asrama AURI. Iya, bapak hendak mengantarkan surat dari Semplak, Bogor.

Sedangkan aku tidak sempat membaca isi surat tersebut. Amplopnya sudah dilem, tak bisa dibuka. Aku penasaran. Kami hanya berharap semuanya baik-baik saja untuk kesehatan bapak. Semoga ini adalah pertolongan dari Allah Ta’ala terhadap keyakinan yang bapak pertahankan.

Tetaplah di rumah ini, dan teruslah berdoa. Memohon keselamatan,” ucap bapak sesampainya di rumah. Sedangkan aku hanya terdiam saja. Masih belum paham dengan kata-kata bapak.

Seminggu sudah berlalu dari kejadian tersebut. Hari itu entah mengapa menjadi hari yang menakutkan bagi banyak orang. Sekitar jam dua siang, tiba-tiba cuaca mendung. Tak lama kemudian hujan bergerumuh turun disertai angin kencang. Cahaya kilat berkelabat di tengah kegelapan hujan. Bapak pulang dari kebun, berkejaran dengan hujan.

Sesampainya di rumah, bapak langsung mengumandangkan Azan dengan suara bergetar dan tangisan. Kita terus berzikir dan beristighfar. Ummi memeluk kami dengan erat sambil terus berdoa dengn suara keras agar kita mengikutinya. Selang beberapa waktu, hujan pun reda. Angin kembali berhembus normal.

Setelah melihat kondisi sekitar rumah, kami merasa lega. Alhamdulillah semua baik-baik saja. Tak ada pohon yang tumbang. Padahal di samping rumah terdapat beberapa batang pohon kelapa. Seandainya tumbang, sudah pasti rumah kami ambruk tertimpa pohon. Hancur luluh lantak.

Tak lama kemudian beredar kabar bahwa perumahan di asrama milik pemerintah tersebut banyak yang rusak. Hampir semua porak poranda terkena angin puting beliung. Mereka pun dengan susah payah harus membangun kembali rumah yang sudah rusak terkena bencana alam.

Allah selalu menzahirkan janji-Nya. Inni uhaafizhu kulla man fiddar, Sesungguhnya Aku (Allah) akan melindungi semua orang yang tinggal di dalam rumah ini”, ucap bapak saat itu.

Lantas, beberapa hari setelah peristiwa alam yang terjadi atas izin Allah Ta’ala, bapak mengabarkan kepada kami bahwa ada pergantian Sersan baru yg bertugas di AURI. Sementara Pak Sersan (yang sempat mengancam bapak) dipindahkan ke Semplak, Bogor.

Peristiwa ini telah makin memantapkan keimanan kami terhadap kebenaran Hazrat Imam Mahdi as. Bahwa di jalan keimanan ini pasti ada saja yang menguji ke-istiqamah-an. Bahkan dengan hal-hal yang harus siap mempertaruhkan segalanya untuk sebuah keimanan.

.

.

.

editor: Lika Vulki

Visits: 44

Tuti Sutiamah

3 thoughts on “Keteguhan Iman Berbalas Pertolongan Khas-Nya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *